Kompetisi Menulis 'Stop Kekerasan dan Eksploitasi Seksual Anak Indonesia'
[caption id="attachment_376274" align="aligncenter" width="360" caption="sumber : m.kabar24.com"][/caption]
Hati saya merasa tergerak saat saya membaca iklan kompetisi menulis bertema “kekerasan seksual pada anak” di kompasiana yang diadakan oleh Yayasan Gugah Nurani Indonesia | Human Rights Working Group | SAPA Indonesia | #ForumHakAnak25. Saya serasa ditarik kembali di masa lalu, dimana saya pernah melihat peristiwa tidak menyenangkan yang dialami orang-orang di sekitar saya saat itu. Dan hingga tumbuh dewasa, fenomena kekerasan seksual kepada anak ternyata semakin menjamur, bahkan tak jarang dilakukan oleh orang terdekat mereka.
Psikologi anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada disekitarnya. Jika sejak kecil ia tumbuh dalam lingkungan yang baik, memiliki keluarga yang cukup memberikan pendidikan moral dan agama, memiliki teman-teman yang baik dan dekat dengan orang-orang yang bertanggung jawab dipastikan mental anak itu akan berkambang baik bahkan akan berpengaruh positif pada psikologinya karena info yang ia terima sejak kecil adalah informasi yang bersifat ‘membangun’. Sebaliknya, apabila ia tinggal dalam lingkungan yang kurang bersahabat, sering menyaksikan kekerasan di sekitar tempat tinggalnya (bahkan di rumah sendiri), kurang mendapatkan pendidikan moral dan agama dari keluarganya atau bahkan ia sendiri mengalami kekerasan fisik ataupun seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya, tentu ini akan berdampak buruk bagi perkembangan psikologi anak itu. Ia akan berjalan dengan arah yang tak tentu dan hal ini tentu tidak baik untuk perkembangan mentalnya. Ibarat membuat kue, jika bahan pembuat adonannya tidak pas (kurang atau lebih), tentu kue yang dihasilkan setelah dipanggang juga kurang enak, mungkin kurang manis, bantat, kurang mengembang, kurang beraroma dsb. Begitu pula dalam memberikan pendidikan kepada anak.
Berikut ini saya memiliki 2 cerita nyata dari lingkungan sekitar tempat tinggal saya yang berhubungan dengan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur :
CERITA 1
MIRIS, ‘KEKERASAN SEKSUAL’ OLEH PENJUAL MAINAN INI SAYA SAKSIKAN LANGSUNG
Tiba-tiba saya terbawa ke masa lalu, kira-kira tahun 1996, saat saya masih berada di bangku SD, dimana saya melihat seorang teman saya menerima pelecehan seksual dari seorang penjual mainan keliling yang sering berhenti di dekat rumah. Rasanya wajar ya apabila anak kecil seusia Sekolah Dasar masih suka membeli mainan, pernak-pernik, permen cicak, coklat roti, snack ringan dari para penjual mainan keliling, baik di area sekolah ataupun di rumah. Saat itu saya memiliki 2 teman lain yang dulu pernah menjadi teman sepermainan saya. Ada pula pelakunya, sebut saja Bapak X, seorang Bapak yang berjualan mainan anak-anak dan seringkali berhenti di dekat rumah. Dengan menggunakan sepeda yang dilengkapi dengan rak bambu yang ditempelkan di atas sepedanya, Bapak X mengatur seluruh barang dagangannya dengan sangat ciamik sehingga wajar jika menarik perhatian banyak anak saat itu, termasuk saya dan kedua teman saya.
