Mohon tunggu...
Syaifullah Aji Trianto
Syaifullah Aji Trianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - WNI

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Bukan Sepenuhnya Tanggung Jawab Kita

22 Agustus 2022   17:33 Diperbarui: 22 Agustus 2022   17:35 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gb. Sisipus mendorong batu ke puncak bukit

Setiap orang punya kehendak, dan mereka selalu percaya sepenuhnya dengan rencana dan pilihan-pilihan hidupnya sendiri. Meski begitu, mereka tak pernah bebas dari keraguan dan bahkan mengalami kegagalan berkali-kali, orang tetap punya justifikasi untuk percaya dengan kehendaknya sendiri. 

Mungkin atau memang faktanya tidak pernah dijumpai adanya faktor misterius yang menjadi penyebab kegagalan atau keberhasilan itu, sehingga tidak ada alasan bagi orang untuk menggantungkan diri terhadap faktor lain apapun itu di luar dirinya.

Meski orang-orang selalu bisa meyakinkan diri bahwa memang tidak ada apapun yang bisa diandalkan selain diri mereka sendiri, dan seolah-olah itu menjadi fakta tak terbantahkan. 

Akan tetapi, mereka juga tidak bisa menyangkal fakta bahwa kemunculanya di panggung kehidupan ini adalah bukan atas kehendaknya, begitu pula ketika pada akhirnya mereka pun harus mati.

Muncul dan lenyapnya kita dari dunia ini yang begitu saja dan misterius, menjadi kompensasi atas ketidakpastian kehendak, pilihan, ambisi, tujuan dan rencana-rencana hidup. Sehingga tidak ada keharusan bagi kita untuk membebani diri dengan angan-angan yang seolah harus dan pasti bisa diwujudkan di dunia.

Beberapa orang mendeklarasikan diri mereka bahwa, "kehidupan sepenuhnya adalah karya kita", kini barangkali mereka perlu sedikit berandah hati dan mau meringankan beban tanggung jawab itu. 

Karena menanggung beban semacam itu pastinya berat dan sangat melelahkan.

Kehidupan yang berawal dan berakhir begitu saja tanpa keterlibatan kita, juga tak mesti menjamin jika segala hal dalam kehidupan ini pasti akan berjalan baik-baik saja sesuai kehendak kita. 

Kelihatanya memang begitu, ia selalu berjalan dengan kuasa dan caranya sendiri, bahkan tak sedikitpun memberi kesempatan buat kita untuk terlibat.

Boleh jadi kita skeptis untuk berspekulasi tentang adanya entitas apapun itu yang seolah serba mengatur dan serba mencampuri urusan hidup kita, tapi keadaan seringkali memaksa kita untuk mempostulatkan entitas semacam itu. 

Harapan dan kecemasan berkali-kali menuntun orang-orang untuk menyandarkan jaminan pada sesuatu yang menyebabkan dan mengakhiri kehidupan mereka secara misterius.

Mungkin bagi orang-orang yang kelewat optimis, sikapnya itu bisa jadi merupakan ekspresi pelampiasan akibat sejak awal mereka tidak diberi pilihan antara mau hidup atau tidak. 

Dan mereka tahu satu hal yang pasti, bahwa ketika mereka hidup, satu-satunya alat yang mereka punya dan bisa mereka adalkan hanyalah kehendaknya.

Orang-orang optimis ini, rela menghabiskan seluruh umurnya hanya demi berupaya menaklukkan kehidupan. Namun ironisnya, entah kehidupan itu berhasil atau tidak mereka taklukkan, di ujung, mereka berhadapan dengan kematian.

Perjuangan mati-matian untuk menanggung beban tanggung jawab demi menaklukan kehidupan barangkali lebih mungkin dibenarkan, jika dan hanya jika sejak awal kita dilibatkan dalam pengambilan keputusan antara mau hidup atau tidak, seperti "saya siap memikul segala resiko kehidupan dan saya mau hidup dan berjuang !".

Bahkan, jika di tengah perjuangan kehidupan itu kita gagal dan menyerah, kita pun berhak memutuskan untuk mati. Tapi di sisi lain, mereka yang berhasil melewati seluruh tantangan kehidupan dan sukses dengan usaha dan kehendaknya sendiri, juga berhak berbangga diri dan mati dengan "penghargaan".

Yang terjadi sebaliknya, sedari awal kita tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan antara mau hidup atau tidak. 

Jadi postulasikan saja, sesosok entitas yang barangkali secara mendadak menyuruh kita hidup dan berkata, "pokoknya kamu hidup dan jalani saja semuanya, segala hal aku yang tanggung !". Sekalipun orang-orang ini gagal sampai sisa terakhir hidupnya, setidaknya mereka tidak akan mati sia-sia.

Beberapa orang tentu akan menganggap jika postulasi tersebut adalah lompatan yang terlalu gegabah dan "ajaib", akan tetapi entah apakah entitas semacam itu mendesak atau tidak untuk diandaikan secara eksplisit, tak begitu berarti. Sebab, hidup dari awal sudah deterministik dan kehendak yang kita miliki tak lebih dari sekedar ilusi dan penghiburan belaka.

Orang-orang merasa senang dengan mengukir jalan seni dan karya kehidupan mereka sendiri, tapi di tengah atau di akhir perjalanan, sebagian dari mereka mungkin akan merasa lelah dan insaf, lalu membiarkan kehidupan itu mengukir jalanya sendiri.

Kata-kata Einstein ini, meski agak radikal, tapi cukup mewakili, "I am a determinist. As such, I do not believe in free will...Practically, I am, nevertheless, compelled to act as if freedom of the will existed...My career has been determined by various forces over which I have no control, primarily those mysterious glands in which nature prepares the very essence of life."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun