Mohon tunggu...
Ria Mi
Ria Mi Mohon Tunggu... Guru - Menulis memotivasi diri

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjalanan Malang-Blitar-Ponorogo, Apa yang Kucari

17 Februari 2020   00:55 Diperbarui: 17 Februari 2020   01:08 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akan aku mulai dari mana kisah ini. Semua begitu menarik, bermunculan silih berganti. Awalnya aku ingin sekali mengetik ini di HP, tapi jariku terasa kurang puas jika mataku tak menatap laptop. Hingga ku tulis yang penting-penting baru hari Minggu malam ini kuselesaikan. 

Bersama Organisasi MGMP(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Indonesia Kabupaten Malang aku mengikuti perjalanan Ngangsu Kawruh(bahasa Jawa). 

Kegiatan studi banding ini sebenarnya sudah dimusyawarahkan dan di komunikasikan oleh pengurus MGMP bapak DR. Hadi Wardoyo ke Dinas Pendidikan Kabupaten Malang dan Kepala sekolah jadi saya mendapat restu dari kepala sekolah untuk mengikuti kegiatan MGMP Bahasa Indonesia ke luar daerah selama dua hari satu malam mulai Jumat sore hingga Sabtu Malam, 14-15 Februari 2020.

Kami bertiga puluh lima berangkat dari Malang hari Jumat selesai solat ashar. Bis menjemput dari Singosari, Arjosari, Gadang, Panjen dan Blitar. Sampai di tempat yang dituju yaitu Monumen PETA Blitar sekitr pukul 8.30. Sebelunya kami diajak mampir ke salah satu teman dekat  ketua studi banding yaitu Ibu Agustin. 

Wah keramahan, kopi dan suguhannya soto lontongnya menemani kami yang kedinginan karena berangkatnya diguyur hujan deras. Kurang lebih empat puluh menitan kami beramah-tamah setelah itu kami di antar menuju monumen PETA Blitar untuk menyaksikan drama kolosal untuk memperingati pemberontakan PETA yang ke-75.

Sampai di Monumen hujan, panggung terbuka. Apakah itu menyurutkan kami? Tidak. Kami bertiga puluh lima tetap memasuki gerbang monumen. Karena Bapak Aguswin selaku ketua rombongan sudah sangat akrab dengan sang sutradara kami dipersilakan masuk, bahkan diminta tanda tangan hadir menyaksikan dengan sangat ramah oleh panitia. Juga mendapat sambutan dengan kue . 

Wah semangat penyelenggara, pemain sudah menghipnotis kami. Sungguh ini pengalaman yang tak bisa di beli dengan apa pun. Perasaanku sendiri tiba-tiba merasa begitu terharu ketika menyanyikan lagu Indonesia raya di tengah gerimis.

Drama kolosal dimulai. Kami rasakan hadirnya Jepang saat itu. Merinding sekali. Aku sendiri tidak pernah menyaksikan itu secara nyata. Tapi air mataku tiba-tiba menetes ketika drama itu menyampaikan, Jepang telah berubah, Jepang menjadi kejam. Begitu para pemain sangat menjiwai menggambarkan romusa. 

Oh, aku begitu kagum pada Supriadi. Pemuda cerdas, tangkas, cinta tanah air tak memikirkan apa yang akan diberikan negara ketika nyawanya melayang demi negara dalam cerita itu. Ia begitu menggelorakan jiwaku untuk semakin memantaskan diri menjadi guru yang terus belajar dan menjaga pemuda ini dari kerapuhan jiwa.

Hujan masih tetap mengguyur. Kami bertudung plastik yang kami beli dari pedagang keliling di monumen itu. Rintik hujan itu seakan menjadi vitamin bagi pemain untuk lebih menjiwai. Puncaknya perang pun terjadi. Penyobekan bendera jepang, lalu digantikan dengan bendera merah putih pun menambah gelora kami untuk tidak meninggalkan monumen. Drama berakhir dengan terikan "Saya Supriadi!" Diikuti oleh pejabat dan seluruh penonton. Drama semacam ini memang sangat bagus untuk di saksikan generasi muda agar generasi tahu bahwa negeri ini hasil perjuangan pahlawan tanpa pamrih.

Kami melanjutkan perjalanan denga perasaan haru dan bangga. Betapa bahagia dan bersyukur melihat para pemain begitu antusias, berdedikasi dan menghayati, memberikn sinyal generasi kita cinta Indonesia. 

Perjananan kami menuju ponorogo dipenuhi semangat "Saya Supriadi!" Seperti yang dipekikkan di monumen PETA Blitar. Kemana tujuan kami selanjutnya? Tentu saja menuju Komunitas Sutejo Spectrum Center. Rasanya tak sabar menunggu pagi untuk berjumpa dengan orang-orang hebat.

Pukul 01.00 pagi kami tiba di Masjid R.M.A.A Tjokronegoro, kabupaten Ponorogo. Ternyata salah satu pengurus masjid masih ada yang terjaga. Kami langsung dibukakan pintu, dipersilakan masuk masjid dengan ramah. 

