Si putih yang terkembang 'sayapnya' ini mulai menarik perhatian mata saya. Ia seolah bersiap untuk diajak berkelana dalam balutan ornamen dan warna yang indah. Tak ragu untuk berpetualang, jemari saya mulai bersentuhan dengan kuas, terpilih warna daun saat aksi perdana---samar-samar hingga menajam goresan warna di tiap ruasnya.
Sulit? Ya, karena jemari ini lebih terbiasa menyentuh keyboard laptop dibanding memainkan cat warna. Enam puluh menit rasanya terlalu singkat untuk membuatnya sempurna. Menikmati prosesnya, itu yang menggenapi kepuasan saya.
Sebuah perjalanan syahdu saya lalui bersama para sahabat dalam kebersamaan di bawah terik mentari. Laju bus yang kami tumpangi rupanya membelah beberapa kawasan pinggiran area Klaten, tempat dimana hamparan sawah luas masih jelas penampakannya.
Mendadak dejavu, "Kok dulu kayak pernah lihat ginian ya....". Anehnya lagi, sebelum sampai ke lokasi, seorang kawan menanyakan tentang apa itu payung lukis.Â
Dengan santainya saya jawab, "payung kertas yang kayak di Tasikmalaya itu loh...". Padahal, saya belum browsing apa itu payung lukis, apalagi ke Tasikmalaya, sekalipun belum pernah.
Hawa sejuk khas 'ndeso' saya rasakan usai turun dari bus. Walaupun terlahir di kota kecil yang bersemboyan 'Klaten Bersinar' ini, kawasan ini sepertinya memang jarang saya sambangi. Apalagi tentang sentra kerajinan payung lukis, baru hari itu saya berkenalan.Â
Kekaguman saya menjadi-jadi saat pandangan mata terlempar jauh pada sebuah dinding yang kaya akan seni mural dalam balutan warna yang begitu ceria.
Daya tariknya hanya itu? Gak dong. Ternyata, kawasan ini memiliki nilai sejarah lantaran menjadi sentra kerajinan Payung Lukis sejak tahun 1800-an. Payung Juwiring, sebutan untuk payung lukisnya ini diambil dari nama 'Juwiring' yang tak lain adalah nama kecamatan di daerah ini.Â
Kemampuan para pengrajinnya didapatkan secara turun-temurun sehingga tak heran jika produk ini makin langka dan sulit ditemukan di daerah lainnya.
Sekalipun pernah mengalami penurunan omset secara drastis beberapa tahun lalu, syukurlah karya mereka itu selalu mendatangkan rejeki.Â
Banyaknya pesanan dari dalam maupun luar negeri membuat karya unik ini semakin dikenal oleh masyarakat luas. Seperti apa sih menariknya payung juwiring ini? Berikut beberapa hal yang berhasil saya ringkas usai berjalan-jalan ke sana.
Tak dapat dipungkiri, Payung Juwiring sempat berjaya di tahun 60-an. Hadirnya payung modern berbahan plastik atau sintetislah yang membuat eksistensi payung tradisional ini memudar. Lebih mudah diproduksi dan praktis, itu menjadi alasannya.
Namun atas tekad dari beberapa keturunan pengrajin masa lalu, payung Juwiring dihidupkan kembali dalam kemasan 'Paguyuban Lukis Ngudi Rahayu' yang dimotori oleh Bapak Ngadiyakur di tahun 2013. Beliau sendiri ternyata sudah berkecimpung di bisnis etnik ini sejak awal 2000-an.
Payung klasik yang diproduksi sejak zaman Mataram ini telah menjadi satu kekayaan budaya bangsa yang sentuh kearifan lokal. Proses pembuatannya tak mudah, dimana keseluruhannya murni dikerjakan dengan cara manual atau mendayagunakan tangan manusia hingga saat ini.Â
Kearifan lokal bisa diartikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan dkk; (2012:159)). Sebagai salah satu penyokong kearifan lokal di daerah ini, payung juwiring dari waktu ke waktu berproses menjadi karya yang unik, fungsional serta memiliki nilai seni yang tinggi.
3.Payung Lukis Juwiring Sukses Go Internasional
Syukurlah, karya dari paguyuban ini sudah dinikmati dan dipamerkan dalam beberapa event. Kabar baiknya lagi, industri kreatif ini juga mendapatkan support dari beberapa pihak, diantaranya Kementerian Pariwisata.
Payung Juwiring tak hanya bisa dinikmati di negeri sendiri, namun sempat dipamerkan juga pada event-event seni berkelas internasional di Berlin, Dubai, Jepang, Suriname, Kamboja maupun Thailand. Wow keren.
Dalam prosesi upacara adat (budaya) di beberapa daerah, payung Juwiring merupakan bagian dari ubo rampe yang harus ada. Selain masyarakat Bali yang menggunakannya dalam upacara Ngaben, Keraton Surakarta pun tak ingin kalah menggunakan payung ini setiap kali menyelenggarakan upacara Suronan dan Muludan.
Tak hanya itu, Keraton Jogja pun rutin memesan payung Juwiring untuk berbagai kebutuhan, diantaranya upacara labuhan di Laut Kidul yang dilakukan oleh para abdi dalem.
5. Berkontribusi pada Festival Payung Indonesia (FPI)
Tahun 2016 lalu, Payung Juwiring dari Paguyuban Lukis Ngudi Rahayu sukses memenuhi permintaan pasar yang meningkat drastis, yaitu sekitar 2000 payung per bulannya. Kamu sempat datang ke Festival Payung Indonesia (FPI) ke-3 di Taman Balekambang, Solo 2016 lalu? Nah, ribuan payung Juwiring ternyata ikut meramaikan festival tersebut loh.
***
Itulah eksistensi industri kreatif Payung Juwiring yang telah diakui nilai seninya, baik skala nasional maupun internasional. Siapa sih yang gak terpesona dengan kreasi tangan-tangan terampil nan cekatan dalam wujud karya yang mulai langka ini?
Walau tampak simpel, ternyata proses pembuatan payung juwiring harus melewati beberapa langkah. Pertama, pengrajin membuat kerangka payung dasarnya, dimana menurut pak Ngadiyakur, mereka bisa memproduksi sekitar 800 payung per minggunya.Â
Tahap kedua adalah proses melukis. Pengrajin biasanya membentuk ornamen sesuai pesanan atau bisa langsung menumpahkan ide di atas lembar payungnya jika memang sudah hafal dengan coraknya.
Selain mendapatkan perhatian dari Kementerian Pariwisata, Paguyuban Lukis Ngudi Rahayu juga menjadi target bidikan Dompet Dhuafa untuk mempertahankan eksistensi kerajinan payung lukisnya. Harapannya, mereka bisa memanfaatkan dana tersebut untuk meningkatkan jumlah produksinya serta mendatangkan lebih banyak pelanggan.
Bagaimana masa depan dari usaha yang telah sukses mengangkat kearifan lokal nusantara ini? Semoga Dewi Keberuntungan berpihak pada mereka yang masih berjuang.Â
Riana Dewie
Sumber:
- Observasi & wawancara langsung dengan pengrajin
- Berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H