Saya melangkah kedepan, dengan mata jelalatan. Hampir mirip dengan pencuri junior yang belum berpengalaman, takut ketahuan orang. Langkah lagi, wussssshhhh….. wajah dan kepala saya makin dingin karena diterpa udara yang bergerak di sekitar saya berdiri. Apaan ini? Ampun Tuhan, jangan-jangan ada yang ngikutin saya dari belakang. Saya mulai gentar, bulu kuduk berdiri, mulut membisu tak berteriak… Makin terperanjat ketika melihat pemandangan itu…. Putih-putih itu melayang diatas, kainnya bergerak bak terkena angin, beberapa detik tak terhenti. Terus dan terus bergerak… Parah, kaki saya makin berat, badan saya kaku, tangan saya gemeteran…. Meniupkan sedikit kata pun tak bisa, apalagi menyemburkan teriak sekeras-kerasnya.
Tiba-tiba ada langkah kaki dari arah depan, jalannya lambat, berwarna hitam dari kejauhan.. mendekat..mendekat dan makin mendekat…..Ketika saya hampir tak sadarkan diri karena kaki tak dapat lagi menopang tubuh, dia memanggil nama saya, ”Riana, mau apa kok kesini?” baru saya tersadar, bahwa itu adalah suara tante saya yang ternyata sedang ambil margarine di dapur untuk bumbu jagung bakar di depan. Ya ampun, bukan hantu. “ Ini mau pipis tante…”, Itulah jawaban yang berbumbu rasa lega saya bak padang pasir diguyur hujan. Dan ternyata, putih-putih yang melayang tadi hanyalah wujud tirai setinggi dua meter yang menyambut di setiap pintu kamar vila itu.
Fine. Akhirnya saya melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan tante saya menuju keluar untuk kembali ke tempat api unggun. Saat mau sampai di area delapan deret toilet usang di vila ini, berhias lampu warna kuning redup, tembok jamuran dan retak-retak, tiba-tiba ada hantaman dari luar salah satu toilet dan duaarrrrrr..!!! Sungguh memekakkan telinga, salah satu toilet pintunya tertutup sendiri. Ini bukan saya pelakunya. Sumpah. Bukan sayaaaaaaaaaaaaaaa…………….
Riana Dewie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H