Buku yang berjudul "Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman Katolik" ini seakan meyadarkan saya tentang harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Bernadus Wibowo Suliantoro, sudut pandang yang digunakan untuk membahas sila-sila pancasila ini memang menggunakan prinsip ajaran gereja. Tapi perlu diketahui, kerangka pemikiran filosofisnya dapat digunakan oleh semua agama.
Beberapa waktu lalu (11/5/18), saya menghadiri sebuah seminar menarik dimana sebelum acara inti dimulai, hadirlah sebuah momen membanggakan, yaitu peluncuran buku berjudul "Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman Katolik". Acara yang dihadiri oleh ratusan peserta ini diadakan oleh Unit Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Atma Jaya Yogyakarta (MPK UAJY) yang bekerja sama dengan Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Usai peluncuran buku, barulah acara inti dari seminar yang dibuka oleh Dr Gregorius Sri Nurhartanto SH LL.M. selaku Rektor UAJY ini dimulai. Dari awal acara hingga selesai, beberapa kali peserta diajak moderator untuk meneriakkan "Salam Pancasila" dengan semangat dan mengangkat lima jari ke atas. Tentu saja, ini bertujuan untuk mempertahankan semangat kebhinekaan peserta serta mengaplikasikan nilai-nilai dasar Pancasila. Beberapa lagu nasional pun dikumandangkan, jujur saya masih saja merasa merinding saat menyanyikannya---sebuah kebersamaan yang sudah jarang saya rasakan.Â
Seminar yang diadakan di Auditorium Kampus II Gedung Thomas Aquinas UAJY ini menghadirkan beberapa narasumber populer, diantaranya Yudi Latif MA PhD (Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Kardinal Julius Darmaatmaja SJ, Methodius Kusumahadi (Satunama Foundation Yogyakarta) serta Dr B. Wibowo Suliantoro MHum (Dosen MPK UAJY).
Menurut Yudi Latif MA PhD, Spiritualitas membuat hati kita lebih jernih. "Bagaimana jalan spiritualitas supaya bisa mencerminkan kebeningan hati dan memendarkan relasi kasih, itu menentu pada pola relasi kreatif", ungkapnya. Ia menajamkan teorinya dengan mendeskripsikan tiga relasi kasih yang harus diketahui, yaitu dunia atas dimana ini berhubungan dengan Sang Pencipta, dunia tengah dimana ini mengacu pada hubungan kita terhadap sesama serta dunia bawah yang tak lain adalah alam semesta. Tugas kita saat ini adalah bagaimana membuat ketiganya bekerjasama membentuk kehidupan yang sehat dan harmonis.
Banyak nilai kehidupan yang bisa dipetik dalam seminar ini. Yudi Latif mengajak kita agar bisa mencintai sesama seperti kita mencintai diri sendiri. Salah satu cerminan peduli kepada sesama adalah gotong-royong. Sifat Gotong-royongini harus terus kita lestarikan karena di sini terkandung rasa untuk saling mengasihi, saling memberi, saling berbagi, saling mencintai yang tentunya ini semua melintasi batas-batas identitas diri kita sendiri.
Jauh sebelum agama hadir di Indonesia, gotong royong sudah ada lebih dulu. Oleh karenanya, diharapkan agar karakteristik asli nusantara ini bisa dilestarikan, dimana kita bisa hidup berdampingan dan bertoleransi antar umat beragama.
Jalan Pancasila, seperti yang diungkap di buku ini adalah jalan gotong royong yang bisa kita aplikasikan dalam terang iman. Bagaimana kita mengembangkan ke-Tuhan-an yang welas asih, setiap orang memiliki caranya masing-masing.
Pembicara berikutnya yang juga ingin menanggapi peluncuran buku bertema Pancasila ini adalah Kardinal Julius Darmaatmaja SJ,. "Menjadi warga negara 100% Katolik, 100% Pancasilais" adalah ungakapan populer, dimana ini mengandung makna bahwa dalam terang iman Katolik, dengan niat yang tulus dan suci, umat Katolik dimanapun berada harus sungguh-sungguh mengamalkan Pancasila. Tentu, ini secara perlahan dapat mewujudkan peradaban kasih, tak hanya dengan mereka yang seiman, namun juga dengan umat yang beragama lain. Â