Saya kira sudah dilobi pengurus masjidnya ternyata jawaban pak Aguswin ketua rombongan begitullah Tuhan menyayangi kita. Subhanallah. Kami sempat juga solat malam, lalu istirahat dan terbangun saat adzan subuh berkomandang.

Jam enam pagi sampailah kami di tempat Komunitas Sutejo Spectrum Center. Sambutan hangat penuh senyum keramahan dari Bapak DR. Sutejo, istri beliau, luar biasa. Setelah dipersilakan masuk, minum teh hangat dan pisang goreng hangat, dan aneka camilan aku ke belakang, dilanjut sarapan pagi.  Saya sangat menikmati tempat komunitas ini. 

Benar-benar rumah buku. Rumah luas yang dipenuhi buku. Wow, ada dapur, kamar mandi, wifi yang well come pasword. Aku pribadi merasa tamu yang sangat dimanjakan. 

Ngobrol-ngobrol dan saling berkenalan dengan tiga mbak-mbak cantik, yaitu mbak Sri Wahyuni, Mbak Suci Ayu Latifah, Mbak Iin Rismawati. Lebih lega lagi ternyata mereka bertiga adalah Kompasianer. Aku foto aku kirim ke bu Anis di Malang, terasa mendapat angin segar karena guru kompasianerku memberiku semangat juga.

Berikut ini kajian penuh ramah ini saya share fotonya di group WA Kompasianer. Kata Bu Anis " idolaku" dan Mas Ahmad Fathur menyaut  " Itu ayahku." Wah senang sekali rasanya hatiku. 

Kami semua serius mendengar apa yang disampaikan orang-rang hebat di sini. Antara lain hadir di sini selain Bapak DR. Sutejo, hadir pula ibu Peni NH, guru berprestasi, pengalaman mengajar di pedalaman Irian Jaya, Penulis Novel "Tempat Paling sunyi" Mas Arafat, juga Wartawan Jawa Pos Mas Saiful.

Dari keempat orang hebat ini saya mendapatkan ilmu yang saya ringkas seperti ini. Menulis itu yang penting semangat ada dan lakukan. Jika ingin menulis berkumpulah dengan orang-orang yang sudah sukses menulis. Segala sesuatu yang memberi sugesti itu suara alam. Jadilah yang berbeda. 

Rumusnya 3N, Niteni, nirokne, nambahi ( bahasa Jawa ini artinya, amati, tirukan, modifikasi). Rumus KM= N X L, yaitu kemahiran menulis adalah jumlah tak terhitung kali latihan. 

Begitu disampaikan oleh Bapak DR. Sutejo. Hal senada disampaikan oleh mas Arafat penulis novel, bahwa sembilan kali membaca satu kali menulis harus dilakukan sesering mungkin.

Yang menyenangkan disampaikan oleh mas Saiful selaku wartawan, "Menulislah kirim di Jawa Pos, guru harus menulis sebagai bukti pada murid bahwa guru tidak hanya memerintah." 

Harapan guru rajin membaca dan menulis juga disampaikan beliau. Selanjutnya perbanyak melihat sisi kehidupan orang lain yang menginspirasi untuk menulis, berempati dan melakukan. Berantas perasaan malas menulis, jika hilang ide tulis ide yang lain. Jangan banyak alasan begitu ditegaskan oleh beliau berempat.

Beliau berempat adalah pejuang literasi ulung dan contoh meniti karier yang tanpa menyerah dengan cara yang halal, yang patut sekali dicontoh. Apalagi sifat ramah dan murah ilmu yang dimiliki oleh mereka. 

Setelah itu kami dialog. Dari hasil dialog, Bapak DR. Sutejo menyampaikan siap menerima keluhan menulis asal menulis dan mengirim karya terbaik menurut kami dan bersemangat untuk membahasnya. Oh hal yang tak disangka, kami pulang juga diberi oleh-oleh dua buah buku karya Bapak Dr. Sutejo, M. Hum berupa Buku yang berjudul "Genius Menulis Artikel," dan "Senarai Aforisme Seorang Ayah." Serasa semakin menambah nyawa untuk menulis buatku khususnya, semoga dengan kawan-kawan juga, bila dilihat dari ekspresi teman-teman saat menenerima  buku.

Tidak hanya itu kami masih diantar menuju telaga Ngebel, bersama komunitas Spectrum Center dan Bapak Sutejo. Serasa tak ingin  usai berdiskusi dengan beliau di lanjut di rumah makan Bu Sulis di telaga Ngebel. 

Semoga semua tak berakhir di telaga itu. Tapi menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis sampai kehidupan ini habis, dan menjadi catatan amal baik untuk kita semua. Terima kasih tak terhingga pada Tuhan untuk takdir pertemuan ini.

Tentang Penulis: 

Riami, tinggal  di Malang, Penulis Buku " Catatan Harian Belajar di Bukit Nuris", "Pelangi Kerinduan", "Kisah Romansa di Negeri Awan", dan "Serpihan-serpihan Kisah Kita." Mengajar di SMPN 2 Pakisaji.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun