Beberapa hari lalu (24/10/18), saya adalah satu dari sekian orang yang terpilih untuk mengikuti acara akbar Temu Inklusi #3, Menuju Indonesia Inklusif 2030 melalui inovasi kolaboratif di Desa Inklusi, Desa Plembutan, Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta.Â
Bisa saya sebut bahwa ini pestanya teman-teman difabel dari seluruh penjuru kota karena saat berinteraksi dengan mereka, beberapa menginformasikan bahwa mereka ada datang dari Jakarta dan juga kota-kota lainnya.
Seorang ibu dengan motor roda tiganya, menyapa saat saya ada di salah satu booth inklusi. Saya tanya asalnya, ternyata dari Jogja. Wow, lumayan jauh.
Saat saya tanya ke sini naik apa, ditunjuknya motornya tersebut dengan bangga. Saya tertegun dan menyiratkan rasa hampir tak percaya dengan kegigihan beliau yang melewati jalan naik turun pegunungan (Gunung Kidul) sendirian dengan motornya.
"Saya bisa karena terbiasa mbak....", katanya sambil bersemangat. "... dan terpaksa.... hahaha...," lanjutnya sambil tertawa lebar.
Ini baru keren, kata saya dalam hati. Bagi saya, ini pengalaman yang sangat luar biasa. Ribuan teman-teman hebat ini bisa bertahan hingga hari ini karena semangatnya yang tak pernah padam.
Bagaimana tidak, saat ini tak semua orang bisa menghargai keberadaan mereka. Diskriminasi sering terjadi, apalagi jika ada syarat 'harus sehat jasmani dan rohani', sudah pasti mereka tersisih, dalam hal apapun.Â
Nah, menanggapi fenomena ini, kebetulan saya bersama tim ditugaskan mengikuti acara bersama kawan-kawan difabel ke sebuah balai desa, dimana bangunan limasan kuno berdiri gagah menyambut kedatangan kami.
Tak banyak yang bisa kami lihat di sana, kecuali hamparan sawah yang luas dengan tanah gersangnya. Ya, gersang karena di kota Jogja dan sekitarnya memang belum mendapat guyuran hujan secara adil.
Gersang dan ketidakadilan, itupun yang setidaknya menjadi poin dari lokakarya bertema "Agama, Budaya dan Difabel" yang saya ikuti siang itu. Kebetulan salah satu narasumbernya adalah seorang pemerhati dan pelaku budaya, Herman Sinung Janutama.
Ia pun sebagai penulis buku "Difabel dari Kacamata Budaya Jawa" yang memberikan persepktif baru tentang kaum difabel. Kang Herman menyebut para penyandang disabilitas di masa lalu dengan istilah 'Polowijan'.
Ini semacam kosakata unik dan baginya hanya muncul dalam nalar eksotik Jawa ataupun Nusantara. Kaum difabel di masa lalu memiliki kontribusi dalam membangun negeri karena mereka dihargai oleh masyarakat pada umumnya.
Menariknya lagi, mungkin dari sekian banyak orang belum mengetahui bahwa mereka merupakan pengiring kesayangan Raja Jawa zaman dulu. Wow.
Mengikuti event menarik ini, saya menemukan beberapa benang merah tentang perkembangan polowijan yang ada di Indonesia. Inilah oleh-oleh saya.Â
1. Kaum Difabel sudah 'diuwongke' (dihargai/dianggap ada) sejak dulu
Betul sekali. Polowijan telah diakui keberadaan sejak zaman dulu. Kita pasti mengetahui bahwa masyarakat Indonesia yang beranekaragam memiliki kearifan lokal terkait disabilitas, tak terkecuali Jawa. Khusus kota Jogja sendiri, Bergodo Polowijan sudah divakumkan sejak sekitar 20 tahun lalu, sejak Sri Sultan HB IX menjabat.
Menilik sejarah masa lalu, sejak tahun 1755, bahkan saat Kraton Jogja belum berdiri, semua Kraton di Jawa memiliki bergodo Polowijan alias Bergodo Cebolan alias Bergodo Panakawan. Nah, bukti kecil bahwa kaum disabilitas di Indonesia sangat dihargai keberadaannya di masa lalu.
