Satu kata yang harus ada dalam diri kita jika ingin bahagia. Ikhlas hanya butuh kerelaan. Sesekali diam. Sesekali menangis. Sesekali senyum dikulum saja. Terlepas dari kata-kata yang berkecamuk di dada. Baik mengumpat, memaafkan, maupun menyayangkan. Ikhlas tidak mau tahu dengan isi hati kita dan pikiran kita. Apakah ikhlas sosok yang egois? Tidak.Â
Dia tidak egois karena dia tak berperasaan. Dia pun jauh dari punya otak apalagi pertimbangan. Ikhlas itu perasaan kita. Ikhlas itu hati nurani kita. Ikhlas itu ada dalam otak kita, logika kita, dan analisa kita. Suka tidak suka, rela tidak rela, percaya tidak percaya, ikhlas ada dalam kendali diri yang sudah kenyang makan garam kehidupan. Manis pahit pengalaman hidup. Yah, ikhlas ada pada diri yang sudah melewati nano-nano kehidupan. Manis, asam, asin, rame rasanya.
Ketika kita berhadapan dengan logo ikhlas beramal, awalnya kita bingung. Bahkan ada pula yang cemeeh. Ikhlas beramal bukan berarti tak bergaji. Hanya saja gaji yang diterima belum sesuai ekspektasi kita. Padahal ekspektasi kita belum tentu sesuai dengan ekspestasi pemerintah atau perusahaan. Ekspektasi itu hanya berupa hayalan dan harapan kita. Kita belum merunut sebab akibatnya. Boleh kita berekspektasi tapi tak boleh frustasi apalagi mundur.
Ibarat menanam pohon. Pohon ditanam tidak bisa langsung besar dan siap tebang. Tapi butuh proses. Butuh jeda menyiram, memupuk, menyiangi, bahkan untuk saat ini butuh pestisida karena banyaknya hama. Hama dalam kehidupan bersinonim dengan tantangan.Â
Pun dalam hidup kita banyak hama dan tantangan. Baik jumlah populasi penduduk yang bertambah, jumlah orang-orang pintar yang selangkah lebih maju dari kita, juga kecanggihan zaman yang tak bisa kita ikuti karena kita gagap teknologi.
Ikhlas memang senjata kita paling ampuh untuk mau menerima takdir kita. ( Baca "Takdir" tulisan Yusriana Siregar Pahu di Kompasiana). contoh sederhana pembantu kita di rumah. Dulu ketika kita masih muda begitu mudah emosi dan mengambil keputusan yang salah ketika pembantu kita berulah. Misalnya, tiap hari ada saja piring pecah. Kita belum bisa ikhlas.Â
Begitu pula ketika ia membersihkan rumah kita kurang bersih, kita pun tak ikhlas. Sudah sekian kesalahan menurut kita diperbuatnya, kita pun memecatnya. Padahal mereka tak ingin piring itu pecah. Mereka juga tak ingin pekerjaannya tidak bersih.Â
Bisa jadi piring pecah karena ia sedang mumet memikirkan masalah di rumahnya sendiri. Membersihkan rumah tidak bersih karena kelupaan. Ketika membersihkan kunsen pintu ada tamu yang memanggil mungkin sehingga ia lupa melanjutkan pekerjaan itu. Butuh keikhlasan kita agar  gajinya berkah untuk keluarganya.
Begitupun mengharungi pergaulan sehari-hari kita dituntut ikhlas. Ketika teman kita menaruh sampah bekas makannya atau piring kotornya di atas meja kerja kita. Pindahkan saja piring  kotor itu ke westafel dan bantu buang sampah ke tong sampah.Â
Semua lini kehidupan kita berdinding ikhlas. Seiring perjalanan waktu perlahan-lahan kita bisa ikhlas. Ternyata ikhlas itu perlu memaafkan. Sikap memaafkan ternyata menyisakan bahagia meski awalnya kita terpakasa. Semua memang berawal dari keterpaksaan. Lama-lama menjadi kebiasaan. Akhirnya pasrah dan berbuah ikhlas. Tersenyum itulah kata kuncinya.