Pada akhirnya, bagi Rina teman yang baik itu selalu ada memberikan tambahan penghasilan tak terduga meski harus dibayar dengan kesabarannya. Tapi tidak apa-apa, setiap perbuatan pasti ada bayarannya dan perbuatan Dini dibayar dengan uang serta rasa malu.
"Din, nanti pulang sekolah ikut aku ya. Yang lain kalau mau ikut juga boleh kok. Biar kalian tahu mengapa aku sabar kalian tuduh bodoh dan terkesan dirundung." Kata Rina tegas. Ia menatap Dini dan teman sekelasnya. "Weuh..." Usai melenguh Rina melirik Kak Rifki. Kemudian berlalu menuju kelasnya.
Uji kecerdasan itu berakhir di tangan Kak Rifki. Rina agak kecewa. Ia khawatir tak bisa membantu mereka lagi. Padahal uang perundungan itu sangat mereka butuhkan. Meski Rina harus berlagak tulalit dan dinilai bodoh oleh teman-temannya Dini.
Petualangannya menolong ibu dan empat anak itu di ujung tanduk. Meski Rina yakin pertolongan Allah paling utama. Namun, beberapa bulan ini, ia sudah nyaman dicap bodoh demi membantu mereka. Perjuangannya ibarat sebatang lilin menyala. Tubuh terbakar dan meleleh demi menerangi orang lain.
Sebetulnya peran ini tak ia sadari. Allah mempertemukannya kembali dengan ibu dan anak itu di jalan dekat gang rumahnya ketika pulang sekolah esok harinya. Rina pun diam-diam mengikuti mereka.
Mereka ternyata tinggal jauh di pelosok dekat hutan tak terjamah di belakang perumahan warga. Ia sendiri baru tahu akan hutan itu. Di balik sebuah bukit kecil gundul di tepi hutan itu ternyata ada sungai. Di tepi sungai itu berdirilah pondok kecil ibu dan empat anaknya.
Sebetulnya pondok itu tak layak di huni. Papan dinding sudah keropos. Atap seng sudah mulai patah-patah karena karat dan lapuk. Namun, pekarangan pondok bersih dan terawat. Ada bermacam sayur ditanam di sekitar pondok.
Sejak itu, ia mengintai si ibu lewat di gang. Ketika bertemu, ia pun menyerahkan uang permainan itu. Sejak itu ia ketagihan menolong ibu dan empat anak itu.
Pulang sekolah Dini dan teman-temannya serta Kak Rifki dan teman-temannya juga mendapati Rina di kelasnya. Rina takjub menatap mereka semua. "Yakin semua mau ikut?" Tanya Rina sambil menunjuk mereka semua. Semua mengangguk dan ada yang mengeluarkan jempol.
Mereka pun melangkah. Keringat dingin mulai meleleh di kening, pelipis, hidung, leher, tubuh, bahkan ketek mereka basah. Meski sudah hampir sore tetap panas dan lelah karena jauhnya berjalan.
Kegelisahan mulai mendera Dini dan teman sekelasnya. Wajar karena mereka anak-anak orang kayah. Mana pernah berjalan kaki sejauh ini. Joging pun paling muter-muter di sekitar pusat kota.