Mohon tunggu...
Riana Devany
Riana Devany Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - PELAJAR

SMA Negeri 31 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengamen Ondel-Ondel Tuai Kontroversi: Merusak Tradisi?

26 Juni 2021   17:00 Diperbarui: 26 Juni 2021   17:18 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak kenal dengan ondel-ondel? Salah satu ikon megah Kota Jakarta ini kerap menghiasi perayaan-perayaan besar ibukota. Boneka besar dengan ornamen warna-warni khas Betawi ini merupakan simbolisasi dari penjaga kampung yang menjaga penduduk juga anak cucu dari segala macam bahaya, ancaman, dan wabah penyakit.

Seperti yang dikutip dari petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id, pada mulanya ondel-ondel disebut Barongan. Ondel-ondel sudah ada sejak dulu jauh sebelum VOC masuk ke Nusantara. Ondel-ondel dikenal sebagai budaya yang sakral, yang mana sebelum dan sesudah pembuatan ondel-ondel biasanya disediakan sesajen.

Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini ondel-ondel lebih sering digunakan untuk penyambutan tamu terhormat, dekorasi pada acara seremonial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, festival budaya masyarakat, juga acara publik lainnya.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, ondel-ondel marak digunakan sebagai sarana untuk mengamen di jalan-jalan bahkan gang perkampungan. Ondel-ondel diarak dengan diiringi musik oleh beberapa orang sambil menyodorkan topi atau ember kecil untuk meminta sedikit uang.

Ondel-ondel merupakan ikon megah Kota Jakarta yang memiliki seni dan sejarah bagi masyarakat Betawi. Ondel-ondel sudah sepantasnya ditempatkan di tempat-tempat yang terhormat. Sehingga anak-anak dan seluruh lapisan masyarakat dapat mengenal dan menghormati ondel-ondel sebagai budaya Betawi.

Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria, ia mengaku miris saat melihat ondel-ondel berkeliaran di jalanan untuk mengamen. Ia meminta agar Perda Nomor 4 tahun 2015 tentang Kebudayaan Betawi direvisi agar dapat menindak pengamen ondel-ondel.

Pemprov DKI Jakarta juga menilai ondel-ondel yang selama ini digunakan untuk mengamen hanya digunakan untuk meminta-minta uang dan tidak bisa dinikmati nilai seninya.

Namun di sisi lain, ondel-ondel merupakan sumber mata pencaharian bagi sebagian orang. Para perajin ondel-ondel dan seniman jalanan menyatakan keberatan hati jika pengamen ondel-ondel dilarang beroperasi. Mereka berpendapat bahwa dengan cara inilah kebudayaan Betawi tidak hilang dan anak-anak kecil dapat mengenal budaya Betawi khususnya ondel-ondel.

Mengamen dengan ondel-ondel juga merupakan sumber mata pencaharian mereka untuk bertahan hidup, yang juga dapat mengurangi angka pengangguran dan kriminalitas.

Sejarawan JJ Rizal pun turut mengingatkan Pemprov DKI Jakarta mengenai sejarah tahun 1950-an ketika pengamen ondel-ondel dianggap memalukan oleh Wali Kota Jakarta Soediro dan sempat dilarang. Namun dampaknya justru ondel-ondel terancam punah.

Mengulik lebih jauh lagi, saya akan mengkategorikan ondel-ondel menjadi dua kategori. Yang pertama, pengamen yang memiliki keterampilan. Pengamen ini mengerti bagaimana ondel-ondel seharusnya diarak. Mereka mengenakan pakaian rapi dengan dua ondel-ondel dan alat musik lengkap.

Pengamen ondel-ondel jenis pertama ini dapat dimanfaatkan oleh Pemprov DKI untuk melestarikan budaya Betawi dengan ditempatkan di tempat yang lebih baik. Pemprov dapat menyediakan ruang pentas seperti festival dan pergelaran pariwisata agar ondel-ondel tak lagi turun ke jalan untuk mengamen.

Pemprov DKI juga dapat mengadakan ‘Hari Ondel-Ondel’ bersamaan dengan HUT DKI Jakarta, dimana para seniman yang memiliki keterampilan diberi kesempatan untuk mengarak ondel-ondel di jalan. Sehingga ondel-ondel dapat tetap dikenal oleh masyarakat luas.

Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan JJ Rizal, bahwa secara historis ondel-ondel memang digunakan masyarakat Betawi untuk hiburan rakyat keluar-masuk kampung.

Yang kedua, pengamen yang tidak memiliki keterampilan. Pengamen ini mengarak ondel-ondel dengan pakaian asal-asalan dan hanya menggunakan satu ondel-ondel (tidak sepasang). Musik yang digunakan pun hanya musik CD rekaman.

Tak jarang pengguna jalan menyatakan keresahannya terhadap ondel-ondel yang kerap memaksa saat meminta uang. Mereka juga seringkali masih beroperasi sampai larut malam dengan menyetel musik pengiring yang dianggap mengganggu masyarakat.

Pengamen jenis kedua ini merupakan bentuk masalah dari kesejahteraan sosial. Pemprov DKI memiliki tanggung jawab memberikan keterampilan dan membuka lapangan kerja bagi pengamen ondel-ondel yang terjaring razia.

Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Dinas Parekraf DKI Jakarta Iwan H. Wardhana, bahwa larangan mengamen merupakan bagian dari ketertiban umum dan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Ia berpendapat bahwa untuk menindak pengamen ondel-ondel dapat dilakukan dengan memakai Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Perda Nomor 4 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan Sosial.

Pada Rabu, (24/3/2021) lalu melalui akun resmi Instagram Satpol PP DKI Jakarta, @satpolpp.dki, Pemprov DKI mulai memberikan sosialisasi larangan ondel-ondel sebagai sarana mengamen. Sanksi yang digunakan bagi para pelanggar adalah Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Dalam unggahan tersebut menyebutkan bahwa ondel-ondel sebagai ikon Budaya Betawi perlu dijaga dan dilestarikan dari tangan-tangan sekelompok orang yang menggunakan ondel-ondel sebagai sarana mengamen, mengemis, atau meminta uang.

Dalam sejarahnya, ondel-ondel memang digunakan untuk hiburan masyarakat. Namun saat ini banyak sekali orang-orang yang mempergunakan ondel-ondel untuk mencari uang semata. Orang-orang ini harus diberi pemahaman dan keterampilan, juga lapangan pekerjaan, sehingga tidak menyalahgunakan ondel-ondel.

Sedangkan kelompok orang yang benar-benar memiliki pemahaman tentang ondel-ondel, dapat diberikan tempat dan fasilitas yang lebih baik agar mereka dapat terus melestarikan budaya Betawi dan tidak kehilangan pekerjaan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun