Mengadu kepada puisi memang pilihan di kala syukur meronta dibelai dengan mata penuh kelembutan bersama pupil yang berenang di telaga kekeringan hati yang merayu dibawa berjalan menemui dan menyapa dedaunan hijau di taman.
Mengadu kepada puisi tentang kesibukanmu yang menyita kebebasan berkreasi karenamu ketatnya pengikat kaki dan tangan oleh peraturan yang haus akan prestasi dan prestise kadang membuat air mata turun dengan tergesa menelusuri kepekaan.
Mengadu kepada puisi tentang lelahnya mata, hati, tangan, dan kaki mengunjungi rasa bahasa pikiran yang tak mau memahami dan menjawab keinginan peraturan yang ambisi dan perfeksionis menjerat kepala, mata, hidung, mulut, apalagi dada .
Mengadu kepada puisi atau syukur kepada puisi memetaforakan diri dengan waktu sama berjalan dengan tergesa tanpa menoleh iba kepada pengejar prestasi dan prestise tanpa menyematkan silaturahmi apalagi tepaselira di antara hati dan cinta.Â
Mengadu kepada puisi adalah pilihan bijak dengan diksi dan gaya bahasa daripada kamu bermain mata atau berteriak anarkis  di situ dengan menggelar spanduk memegang mikrofon bercerita tentang penat tubuhmu meronta diperhatikan ngantukmu.
Aku hanya memberi masukan kepadamu mata, hati, pikiran, perut, tangan, dan kaki bahwa mengadu kepada puisi terbaik bagimu sambil mengingat indahnya diksi dan gaya bahasa yang akan mewakili indra pilihanmu dalam mendemokan keresahanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H