Sekolahkah yang hebat atau muridnya yang hebat? Pertanyaan ini dulu sering menyinggung guru. Jika murid yang hebat, dibuang saja buku ke bawah meja murid maka murid itu akan dapat. Begitu kata salah satu orang tua siswa ketika kami mengikuti rapat komite di sebuah sekolah.
Dulu begitu banyak guru honor di sebuah sekolah. Untuk memperjuangkan gaji mereka dari komite sekolah tak jarang keluar kata-kata kasar seperti itu dari segelintir orang tua kepada komite dan pihak sekolah. Pihak sekolah hanya bisa urut dada.
Mana dulu telur daripada ayam? Mungkin begitulah sulitnya kita menjawab pertanyaan orang tua di atas. Sekolah hebat tentu karena muridnya hebat. Bisakah kita tambahkan karena gurunya juga hebat?
Entahlah, seiring waktu rasanya pertanyaan orang tua di atas mulai pelan-pelan bisa saya pahami selaku ibu dari 3 orang anak. Menurut saya, anak saya dulu hebat.Â
Ketika dia dengan berani mengkritisi salah satu gurunya di usia kelas 2 SD. Hari itu bersama gurunya dia ulangan harian dalam pelajaran IPS. Dia kecewa mendapati kertas ujiannya cuma dapat nilai 90. Dia ingin 100.Â
Pertanyaan ulangannya hari itu, " Manakah lebih ramai kota daripada desa?" Anak saya waktu itu menjawab lebih ramai desa. Mengapa ia jawab begitu? Ternyata ia mengamati fenomena keseharian desa asal kami dan kota tempat kami tinggal sekarang.Â
Desa asal kami memang ramai penduduk dan malam hari terang benderang. Anak mudanya dan orang tua-tua biasa beraktivitas malam seperti pasar kuliner atau pasar malam. Tapi desa kami bukan pasar kuliner.
Sementara kota kami merantau hanya memiliki 2 kecamatan Kota ini pun dilingkari bukit barisan, gunung Singgalang, dan Merapi. Kompleks kami tinggal pun dilingkari bukit Tui. Pagi, siang, maupun malam sepi. Meskipun kami pergi ke pasar tapi tetap kalah ramai dari desa kami. Bagaimana guru cerdas menyikapi kritik ini?
Inilah fenomena pendidikan kita saat ini. Karir guru benar-benar diuji layaknya ketika anak saya usia kelas 2 itu. Sejak itu anak berubah. Ia kurang mempercayai isi buku. 5 menit baca buku, ia sudah selesai. Bisa menangkap isi buku itu ketika guru lesnya bertanya isi buku itu, ia bisa menjawab.Â
Demikian juga ketika ia usia kelas 8 SMP. Gurunya melapor kepada saya bahwa anak tak mau mencatat. Lalu saya pun konfirmasi kepada anak. Ternyata benar tak mau mencatat. Alasannya diplomatis membuat saya pun mati kutu. Untuk apa dicatat. Ketika diadakan kuis dapat 100. Buku cetak juga ada.Â
Demikian juga saat ini ia berada di kelas X SMA. Belum bisa terjawab sekolahkah yang hebat atau anak yang hebat. Semoga di kurikulum merdeka belajar ini akan segera terjawab.
Lagi guru dipertanyakan loyalitasnya di kelas. Mengapa tak bisa membentuk anak sesuai harapannya. Mencatat dan patuh. Hal-hal remeh seperti ini terkadang tak disadari guru. Â Tapi hal remeh inilah penentu karir guru di sebuah sekolah. Makin banyak guru melaporkan kasus anak tentu makin menunjukkan bahwa guru belum layak.
Orang tua siswa kita sudah lelah seharian mencari uang. Bekerja yang mungkin berada di bawah tekanan besar lalu kita muncul di hadapannya dengan keluhan si anak yang bermasalah. Kira-kira orang tua anak responsif atau emosi?
Lalu bagaimana seharusnya. Sebaiknya sebelum menegur anak dan melaporkan anak kepada orang tuanya ada baiknya guru mencari tahu terlebih dulu penyebab anak malas mencatat.Â
Kita panggil anak tersebut secara pribadi. Kita ajak berbincang. Mau si anak apa dan mau guru apa. Bisa jadi setelah kita berbicang akan kita temukan solusinya.Â
Bisa jadi cara guru mencatatkan tak sesuai harapan anak. Ada beberapa guru, menyuruh sekretaris kelas menggantikan tugas guru mencatat dan gurupun kabur ke mana-mana.
Bisa pula kita beri anak pengertian bahwa proses mencatat baginya mungkin tidak penting tapi bagi anak berkemampuan kurang justru dengan cara mencatat ia baru bisa paham pelajaran itu.Â
Jika kita tak mencatat tentu teman lainpun meniru. Sebab kemampuan anak di kelas kita beragam. Bisa kita tukar pikiran dengannya langsung. Tak perlu dengan orang tuanya.Â
Tapi jika pendekatan dengan cinta sudah dilakukan belum juga berubah dan hasil belajar pun rendah, barulah wali kelas, BK, dan orang tua kita libatkan.Â
Pendekatan dan keterbukaan antara guru dan anak sangat penting dibangun agar kedudukan kita di mata anak benar sosok guru. Kalau dapat bergelar guru hebat pula.Â
Meskipun ASN Â atau PNS status guru kita, membangun karir tetap perlu agar kita tetap eksis di sebuah sekolah. Untuk kemajuan sekolah tetap dibutuhkan bantuan kita. Kerjakanlah sesuatu yang dapat meringankan beban kepala sekolah, guru BK, wakil kepala, dan wali kelas.Â
Dengan kita bisa menutup mulut anak tak mengadukan kekurangan kita kepada orang tua mereka, kita berarti sudah meringankan beban atasan kita. Tapi jika sebaliknya kita termasuk guru banyak masalah, berarti kita menambah beban atasan kita dan rekan kerja kita.
Mulailah dari diri sendiri kata para pakar. Selesaikan tugas kita selaku guru. Bantulah apa yang bisa kita bantu dengan ikhlas. Misalnya pagi hari membantu anak berbaris di lapangan. Menunggui anak memasuki gerbang sekolah.Â
Membantu rekan wali kelas mengkoordinir gotong royong. Membantu rekan wakil dalam menyiapkan penilaian sekolah. Membantu ketika ada momen sholat berjamaah, ada acara Maulidan, Israk Mi'raj, klas meting, dan sebagainya. Jangan merasa hina jika kita sering disuruh-suruh. Inilah bagian bukti bahwa kita loyal kepada atasan, rekan kerja, dan sekolah.
Jadi ingat waktu kita SD. Kadang guru menyuruh kita membawa alas meja guru pulang untuk dicuci. Alangkah senangnya hati kita disuruh guru. Istimewa rasanya. Munculkan pulalah rasa seperti itu di tempat kerja kita. Jika kita loyal begini rasanya mutasi dan pemberhentian bagi honorer tak akan terjadi.
Menurut Barnawi dan Mohammad Arifin (2017: 14) kinerja guru dapat diartikan sebagai tingkat kenerhasilan guru dalam melaksanakan tugas dan pendidikan sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya berdasarkan standar kinerja yang telah ditetapkan selama periode tertentu dalam kerangka mencapai tujuan pendidikan.
Pendapat itu baru sebatas kinerja guru di kelas. Sebagai guru loyal di sekolah hebat dan murid hebat kita harus loyal kepada atasan dalam artian loyal membantu semua kegiatan ekstra dan intra.Â
Dengan kita mampu menyelesaikan setiap kesulitan anak didik kita di kelas, berarti kita sudah loyal kepada atasan dan orang tua murid kita. Apalagi jika kita loyal dengan semua menajemen dan kegiatana sekolah.Â
Memang berat. Tapi inilah potret beratnya hidup yang akan dihadang murid kita ke depan. Dengan demikian sekolah hebat dengan murid hebat membutuhkan guru hebat.Â
Setiap anak unik dan memiliki cara tersendiri dalam belajar, mengenali gaya belajar anak bisa membantu anak untuk mengerti bahwa mencatat itu perlu dan sampaikan alasan kita. Pun ini tanggung jawab guru dan loyalitas guru untuk menyiasati anak mau melakukan apa yang kita harapkan muncul di kelas. Hilangkan kebiasaan dikit-dikit mengadu ke wali kelas anak apalagi ke orang tua mereka.
Ketitka itu kita lakukan, kepala atau atasan kita, wakil kepala atau atasan kita, rekan kerja kita, bahkan cleaning servis di tempat kerja kita, satpam, tukang parkir, dan stakeholder, civitas akademika akan mendukungmu. Kita dihargai karena memberi. Take and give jangan hanya fokus dengan profesi kita. Tapi lakukanlah plus-plusnya sedikit.Â
Terbayang ketika kita beli gorengan? Si penjual kasih bonus satu biji plus kerak renyah. Ini dalam rangka membunuk kita untuk besok datang lagi beli gorengan. Kita harus menyiasati atasan dan rekan kerja secara elegan bukan vulgar. Contoh sederhana si penjual gorengan tadi. Dia merayu bukan lewat mulut tapi lewat tindakan alias action.
Apalagi dengan anak. Mereka makhluk kecil yang ganteng dan cantik. Mereka memiliki kekhasan masing-masing dan kecerdasan berbeda dari satu mata pelajaran dengan lainnya sesuai minat bakat bawaan sejak lahir dan binaan orang tuanya ketika usia sekolah.
Ada anak dengan gaya belajar visualnya. Ia lebih mudah untuk mengerti pelajaran dengan penglihatan, seperti menggunakan gambar, ilustrasi, diagram, video, dan sebagainya.
Anak dengan gaya belajar auditori. Ia mudah menangkap informasi melalui suara. Anak dengan gaya belajar auditori lebih cepat mengingat pelajaran dari guru yang sedang berbicara. Ia tak butuh mencatat. Anak ini semakin guru piawai  presentasi, ia akan semakin antusias mendengarkan.
Ingat satu teman waktu kuliah. Setiap dosen star menjelaskan bahan kuliah, ia pun star tidur. Tapi ketika dosen uji, ia bisa jawab semua pertanyaan dosen. Aneh.
Adapun anak dengan gaya belajar membaca dan menulis gampang memahami materi pelajaran dalam bentuk tulisan dan ditandai dengan kegemarannya untuk mencatat di buku cetak ataupun catatan. Buku cetak pun jadi sasaran coretan. Bahkan buku itu akan diberi garis merah, distabilo, dan diberi kotak untuk poin yang ia rasa penting. Sifat ini lebih melekat pada anak cewek. Cowok lebih suka visual dan audio.
Ini anak paling unik. Gaya ini melekat pada anak-anak nyeleneh tapi berotak brilian. Mereka juga rada suka iseng atau jahil. Anak dengan gaya belajar kinestetik: Ia cepat menyerap informasi saat dilakukan atau dipadukan dengan hal-hal praktis sambil goyang kaki bahkan menyanyi-nyanyi kecil. Anak ini ketika dites IQ nya di atas rata-rata. Karena itu kadang mereka terkesan hiperaktif.Â
Gaya belajar kinestetik lebih senang belajar dengan langsung mempraktikkan materi pelajarannya. Sebaiknya anak ini diarahkan ke SMK. Otomotif, Mesin, dan Olah raga.
Menurut Armstrong, kecerdasan kinestetik adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan seluruh tubuh atau fisiknya untuk mengekspresikan ide dan perasaan, serta keterampilan menggunakan tangan untuk mengubah atau menciptakan sesuatu. Terima dia ketika berada di kelas tak sesuai ekspektasi kita.
Selain itu guru atau karyawan hebat juga sebainya harus tahu latar belakang atau background atasan, rekan kerja, apalagi siswanya. Selidiki latar belakang mereka agar tahu kiat menghadapi mereka baik saat berbicara maupun bertindak. Lakukan secara diam-diam. Berikan respon sesuai hasil temuan kita agar mereka menyukai kita.
Tak jarang lo, ternyata anak-anak kita lihat bermasalah itu karena memang anak dari keluarga bermasalah. Kadang ia anak yatim tanpa ayah atau tanpa ibu. Kadang ia anak korban brokenhome, kadang ia anak yang harus ikut bekerja membantu neneknya mencari uang. Karena di sekolah hebat itu biasanya anak tumbuh di lingkungan hebat pula. Hebat dalam kaca mata hidup prihatin.
Sumber
https://repository.usm.ac.id/files/skripsi/F11A/2016/
https://www.orami.co.id/magazine/anak-malas-belajar
https://dosenpsikologi.com.kecerdasan-kinestetik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H