Indonesia memang hebat dalam memberikan penghargaan terhadap kaum difabel. Saking mendapatkan tempat di hati para raja, bahkan mereka difasilitasi Ndalem Polowijan, disamping pemangku Palawijan. Setiap kali ada event kerajaan, mereka selalu berada pada baris paling depan, baru disusul prajurit lainnya.
Tak hanya itu, saat Raja atau Ratu membutuhkan nasihat atau solusi, kaum Polowijan adalah yang pertama dimintai pendapat. Ini karena raja menganggap mereka memiliki kelebihan, dibalik kekurangan fisik yang terlihat.
Difabel dalam struktur masyarakat zaman dulu memiliki peran yang sama dengan tanaman palawija, yaitu 'minangkani' atau memenuhi kebutuhan orang lain. Ini adalah satu nilai berharga yang harus kita pegang hingga sekarang.Â
3. Menjunjung Tinggi Pepatah "Golong Gilig Traju Manggala"
Ada yang tahu makna pepatah 'Golong gilig traju manggala'? Ini adalah sebuah nasihat agar seluruh lapisan masyarakat bersatu padu untuk menciptakan tatanan kehidupan yang adil dan makmur.
Nah, ini mengingatkan kita pada keharmonisan masyarakat di masa lalu yang belum ada diskriminasi terhadap kaum difabel karena semua berpedoman pada Bhinekka Tunggal Ika.
Masyarakat Jawa, baik yang difabel maupun yang tidak, dalam kesehariannya bersatu padu membentuk kehidupan yang penuh kasih dan gotong-royong. Diferensiasi ini terjadi setelah ada penjajahan dan setelah UNESCO atau PBB menggalang bantuan khusus korban perang kaum difabel.
4. Pergaulan Difabel dan yang bukan Difabel semua tersurat melalui Pewayangan
Nah, satu hal ini yang mungkin jarang kita ketahui. Untuk memahami bagaimana interkasi sosial masyarakat secara umum, baik itu difabel maupun yang bukan, semua bisa kita nikmati melalui pewayangan.Â
Tata krama pergaulan, strategi perang Mahabarata, atau Kyai Petruk sebagai penyandang difabel yang terus diremehkan namun ia tak gentar menghadapi Puntadewa, ada dalam cerita pewayangan. Siapa yang suka juga menikmati salah satu budaya Jawa ini? :DÂ
Penghargaan maupun penghormatan kepada kaum Polowijan diangkat dengan baik. Nah, pernah mendengar tentang tokoh Punakawan? Menurut cerita, mereka ternyata difabel juga. Badan Petruk yang terlalu tinggi atau Bagong yang bermata besar dan pendek, adalah salah satu ciri yang dapat dilihat.
Jika di Indonesia difabel dihargai di masa lalu, tidak dengan negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika. Sejarah difabel di Amerika sangat menyedihkan karena begitu terlahir sebagai difabel, ia harus masuk ke ruang pembakaran karena dianggap evolusi (produk) gagal.Â
Di Amerika, para difabel tidak bisa bebas berjalan-jalan di ruang publik karena mereka pasti kena bidikan sniper. Kesadaran untuk melindungi difabel baru diusahakan setelah Perang Dunia ke-2 di tahun 1970-an. Menyedihkan ya :(
***
Cerita ini memberikan benang merah yang begitu menarik, yaiu begitu besar peran kaum Polowijan untuk membangun peradaban masyarakat di Nusantara dari waktu ke waktu.Â
Bahkan Raja Amangkurat 3, alias Amangkuran Kencet (disebut ini karena hanya memiliki satu kaki) juga sukses menjabat sebagai Raja. Mana ada istilah harus ‘Sehat Jasmani dan Rohani’, yang ada di zaman dahulu para pemangku jabatan dipilih karena kapabilitas atau kemampuannya, bukan melulu fisik.
Di Indonesia sendiri, kini perhatian kepada kaum Polowijan berkurang. Bukankah alangkah baiknya jika kita bisa melestarikan tradisi raja-raja zaman dulu untuk memberdayakan ‘mereka’ melalui kegiatan-kegiatan positif.
Sebaiknya, jangan menyebut mereka dengan istilah ‘kekurangan’, namun gantilah dengan ‘kelebihan’, karena apa yang mereka bisa, belum tentu bisa kita lakukan.
Yuk kembali ke Bhinekka Tunggal Ika :)
Riana Dewie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H