“Benda Ini buat apa mbak?” “Ini buat dipakai di kepala, sedangkan yang ini diikatkan di pinggang....”, ucap seorang mbak penjaga di salah satu stand yang memperkenalkan pakaian adat Papua di Jogja. Kami sangat takjub dengan berbagai peninggalan budaya masyarakat Papua yang satu ini karena selama ini hanya bisa melihatnya dari media online maupun elektronik.
Saya sering melihat beberapa masyarakat asli Papua mengenakan pakaian adat dengan berbagai aksesorisnya yang terbuat dari bahan-bahan alam. Tak bisa dipungkiri, mereka terlihat sangat unik dan tersentuh nilai seni yang sangat tinggi. Lalu, sebenarnya ada acara apa ini? Kok pernak-pernik Papua ada di Jogja?
Ya, kemarin (02/06/16) kami Kompasianer Jogja merasakan kebanggaan yang luar biasa karena diberi kesempatan untuk meliput acara megah yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Papua dengan tajuk “Meneropong Papua dari Kacamata Budaya Papua” di mana acara ini mendapat dukungan penuh dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama PT. Freeport Indonesia yang berlangsung di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjo Soemantri (PPKH) di area UGM, Yogyakarta. Acara ini diadakan selama dua hari, yaitu tanggal 2 hingga 3 Juni 2016.
Terlihat pula antusias masyarakat yang sudah tak sabar lagi untuk mengikuti perayaan budaya suku-suku di Papua ini karena acara ini memang dibuka untuk umum dan gratis tentunya.
Sepanjang mengikuti acara ini, ada banyak penampakan nilai seni dan budaya yang membuat para pengunjung takjub bahkan membuat kami semakin menyadari bahwa suku-suku di Papua memang bernilai seni tinggi di kandungan tanah Papua dengan kekayaan yang berlimpah. Mau tahu bukti kekayaan mereka? Inilah beberapa hal yang dapat saya rangkum :
1. Ewer, Pakaian Unik Identitas Masyarakat Papua
Sebuah stand kami datangi untuk mengenal lebih jauh tentang peninggalan budaya masyarakat Papua. Ya, disini para pengunjung bisa lho mencoba berbagai baju adat Papua dengan aksesorisnya yang terbuat dari bahan alam.
Baju tradisional yang sering disebut Ewer ini biasanya terdiri atas rok bawahan rumbai-rumbai yang terbuat dari rajutan daun sagu serta hiasan penutup kepala berbentuk mirip mahkota yang biasanya juga terbuat dari anyaman daun sagu, rambut ijuk maupun bulu burung Kasuari.
Suku-suku di Papua juga sering mempercantik penampilannya dengan aksesoris gelang, kalung, ikat pinggang dari manik-manik serta rumbai-rumbai untuk menghias pergelangan kaki.
Di acara ini, para pengunjung juga dimanjakan dengan penampakan peninggalan budaya yang tak kalah uniknya, yaitu Noken. Noken adalah tas khas Papua yang patut dibanggakan karena telah dicatat oleh UNESCO sebagai karya tradisional dan warisan dunia per tanggal 4 Desember 2012.
Peninggalan budaya yang berbahan benang nilon dan serat kulit kayu ini biasanya dipakai oleh wanita sebagai lambang kedewasaan. Dengan disangkutkan di kepala, tas ini memang multifungsi bahkan dapat diisi barang-barang berat, diantaranya untuk membawa hasil pertanian seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, kayu bakar atau bahan-bahan lain yang akan dijual ke pasar. Bisa pula dimanfaatkan untuk menggendong anak.
Wow, luar biasa ya mereka, beban seberat itu bisa terbawa dengan kepala sebagai tumpuannya. Sebagai cinderamata, noken dijual dengan harga mulai Rp. 15 ribu hingga ratusan ribu rupiah, tergantung ukurannya.
3. Tas kulit Kayu Mini (Tas HP)
Oh ya, benda yang satu ini juga termasuk tas khas Papua, hanya saja bentuknya mini. Kerajinan kulit kayu ini biasanya bisa dimanfaatkan untuk menyimpan HP atau benda kecil lainnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Jika dijual di pasaran, harga tas imut ini berkisar mulai Rp. 40 ribu. Nah, kalau saya dan kompasianer Jogja lainnya sih tidak perlu membeli karena sudah dikasih gratis oleh panitia. Hihihi.....
Sebuah miniatur rumah adat Papua juga tampak gagah berdiri menyambut para pengunjung ataupun tamu undangan di bagian pintu masuk gedung ini. Banyak yang berfoto di depan Honai, tak terkecuali kami. Di Papua sendiri, bangunan yang tingginya sekitar 2,5 meter ini biasanya terbuat dari kayu serta dilengkapi atap jerami dengan bentuk kerucut.
Sengaja dibuat tak terlalu luas karena manfaat utamanya adalah untuk menahan hawa dingin dari pegunungan. Oleh karenanya, di bagian dalam rumah biasanya dipersiapkan tempat untuk perapian sebagai media masyarakatnya untuk menghangatkan tubuh.
5. Kerajinan Ukiran Bernilai Seni Tinggi dari Berbagai Suku di Papua
Ini yang sebenarnya dilihat pertama kali oleh para pengunjung sebelum masuk di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjo Soemantri (PPKH), tempat diadakannya acara besar ini. Ya, sebuah stand yang memang menyuguhkan berbagai kerajinan ukiran kayu yang sangat menarik dengan hasil yang bervariasi. Hasil ukiran kayu masyarakat Papua memang sangat diburu para wisatawan, apalagi ukiran kayu suku Asmat.
Tingkat kerumitan pemahatan yang tinggi dengan alat ukir yang masih sangat tradisional menjadi nilai lebih yang patut dihargai mahal. Jadi jangan heran jika harga patung kayu ini dipathok lumayan mahal, yaitu mencapai ratusan ribu rupiah seperti yang kami saksikan di acara ini. Mau lihat koleksinya? Inilah karya ukiran kayu dari beberapa pengrajin asli Papua yang kemarin sempat saya dokumentasikan :
Tarian ini membuka acara “Meneropong Papua dari Kacamata Budaya Papua”dengan berbagai gerakan yang lincah dan menarik. Singkatnya, menurut pembawa acara, tarian ini menceritakan tentang seorang pemuda yang tenggelam di laut hingga pada akhirnya ia terdampar di pesisir laut dan diselamatkan oleh burung camar. Diiringi musik ritmis, tarian ini seakan menyambut para tamu yang hadir dengan kebanggaan yang luar biasa, tentunya dengan baju tradisional khas papua.
Riana Dewie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H