Mohon tunggu...
NaZ Rizki
NaZ Rizki Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - mahasiswa pascasarjana

Travelling, reading

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Pengawasan Iklan Pelayanan Kesehatan Tradisional di Televisi

15 November 2022   21:31 Diperbarui: 15 November 2022   22:03 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional dinyatakan bahwa ada 3 jenis pelayanan kesehatan tradisional yaitu pelayanan kesehatan tradisional empiris, layanan kesehatan yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris, contohnya pijat, gurah, sinshe, tabib, chiropraksi, patah tulang, dan herbal; pelayanan kesehatan tradisional komplementer.

Yaitu pelayanan kesehatan yang memanfaatkan ilmu biomedis dan biokultural dalam penjelasannya serta manfaat dan keamanannya terbukti secara ilmiah, contohnya akupunktur, akupresur; pelayanan kesehatan tradisional integrasi, yaitu kombinasi pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan kesehatan tradisional komplementer, baik bersifat sebagai pelengkap atau pengganti.

Penyehat tradisional dan panti sehat dilarang mempublikasikan dan mengiklankan pelayanan kesehatan tradisional empiris yang diberikan. Sedangkan tenaga kesehatan tradisional dan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional (griya sehat) dapat melakukan promosi melalui publikasi dan iklan sepanjang bisa dikategorikan sebagai pelayanan kesehatan tradisional komplementer. 

Dalam norma ini dapat ditegaskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional empiris dilarang melakukan publikasi dan beriklan.

Kenyataannya sampai sekarang kita dapat dengan mudah menemukan iklan para pelaku pelayanan kesehatan tradisional empiris di radio maupun televisi. Penyedia jasa layanan kesehatan tradisional empiris ini menawarkan pelayanan kesehatan mulai dari hulu hingga hilirnya, yakni mulai bagaimana mendiagnosis penyakit layaknya seorang dokter, cara penyehatannya (umumnya menegasi pengobatan modern, misal pengobatan tanpa operasi, tanpa obat kimia, ditambah dengan sugesti tenaga dalam, jampi-jampi, dan sejenisnya), disediakan obat racikan (biasanya menggunakan kata sugestif Ramuan ala Mbak Anu, Kiai X, berasal dari ramuan India, dan lainnya), bahkan ada juga yang menyediakan tempat inap layaknya rumah sakit modern.

Publikasi dan iklan layanan kesehatan tradisional empiris ini awalnya sebatas melalui media cetak lokal saja, namun belakangan radio dan televisi menjadi saluran yang diandalkan dalam memasarkan jasa layanan kesehatan mereka.

Mengapa mereka beralih ke televisi? Ada kecenderungan di era digital ini, media cetak mulai berkurang pembacanya, beralih ke media online yang mengandalkan teknologi komunikasi/informasi dan internet. Isi media cetak hampir menyatu berkat teknologi ini. Pelanggan media cetak juga secara bertahap beralih dari cetak ke akses virtual ke informasi. Orang dapat mengakses isi media cetak melalui online. Sekarang dikenal dengan istilah Electronic papers (E-Peper).

Di media online dapat juga diakses versi cetaknya. Media televisi adalah media massa yang lebih mudah bermigrasi atau bergabung dengan sistem online karena logika operasinya yang sama-sama mengandalkan visual. Karena itu, televisi masih tetap diminati masyarakat.

Apalagi setelah sistem televisi beralih ke sistem digital pada tahun 2009 membuat penyiaran digital menawarkan kualitas gambar dan suara yang jauh lebih tinggi, yang dapat membuat pemasaran lebih efektif atau membuat iklan yang kurang canggih menjadi menonjol dalam cara yang buruk sekalipun. Sebagian besar televisi dioperasikan secara lokal dan berafiliasi dengan salah satu jaringan nasional utama.

Di sisi lain, masyarakat mulai merasakan perlunya pelayanan kesehatan murah yang mudah diperoleh tanpa efek samping atau birokrasi yang rumit. Akibatnya, masyarakat kini memiliki akses ke perawatan kesehatan tradisional sebagai alternatif. 

Tampaknya penyedia layanan kesehatan tradisional juga telah mempelajari jenis psikologi sosial ini. Maka bertemulah hukum supply and demand. Layanan kesehatan tradisional tumbuh menjadi industri yang mempunyai peluang meraup keuntungan finansial. Di beberapa daerah kebutuhan akan media iklan dan publikasi ditangkap oleh lembaga penyiaran radio dan televisi.

Komisi penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan menjadi ujung tombak pengawasan iklan tersebut telah bertindak sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, tetapi tidak mampu menghentikan keberadaan tayangan iklan tersebut, sebab disamping memang tidak memiliki kewenangan yang cukup kuat menjatuhkan sanksi terhadap lembaga penyiaran, ternyata pada sebagian anggota KPID ada sikap ambigu untuk bersungguh sungguh menghentikan iklan dan publikasi pelayanan kesehatan tradisional. 

Diketahui saat ini iklan dari produk dan jasa ini merupakan andalan penghasilan televisi lokal, bahkan angkanya bisa mencapai 75% dari pemasukan.

Disamping itu regulasi tentang pengawasan iklan pelayanan kesehatan tradisional juga masih tumpang tindih dan belum jelas rumusan sanksi terhadap pelanggaran tayangan iklan, serta siapa yang berhak menjatuhkan sanksi. Hal tersebut justru dianggap sebagai celah yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan industri.

Pemerintah perlu membuat gerakan kontra untuk mereduksi dampak buruk dari iklan pelayanan kesehatan tradisional dengan iklan juga, yakni dalam bentuk iklan layanan masyarakat (ILM) melalui televisi. 

ILM tersebut berisi rasionalitas tentang layanan kesehatan tradisional, yang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Banyak persepsi dan mitos di masyarakat yang justru mendukung berkembangnya pengobatan tradisional yang pada giliran menumbuhkan pelayanan kesehatan tradisional. Prinsipnya informasi harus ditandingi dengan informasi.

Perlunya sebuah regulasi setingkat undang-undang yang bersifat holistik, yang berani lebih tegas merumuskan bentuk bentuk pelanggaran dalam iklan pelayanan kesehatan tradisional, serta mendelegasikan secara eksplisit kepada siapa kewenangan menjatuhkan sanksi pada setiap jenis pelanggaran; BPOM, KPI, P3i, Kementerian Kominfo, dan Kementerian Kesehatan.***

Oleh: Riana Indriasari, Mahasiswa Program Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun