Dengan skema itu, pengangkatan tenaga non-ASN harus sesuai dengan kebutuhan instansi. Untuk mengatur bahwa honorer harus sesuai kebutuhan dan penghasilan layak sesuai UMR, maka model pengangkatannya melalui outsourcing.Â
Meskipun outsourcing sudah meluncur untuk kategori kebersihan seperti di rumah-rumah sakit, satpam, dan tenaga buruh lain, tapi yang saat ini statusnya honorer tidak langsung diberhentikan tahun 2023. Tenaga non-ASN tetap dibutuhkan, hanya saja pola rekrutmennya ke depan harus sesuai kebutuhan mendapat penghasilan layak, setidaknya sesuai UMR.
Pemerintah juga mendorong tenaga honorer kategori II (THK-II) atau tenaga non-ASN lain untuk ikut seleksi Calon ASN. Seleksi ini bisa diikuti oleh tenaga honorer melalui jalur Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), sesuai dengan pemenuhan syarat masing-masing individu.
Sementara itu, Deputi bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB Alex Denni mengatakan, secara kebijakan kesepakatan penanganan tenaga honorer oleh pemerintah diatur dalam PP No. 48/2005 jo PP No. 43/2007 dan terakhir diubah dalam PP No. 56/2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Instruksi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo untuk menghapus honorer masih jadi pro dan kontra.
Dari tiga solusi yang ditawarkan pemerintah, yaitu pengangkatan CPNS, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), dan outsourcing, hanya satu yang dinilai pemerintah daerah (Pemda) paling aman. Rekrutmen CPNS itu paling aman bagi Pemda, ketimbang PPPK, apalagi outsourcing.Â
Menurut beberapa Pemda, bahwa pengalihan pegawai non-ASN ke outsourcing akan berdampak besar, baik kepada honorer maupun Pemda. Honorer yang biasanya mendapatkan gaji Rp 1 juta misalnya, ketika dialihkan ke outsourcing berpotensi dipotong oleh penyalur jasa. Jadi, ujung-ujungnya malah membuat honorer tidak sejahtera.
Dari sisi Pemda, makin memperbesar anggaran outsourcing akan menambah pengeluaran. Sebab, pengadaan tenaga outsourcing harus lewat tender, otomatis Pemda membayar lebih besar. Contohnya, Â gaji 100 honorer setiap bulannya Rp 100 juta, bisa meningkat menjadi dua kali lipat karena perusahaan penyedia jasa harus mendapatkan keuntungan pula.Â
Jadi, Pemda malah akan membayar mahal kepada perusahaan, sedangkan honorer malah kesejahteraannya turun karena pasti kena potong gajinya.Â
Tetapi jika tenaga honorer dikelola Pemda tentu pemotongan gaji pegawai honorer tidak terjadi. Dalam hal inilah timbul pro dan kontra bagi Pemda. Di satu sisi tenaga honor mengalami pemotongan gaji dan satu sisi pihak pemenang usaha atau tender diuntungkan.Â
Perlu penjelasan dari semua pihak tentang plus minus sourcing ini. Tujuan kita semula demi penghematan biaya malah justeru membengkak karena dua posisi yang harus dibayar pemda. Secara tersiratnya pihak pengusaha penyalur tenaga kerja dibayar dan tenaga kerja yang disalurkan pun dibayar.
Â
Oleh sebab itu angin segar berita itu, bahwa pemerintah pusat menunda dulu penghapusan honorer, terutama untuk daerah 3T dengan kemampuan fiskal terbatas. Dananya sangat terbatas  bagi Pemda tertentu sehingga tergantung kepada pusat. Beberapa daerah sumber pendanaan lebih banyak dari DAU. Kalau honorer dihapus, dikhawatirkan belum bisa menggaji tenaga outsourcing.