Nasib mujur ada pengangkatan ASN besar-besaran seperti P3K hari ini. Sayapun bisa mencicil itu kursi dalam 3 bulan lunas. Kebetulan kursi yang saya beli yang paling ekonomis sesuai saku honorer saya.
Begitu rusak kursi itu saya renovasi lagi. Begitu terus beberapa tahun. Suatu hari kepikiran oleh saya. Untuk apalah kursi ini dan ruang tamu ini. Toh tamu jarang datang. Datang pun tamu dari kampung partai besar. Tak muat juga di ruang tamu itu.
Akhirnya kursi saya bagi-bagi. Dengan senang mereka menerima. Saya pun membeli empat set tempat tidur bertingkat untuk anak kost. Dapat anak kost 8 orang, untuk satu kamar 4 orang. Saya sewakan 2 kamar biar ramai.
Anak-anak itu senang dan happy. Mereka suka jalan sore sambil menunggu Maghrib. Mereka sangat senang di kamar itu. Awalnya memang ada yang nangis karena baru tamat SD sudah merantau ke sini. Tapi itu hanya 2 minggu.Â
Dibawa jalan-jalan dan les bahasa Inggris sudah mulai mandiri.
Mereka kompak. Belajar bersama. Sholat Maghrib ke Masjid. Pulang dari masjid mengaji, makan malam, dan menghafal atau bikin PR. Mereka ditemani seorang kakak guru les menghafal malam. Biar besok bisa lancar di kelas.
Tiga tahun saya mencoba tanpa kursi tamu dan kursi meja makan di rumah. Saya bersama mereka melantai di atas ubin. Jika dingin kami gelar tikar atau permadani. Makan pun seperti ini. Makan bersama.
Tanpa saya sadari sakit di tumit saya sudah tak ada lagi. Ketika bersama-sama di sekolah dengan teman mulai saya dengar keluh kesah mereka. Ada yang lutut sakit. Tumit kaki sakit, bahkan salah satu teman harus menggunakan kursi untuk shalat.
Ketika inilah saya sadari apakah duduk di lantai lebih sehat daripada duduk di kursi atau sofa empuk?
Ternyata Duduk di Lantai sehat
Maret 2020 terjadilah Cov-19. Anak-anak daring. Kita pun stay di rumah. Seperti biasa saya duduk di lantai sambil berdiskusi di WA atau Telegram dengan siswa. Dari pukul 07.30 hingga pukul 14.00. Kadang jika mereka ada tugas sekalian memeriksa hingga sore hari.