Mohon tunggu...
Rian Arianda
Rian Arianda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa

Medan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama dengan Negara

11 Desember 2019   23:15 Diperbarui: 11 Desember 2019   23:17 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hubungan agama-negara cukup banyak menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Negara pada hakekatnya, merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, negara memiliki sebab-akibat langsung dengan manusia, karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri.

Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan tuhan yang tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang menghubungkan antara agama dan negara.
Dasar Ontologis Hubungan Negara-Agama

Konsep hubungan negara dan agama sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-masing. Keyakinan manusia sangat mempengaruhi konsep hubungan agama dan negara dalam kehidupan manusia.

Menurut Paham Teokrasi

Menurut paham ini, negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman tuhan (segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara). Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, diyakini sebagai manifestasi firman tuhan.

Ada dua sistem dalam paham ini, yaitu teokrasi langsung dan teokrasi tidak langsung.  Jika dalam pemerintahan teokrasi langsung, raja atau kepala negara memerintah sebagai jelmaan tuhan, maka dalam pemerintahan teokrasi tidak langsung, yang memerintah bukanlah tuhan sendiri, tetapi raja atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama tuhan. Kepala negara diyakini memerintah atas kehendak tuhan.

Dalam pemerintahan teokrasi tidak langsung, sistem dan norma-norma dalam negara dirumuskan berdasarkan fiman-firman tuhan. Dengan demikian, negara menyatu dengan agama. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan.

Menurut Paham Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain (urusan dunia). Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan tuhan.  

Dalam nagara sekuler, sistem dan norma-norma hukum positif dipisahkan dengan nilai-nilai dan norma agama. Norma-norma dan hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan atas agama atau firman-firman tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Negara sekuler membebaskan pemeluknya untuk memeluk agama apa saja yang diyakini, tapi tidak ikut campur tangan dalam urusan agama.

Menurut Paham Komunis
Komunisme memandang hakekat hubungan negara dan agama berdasarkan filosofi materialisme dialektis dan materialisme historis. Paham ini menimbulkan paham ateis (tidak bertuhan), yang dipelopori oleh Karl Marx (agama sebagai candu). Manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama dalam paham ini, dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.

Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia dan agama adalah keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus ditekan bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.

Menurut Islam
Ada tiga aliran menurut Syadzali (1990;235-236) ;
1.       Aliran yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup segala-galanya, oleh karena itu agama tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan negara, begitu sebaliknya.
2.       Islam tidak ada hubungannya dengan negara, kaena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. (tidak punya misi untuk mendirikan negara).
3.       Islam tidak mencakup segala-galanya, tetapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat, termasuk bernegara.

Sementara Muhammad (2000;88-94). Menyebutkan bahwa dalam Islam ada dua model hubungan agama dan negara. Model pertama, disebut sebagai hubungan integralistik, dan hubungan kedua disebut sebagai hubungan simbiosis-mutualistik.

Hubungan integralistik diartikan sebagai hubungan totalitas, karena agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara (sama dengan konsep teokrasi).

Sedangkan hubungan simbiosis-mutualistik, ditegaskan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama, sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam negara.
 
Kebijakan Politik  Tentang Agama
Menurut Anwar (1995), untuk dapat membantu memahami lebih sistematis tentang hubungan agama-negara (format hubungan Islam dan birokrasi) dalam kurun 1966-1993, ada tiga periodesasi ;
1.        Periode awal Orde Baru hingga 1970-an, yang mencerminkan hubungan hegemonik antara Islam dan pemerintah orde baru. Periode ini, ditandai dengan kuatnya negara yang secara ideo-politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di kalangan masyarakat. Pada periode ini timbul penolakan-penolakan umat Islam terhadap konsep modernisasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga meimbulkan ketegangan-ketegangan di antara kedua lembaga tersebut. Inilah yang Effendi (1998 ; 61) disebut hubungan tidak serasi antara Islam dan negara.
2.        Periode kedua, adalah periode 1980-an, dimana hubungan Islam dan birokrasi bersifat resiprokal (yaitu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik serta pemahman di antara kedua belah pihak). Soal politik, misalnya, diselesaikan bersama dan diharapkan dapat mempertemukan kepentingan-kepentingan masing-masing. Dalam periode resiprokal ini, timbul kesadaran pemerintah bahwa Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa dikesampingkan. Tindakan memarginalkan Islam adalah tindakan yang tidak menguntungkan. Jajaran birokrasi menyadari bahwa para intelektual Islam mempunyai potensi yang amat signifikan dalam pembangunan bangsa. Pola ini disebut Thaba (1996 ; 164) hubungan bersifat resiprokal kritis.
3.        Dekade 1990-an. Berkat artikulasi dan peranan cendikiawan Muslim, hubungan Islam dan Orde Baru berkembang menjadi akomodatif. Hal tersebut ditandai dengan semakin responsifnya kalangan birokrasi dan sejumlah kebijakan yang akomodatif bagi umat Islam.
Kebebasan politik, yang ditandai dengan munculnya 48 parpol peserta pemilu 1998-1999, merupakan salah satu indikator bahwa pemerintah mengurangi intervensi politik kepada warganegara. Hal inipun masuk dalam sektor agama (kebebasan pemeluk mengamalkan ajaran agama).
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun