Puisi tentu tak asing bagi kita semua. Satu kata ini sangatlah ditakuti pada zaman kolonial Belanda, Jepang, hingga zaman kemerdekaan.Â
Situasi ini nampaknya masih berlaku hingga sekarang dengan implisit gonta-ganti kurikulum hingga ditiadakannya membaca puisi dari kurikulum sekarang. Masih ada puisi, namun sudah berubah tuntutan menjadi menulis bukan membaca.
Padahal dua keterampilan ini beda jauh sasarannya. Membaca puisi sasarannya menjiwai, pencitraan, penyecapan, dan aktualisasi penjiwaan akan mengubah mental si pembaca dari penakut menjadi semangat dan ujungnya berani. Semua perubahan itu dimodivikasi oleh kekuatan diksi atau pilihan kata si penulis puisi.
" Kumau tak seorang pun merayu. Tidak juga kau. Aku ingin hidup seribu tahun lagi."
Pada puisi Chairil tersebut tersirat makna idealisme. Tak mudah tergoda. Tak mudah dipengaruhi, dan semangat untuk hidup. Berjuang memecahkan segala masalah hidup seribu tahun ke depan.
Puisi yang dibaca dapat mengubah karakter anak-anak kita. Dari pendiam menjadi senyum. Dari senyum berubah menjadi tutur, dan dari tutur berubah menjadi lugas dan komunikatif. Artinya, membaca puisi dengan intonasi, volume, dan penghayatan yang benar akan mampu membangkitkan percaya diri dalam diri anak.
Beda dengan menulis puisi. Menulis puisi pada intinya adalah curhat. Mencurahkan isi hati. Ekspresi ini hanya pasif. Cendrung membuat generasi kita introvert, tertutup, atau pendiam. Cocok untuk introspek diri saja. Maka pencapaian percaya diri anak tak terpenuhi sempurna.
Apalagi anak tak mau mempublikasikan puisi yang mereka tulis. Terkurung dalam diary, notebook, atau drave saja. Tugas menulis ini baru memenuhi karakter impian dari segi keterpuasan batin. Belum ekspresif untuk memunculkan anak berkarakter impian secara lahir dan batin.
Sementara tuntutan masa saat ini anak harus puas batin dan puas lahir. Jika batin anak telah terwakili saat menulis puisi, belum tentu sudah terwakili kepuasan lahir atau fisiknya. Komponen nalar, daya pikir, ekspresi mata, wajah, dan keterpuasan mulut, lidah, dan tenggorokan belum terpenuhi.
Makanya, di kelas sering dijumpai siswa yang tak mampu menatap mata guru dan temannya. Siswa tak berani menegakkan kepala rata-rata air sesuai standard. Siswa tak mampu senyum. Siswa tak mampu berbicara. Suara siswa pelan nyaris tak keluar saat diminta membaca atau presentasi sederhana.