Hampir setiap hari kami menunggu kedatangan Bapak itu saat libur sekolah. Ya, setiap jam 8 pagi, Bapak itu pasti berhenti dan banyak anak-anak berlarian langsung menghampiri Bapak X, layaknya semut-semut yang melihat gula. Pada awalnya, semuanya baik-baik saja. Namun setelah sekian kali kami membeli, saya melihat ada yang aneh dengan Bapak X. Pandangan dia sangat aneh kepada kami bertiga, dimana kami adalah anak perempuan semua. Ada seorang teman saya yang pada saat itu paling dewasa sehingga perkembangan organ tubuh remajanya adalah yang paling menonjol dari pada saya dan 1 teman lainnya. Dengan tanpa bersalah, saya melihat langsung tangan Bapak X meraba tubuh bagian depan (dada) teman saya tadi. Tidak hanya sekali, setiap kali kami bertiga membeli dagangan dia, dia selalu mengulang hal sama. Saya beruntung karena saat itu saya masih tergolong kecil secara fisik sehingga mungkin kurang menarik perhatian Bapak X. Melihat kejadian yang menimpa teman saya tadi, saat jajan di tempat Bapak X, saya selalu berusaha menjauh dari jangkauan Bapak X untuk kewaspadaan. Dan akhirnya, suatu ketika saya ajak teman saya yang jadi korban tadi untuk membeli dagangan Bapak X di lain hari. Namun dia tidak mau, dengan menjawab : “Enggak mau ah. Takut diraba lagi.”
Entah apa yang dirasakan teman saya itu. Mungkin dia merasakan trauma, walaupun saat itu saya pun tidak menyadarinya karena pemikiran kami juga belum sejauh itu untuk seusia anak SD. Hal yang membuat saya heran, saat peristiwa kekerasan terjadi, teman saya hanya diam, seakan takut dan mengikuti keinginan bejat Bapak X, walaupun mungkin di dalam hatinya Ia ingin menjerit karena ketakutan dengan apa yang dialaminya ini. Dia pun tidak berani mengadu ke orang tuanya karena mungkin takut terjadi masalah. Jadi, dia menutup rapat masalah ini, dan hanya kepada saya dan 1 teman yang lain dia berani bercerita.
Setelah teman saya menolak ajakan untuk beli mainan di tempat Bapak X, saya sendiri pun merasakan kekhawatiran yang hampir sama. Khawatir jika saya akan menjadi korban selanjutnya sehingga saya pun berhenti untuk jajan mainan di tempat Bapak X beberapa tahun lamanya hingga saya beranjak dewasa. Dan akhirnya, sejak peristiwa itu, teman saya menjadi sangat protektif terhadap orang yang lebih dewasa. Bahkan saat dia berumur 20 tahun an, dia pun masih sangat protektif melindungi dirinya dari laki-laki. Mungkin ini semacam trauma akibat peristiwa yang pernah dialaminya ketika masih kecil itu. Kisah ini membuktikan bahwa kekerasan seksual yang dialami anak memang membawa dampak buruk bagi perkembangan otak dan psikologinya, diantaranya adalah menyebabkan trauma.
CERITA 2
ANAK 10 TAHUN MENDAPAT KEKERASAN SEKSUAL SAAT DISURUH BELANJA IBUNYA
Ini cerit tragis selanjutnya yang terjadi di kisaran awal tahun 2000. Masih dialami oleh orang di sekitar saya, yaitu anak dari tetangga yang berjarak hanya 2 rumah dari rumah saya. Ada seorang keluarga yang tinggal disana, dimana sang ayah sehari-harinya mencari nafkah dengan berjualan bakso keliling. Mereka memiliki 3 orang anak dan yang terkecil saat itu masih berusia kira-kira 10 tahun (perempuan dan satu-satunya). Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, mereka hidup seadanya dalam rumah yang sederhana. Untuk biaya sekolah anak-anak sepertinya sulit diperjuangkan sehingga hampir semua anaknya putus sekolah setelah lulus SD dan selanjutnya anak-anak itu dididik untuk bisa mencari uang sendiri.
Dalam keseharian, saya sering melihat kekerasan yang dilakukan oleh sang ibu, dimana sang ibu sering membentak dan memukul anaknya, tak jarang ibunya sering mengusir anaknya dari rumah jika tidak mau menuruti keinginannya. Belum lagi keadaan rumah tangga ayah dan ibunya yang kurang harmonis, sehingga tak jarang pertengkaran hebat terdengar hingga di tempat istirahat kami. Hal ini mencerminkan bahwa anak-anak mereka dipastikan tumbuh dalam lingkungan yang kurang baik dan terdidik dalam tekanan orang tua yang seharusnya tidak mereka rasakan saat itu.
Suatu kali, anak perempuan yang menjadi anak bungsu mereka disuruh sang ibu untuk membeli beberapa bumbu yang masih kurang untuk membuat bakso. Dengan nada tekanan yang diterima anaknya, akhirnya si anak pergi belanja dan ini merupakan hal biasa dalam kesehariannya. Sepulang dari belanja, ada seorang laki-laki dewasa, kira-kira berumur 30 tahun yang juga adalah warga desa kami, mengajak si anak ke sebuah kebun kosong dengan diiming-imingi akan diberi uang banyak. Si anak pun menurut dan akhirnya laki-laki itu melancarkan perbuatan bejatnya kepada si anak. Dia melakukan kekerasan seksual (pemerkosaan) berkali-kali dan si anak tetap diam saja. Hal ini terjadi di sore hari. Selesai melakukan aksi bejatnya, laki-laki itu memberinya uang sebesar Rp.5.000 sebagai uang tutup mulut.
Sesampainya di rumah, si anak menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang Ibu. Sontak si ibu kaget dan mencari tahu siapa pelakunya. Saya kurang memahami dengan akhir prosesnya, namun saat itu saya hanya mendengar bahwa pelakunya sudah diketahui oleh orang tua korban. Dan seiring berjalannya waktu, kejadian itupun tak tak membuat orang tuanya jera untuklebih waspada menjaga anaknya. Ketika sang anak beranjak remaja, si ibu justru berniat menjual anaknya ke laki-laki yang dianggap kaya dengan tujuan agar anak perempuannya hidup tercukupi secara materi. Si anak yang tidak mau dipaksa menikah akhirnya lari dari rumah hingga beberapa bulan. Sampai akhirnya sejak peristiwa itu, si anak justru masuk ke lingkungan prostitusi dan menghalalkan cara itu untuk mencari uang.
Kisah ini memberikan sebuah pesan moral kepada para orang tua bahwa sebagai orang tua, kita memang harus berjuang keras untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak, mengawasinya setiap saat (apalagi untuk anak perempuan), melakukan pendekatan dari hati ke hati agar anak bisa selalu jujur dalam segala hal. Hindari pula tindakan kekerasan terhadap anak karena ini akan membuat anak merasa tidak terlindungi, merasa tidak aman walaupun bersama orang tuanya sendiri. Dan cerita diatas adalah bukti nyata yang harus kita renungi bersama.
[caption id="attachment_376275" align="aligncenter" width="420" caption="sumber : ruangpsikologi.com"]
RAGAM ‘KEKERASAN SEKSUAL’ PADA ANAK
Pada intinya, maksud kekerasan seksual pada anak adalah seseorang yang memanfaatkan anak untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan seksual. Apakah ini berarti tebatas pada ajakan berhubungan seks saja? Tentu tidak. Kekerasan seksual pada anak ada beragam bentuknya, diantaranya adalah sebagai berikut (diambil dari berbagai sumber) :
- Pelaku menyentuh tubuh anak secara seksual, misal meraba atau mengelus organ vital anak seperti alat kelamin (vag*na, pen*s), bagian pantat, dada/payudara.
- Pelaku melakukan segala bentuk penetrasi seks, termasuk penetrasi ke mulut anak menggunakan benda atau anggota tubuh.
- Pelaku secara sengaja melakukan aktivitas seksual di hadapan anak, misalnya mengeluarkan organ kelamin secara sengaja agar si anak melihatnya.
- Pelaku mengambil gambar atau merekam anak dalam aktivitas yang tidak senonoh, misalnya saat anak mandi, membuka baju dll.
- Pelaku membuat, mendistribusikan dan menampilkan gambar atau film yang mengandung adegan anak-anak dalam pose atau tindakan tidak senonoh.
- Pelaku mengajak anak menonton film dewasa (pornografi) atau memperlihatkan gambar-gambar aktivitas seksual yang tidak senonoh.
- Pelaku melakukan percakapan seksual dari telepon, chatting, sms, video call dll yang isinya bermuatan seksual, baik secara eksplisit (bahasa lugas) maupun implisit (tersamar).
