Sama saja seperti itu, masing-masing manusia memang punya tahapan pada masing-masing diri untuk bisa memahami suatu bacaan.
Teman saya pernah bercerita soal toko buku di luar Indonesia sana yang bahkan bisa membagi buku bacaannya dalam beberapa level sesuai dengan kemampuan pembacanya.
Mungkin cara ini cukup bagus untuk bisa memahami diri kira-kira kita sudah di level mana. Sekalian untuk evaluasi, agar segera naik level dan menajajal berbagai genre buku lainnya.
Jadi, rasanya kita pun tidak bisa menghina para pembaca buku Tere Liye, karena setiap buku memang memiliki segmentasi usia serta faktor selera yang unik
 Tidak semua karya bisa cocok sama selera kita, iya kan?
Karena itu, mi indomie dibuat dengan banyak varian rasa. Jadi, kita setuju ya untuk tidak perlu menghina karya tulisan lain cuman gegara tidak cocok dengan selera diri.
Tapi, di luar dari semua itu, ada yang lebih parah ketimbang book shaming yaitu writer shaming. Saya kerap membaca curhatan para penulis wattpadd favorit saya (#eeaaa saya pun masih suka baca cinta-cintaan remaja) mengeluhkan tentang banyaknya pesan bernada perundungan. Mulai dari penghinaan karya sampai pada penghinaan personal, dikiranya menulis itu semudah ngupil yang hanya butuh jari kelingking apa!
Jadi, untuk sesama pecinta buku, ingatlah bahwa ada istilah selera dan usia yang melatari seorang pembaca memilih buku.
Saya yakin, semua pembaca yang terus haus akan buku pastilah akan terus berkembang. Pada ujung-ujungnya, semua pembaca akan memakan semua genre dan menyadari bahwa membaca adalah proses pencarian jati diri yang tiada henti, bukan begitu wahai kaum literasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H