- Pelaku menarik anak dalam pelacuran anak di bawah usia 18 tahun.
- Pelaku melakukan perdagangan anak-anak sebagai perbudakan/eksploitasi ekonomi.
SIAPA YANG BERPOTENSI MELAKUKAN ‘KEKERASAN SEKSUAL’ PADA ANAK?
Setiap orang bisa menjadi pelakunya. Pelakunya kebanyakan adalah kaum pria, namun tak jarang kasus kekerasan seksual di dunia ini juga dilakukan oleh kaum wanita. Oleh karena itu, setiap orang tua yang memiliki anak di bawah umur, harap selalu waspada dengan selalu mengontrol keberadaan dan aktivitas anak-anak mereka. Kekerasan seksual pada anak sering dilakukan oleh orang-orang terdekat, seperti saudara, sepupu, teman, bahkan tak jarang dilakukan oleh orang tua sendiri, baik itu kandung ataupun tiri. Kasus lain adalah di sekolah, tempat yang dianggap paling aman karena disinilah pusat pendidikan anak justru sering menjadi wadah seks oleh oknum tak bertanggung jawab. Sering kita mendengar kejahatan seksual yang dilakukan oleh sang guru. Kasus lain, belum lama ini kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh petugas kebersihan di sekolah Internasional Jakarta bulan April 2014 silam. Ini adalah bukti riil bahwa tindak kekerasan seksual bisa dilakukan dimanapun dan oleh siapapun.
BAGAIMANA KONDISI KORBAN ‘KEKERASAN SEKSUAL’?
Faktanya, kekerasan seksual yang menimpa anak-anak ternyata terbilang tinggi jumlahnya dan cukup menonjol bila dibandingkan kekerasan psikologis seperti membentak, mengancam, atau memaksa. Namun, sebagai tindak sebuah kejahatan, kekerasan seksual kepada anak menjadi masalah yang sangat memilukan karena akan banyak dampak negatif yang dirasakan oleh si korban. Apa saja dampaknya? Berikut ulasannya :
1. Dampak Psikologis
Traumatik yang dialami korban kekerasan seksual begitu mendalam dan sulit untuk disembuhkan. Selain itu, stres yang disebabkan oleh pelecehan seksual menyebabkan perubahan penting dalam fungsi dan perkembangan otak korban.
2. Dampak Infeksi
Pelecehan seksual pada anak dapat menyebabkan infeksi dan penyakit menular seksual.
3. Dampak Cidera Tubuh
Pelecehan seksual anak dapat menyebabkan luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Hal ini dipengaruhi oleh umur anak dan tingkat kekuatan pelaku saat melakukan kejahatannya.
4. Dampak Sosial
Korban pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal yang seharusnya kita hindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya.
MENGAPA PELAKU ‘KEKERASAN SEKSUAL’ DI INDONESIA TIDAK JERA?
Dari hari ke hari, kekerasan seksual pada anak seakan dihalalkan oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab. Mengapa para pelaku tidak jera juga melakukan aksi bejatnya? Berikut ini alasannya :
- Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum lemah. Ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun membuat kasus-kasus kekerasan seksual tenggelam selama bertahun-tahun.
- Korban sering menghindari proses hukum karena biaya administrasi yang sangat tinggi.
- Saat negara lain sudah berani menerapkan ancaman hukuman mati, kebiri, sistem ‘black list’ serta berbagai kebijakan untuk menahan ledakan kekerasan seksual, Indonesia seolah-olah ‘tutup mata’, terutama karena ada ‘budaya malu’ dan ‘tidak berani mengakui’ fakta ini sebagai masalah besar di negara kita.
- Proses hukum yang rumit dan berbelit-belit serta penanganan yang kurang manusiawi kepada korban, misalnya korban dibiarkan tumbuh tanpa intervensi psikologis yang tepat sehingga membuat korban tidak memiliki keadilan hukum. Hal ini menjadi celah para pelaku untuk tidak jera mengulang aksinya.
Oleh karena itu, mulai sekarang masyarakat bersama pemerintah harus memiliki kesadaran tentang pentingnya memberikan perlindungan hukum yang kuat kepada anak-anak korban kekerasan seksual dan memberikan ancaman hukum yang tegas kepada pelaku agar memberikan efek jera kepada pelaku. Pemerintah pasti bisa melakukannya asalkan hal ini ditangani dengan cepat dan serius.
CARA MEMINIMALKAN TINDAK ‘KEKERASAN SEKSUAL’ KEPADA ANAK
Dari banyak kasus yang telah terjadi, korban biasanya menutup rapat kejadian yang menimpanya karena si pelaku mengancam untuk menyakiti si anak, orang tuanya, atau adik dan kakaknya bila anak mengadu. Kondisi ini memang sungguh memprihatinkan.
[caption id="attachment_376276" align="aligncenter" width="455" caption="sumber : rezawillsen.blogspot.com"]
Oleh karena itu, orang tua adalah kuncinya. Jagalah anak Anda, walau harus dengan perjuangan keras. Berikan pemahaman kepada anak agar ia terhindar dari kejahatan seksual. Hal ini juga dibenarkan oleh Kak Seto Mulyadi, seorang aktivis anak yang selalu melakukan kampanye untuk melindungi hak anak-anak di Indonesia. Berikut pesan kak Seto kepada para orang tua untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual kepada anak :
1.Edukasi seksual sejak dini
Jangan menganggap ini adalah tabu. Edukasi seksual sebaiknya diberikan kepada anak dengan kata-kata yang ringan dan mudah diingat. Berikan edukasi untuk anak di atas lima tahun.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu kunci utama untuk meningkatkan keharmonisan keluarga dengan membangun suasana yang hangat dan nyaman sehingga anak-anak akan merasa aman dan bebas bicara.
3. Jadilah sahabat anak
Orangtua harus bisa menjadi sahabat anak. Dengan demikian, anak merasa bebas bercerita segala hal yang dialaminya. Dengan memiliki orangtua yang akrab dan terbuka, anak akan merasa memiliki teman terbaik yang bisa membuat mereka tidak merasa sendiri.
KEMANA MENCARI BANTUAN PERLINDUNGAN ANAK?
Hubungi Lembaga-lembaga di bawah ini jika Anda menemukan kasus kekerasan seksual pada anak dan juga kasus-kasus lainnya yang berhubungan dengan anak :
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia
- Komisi Nasional Perlindungan Anak
- Komnas Perempuan
- Lembaga Bantuan Hukum APIK
Demikianlah cerita dan pengalaman yang dapat saya sampaikan. Saya pribadi sangat menyayangkan semua kasus kekerasan seksual yang menimpa seluruh anak di negeri ini. Apalagi saya pernah beberapa kali melihat kasus tersebut yang terjadi di lingkungan saya sendiri. Oleh karenanya, mari kita bersama-sama meminimalkan kejahatan seksual ini dengan mengontrol anak-anak kita, selalu mengetahui keberadaan dia, selalu tahu apa aktivitas dia dan memberikan edukasi-edukasi yang berguna untuk membangun kewaspadaan pada diri anak sehingga dia bisa mengetahui dengan cepat, mana orang baik dan mana yang tidak baik. Dan untuk berbagai media, tolong untuk lebih bertanggung jawab atas tayangan yang rentan dengan propaganda kekerasan seksual, pornografi ataupun pornoaksi. Tayangan yang edukatif tentu lebih bermanfaat bagi anak karena dapat mengisi otaknya dengan berbagai informasi yang positif dan menarik. Dan untuk Pemerintah, tegakkan hukum untuk para pelaku sehingga masyarakat akan merasa lebih terlindungi dan mendapatkan keadilan.
SELAMAT HARI ANAK INTERNASIONAL YANG KE 25
Semoga artikel ini bermanfaat.
Salam Sukses, Riana Dewie.
Sumber Referensi :
http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3075/1/kekerasan.seksual.pada.anak.di.indonesia
http://infopsikologi.com/apa-itu-bentuk-pelecehan-kekerasan-seksual-pada-anak-remaja/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H