Mohon tunggu...
Ria Lestari Baso
Ria Lestari Baso Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa S1 Agribisnis Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Phinisi, Harus Terus Berlayar!

13 Oktober 2013   03:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:37 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemuda berani bangkit sekarang

Ke laut kita ramai-ramai.

Sebagai warga dari Negara Maritim terbesar di dunia, Siapa yang tak mengenal penggalan lagu diatas? Lagu masa kecil berjudul “Nenek moyangku seorang Pelaut” yang menceritakan kebanggan darinenek moyang bangsa Indonesia yang begitu handal dalam mengarungi samudra. Lagu tersebut semakin saya senangi karena saya dilahirkan di Kabupaten Bulukumba. Memang tak banyak yang mengenal pesona kota Bulukmba, padahal dari kota kelahiran saya inilah, sebuah Perahu Tradisional Nusantara yang telah mendunia berasal. Dalam buku “Ekspedisi Phinisi Nusantara: Pelayaran 69 Hari Mengarungi Samudera Pasifik” karya Pius Caro, tertulis, “… Pinisi adalah perahu layar tradisional Bugis yang telah melakukan pelayaran bersejarah …”.

27 tahun silam, Phinisi Nusantara berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah kejayaan Indonesia dimata Internasional. Phinisi Nusantara berhasil mencapai Vancouver, Kanada setelah melewati keganasan Samudera Pasifik. Kedatangan Perahu Phinisi tersebut guna berpartisipasi pada Expo ’86. Saat itu, Indonesia mendapat sebuah penghargaan berupa paku rel kereta api yang merupakan simbol peringatan 100 tahun Trans Canada yang menjadi lambang transportasi masa lalu. Penghargaan ini hanya diberikan kepada 3 negara peserta Expo ’86 yang dinilai paling spektakuler. Phinisi Nusantara juga mendapatkan penghormatan militer dari Kapal Induk Amerika, USS Constelation. Pelayaran Phinisi juga telah mencapai Australia, Madagaskar dan Perahu Phinisi Amana Gappa yang berlayar menuju Jepang. Namun, rentetan peristiwa diatas seakan menjadi legenda yang semakin terlupakan. Phinisi kini harus berjejer diberbagai pelabuhan Indonesia sebagai pajangan dan memendam ketangguhan berlayarnya. Bahkan kapal Phinisi Nusantara yang telah Berjaya saat di Kanada dengan pengunjung 25.000 orang,kini telah karam di Kepulauan Seribu. Tempat karamnya hanya 30 mil laut dari utara Ibukota Negara tapi siapa yang peduli. Paduan ilmu dan seni dalam Phinisi yang begitu menawan kini runtuh bersamaan dengan karamnya kapal tersebut. Mungkin benar, jikalau bangsa kita paling mudah melupakan sesuatu yang baik di masa lalu.

Phinisi saya ketahui karena ketika saya menghabiskan masa remaja sayadi Kabupaten Bulukumba, banyak sudut di kabupaten ini dihiasi oleh patung-patung Perahu Phinisi yang tak terurus dan tempat wisata Pembuatan Kapal Tradisional di Desa Tanah Beru juga semakin disesaki sampah dan tak ada satupun fasilitas memadai ada disana. Tak ada kebanggaan saat itu tentang Phinisi, tak ada pusat informasi tentang Phinisi bahkan warga Desa yang terkenal dengan bakat alamiah sebagai pembuat perahu handal, hanya dapat menjual miniatur kerajinan perahu di bawah kolong rumah dengan harapan akan ada turis yang singgah dan berminat membelinya. Di Kabupaten asalnya, tak ada kemegahan tertera pada Phinisi. Penjualan sentra kerajinan miniatur Phinisi pun lebih banyak di jual di Kota Makassar, sedangkan para pengrajin asli terus hidup tanpa adanya pengembangan dan perhatian dari pihak pemerintah.

Bukan hanya masalah pekerja, hak paten terhadap kontruksi Perahu Phinisi pun terus bermasalah, Phinisi memang telah dipatenkan tahun 2001 namun ternyata hak paten tersebut hanya berlaku 10 tahun dan setelah habis, hak paten terhadap Phinisi kini terus menjadi tanda tanya yang entah kapan ada ujung penyelesaiannya. Yang perlu mendapat perhatian pula bahwasanya kini pekerja perahu Phinisi sebagian besar adalah orangtua yang sudah mulai renta dan dalam tradisi pembuatannya Phinisi tak bisa dikerjakan oleh sembarangan orang, ada warisan darah tradisi dalam masyarakat desaAra. Ironisnya, kini para orangtua lebih menyarankan anaknya untuk mencari pekerjaan yang lebih layak dibadingkan menjadi pembuat perahu yang semakin terpinggirkan. Begitu miris rasanya membayangkan 20 tahun kedepan tak ada lagi masyarakat Ara yang mampumelahirkan mahakarya Phinisi.

Perahu Phinisi dan Indonesia

Phinisi adalah sebuah mahakarya yang lahir dari tangan-tangan yang dibesarkan oleh budaya, Phinisi dalam proses pembuatannya terbilang sangat unik, Phinisi terlebih dahulu dibuat dindingnya kemudian barulah rangkanya yang diselesaikan. Sangat jauh berbeda dengan pembuatan perahu Modern yang terlebih dahulu menyelesaikan bagian rangka. Inilah bangsa Indonesia sebenarnya, kita adalah Bangsa Pencipta, kita selalu dapat melahirkan hal yang berbeda dari kuatnya pondasi budaya yang ada pada masyarakat Indonesia, kita bukanlah Bangsa latah yang selalu bersikap hiperaktif menyanggupi modernitas yang semakin lahap memakan budaya. Phinisi telah membuktikan dari hebatnya teori sederhana masyarakat desa Ara, Perahu Phinisi yang terbuat dari kayu yang mampu mengarungi 5 benua dunia. Andrea Hirata dalam novelnya Maryamah Karpov juga tergambar begitu mengagumi betapa hebatnya nenek moyang Bangsa Indonesia sebagai Pelaut dan mensyukuri hadirnya beraneka macam Perahu Tradisional Nusantara yang jika diterjemahkan dalam bahasa keilmiahan ternyata begitu rumit dan dibutuhkan perhitungan sistematis dalam pengerjaannya. Namun masyarakat bahari Indonesia membuktikan hal tersebut bukanlah hal utopis. Karenanya, Phinisi haruslah tetapmenjadisebuah kebanggaan.

Saya teringat pada kisah yang diyakini oleh masyarakat Ara, awalnya kemampuan membuat Perahu masyarakat desa Ara berawal dari keikhlasan masyarakat desa membantu Sawerigading yang terdampar di Pantai Ara dalam perjalanannya ke Tanah Cina yang di kisahkan dalam karya sastra “I Lagaligo”. Akhirnya sejak saat itu, masyarakat desa belajar membuat perahu dan diberi kemampuan secara tidak langsung untuk dapat melahirkan Phinisi. Sebuah Mahakarya yang lahir dari keikhlasan berkarya dan berbuat, inilah contoh terbaik yang dibutuhkan bangsa ini yang mulai haus akan rasa kebanggaan pada Indonesia. Rasa bangga pada Bangsa Indonesia yang sebenar-benarnya Indonesia. Indonesia yang punya optimisme dan bangga akan budaya bangsanya yang kini menjadi barang mahal untuk dijumpai. Saya rindu, sungguh rindu pada bangsa Indonesia yang kaya akan karya dalam kebersamaan. Inilah sebuah kegelisahan bersama.

Phinisi Kini

Phinisi kini tumbuh dalam keprihatinan, terus berusaha membangun kembali pesonanya. Meskipun kini, Phinisi lebih banyak menghiasi daerah wisata di Indonesia seperti Bali dan Raja Ampat sebagai kapal pesiar “mewah” bukan lagi sebagai petarung lautan. Bahkan saya lebih banyakmerasakan kehadiranPhinisi melalui poster pariwisata, motif kaos, kerajinan, patung, lambang daerah dan bentuk promosi lainnya. Phinisi terus saja dijadikan sebagai icon penarik wisatawan tanpa balasan yang berimbang pada kesejahteraan masyarakat desa dimana Phinisi berasal serta penyelesaian berbagai masalah yang telahsaya paparkan diatas.

Phinisi kini harusnya mampu kembali berlayar, tidak ditinggalkan begitu saja. Pembangunan Museum Phinisi saya pikir dapat menjadi solusi efektif. Museum Phinisi nantinya akan berisi macam-macam peralatan kerja, jenis kayu yangdigunakan, cara pembuatan, perubahan bentuk Phinisi dati tahun ketahun, dan berbagai hal lainnya yang dapat dijadikan sebagai bahan, untuk dapat terus menumbuhkan kebanggan dan pemantik inspirasi berkarya. Museum Phinisi pun nantinya dapat dijadikan sebagai objek wisata yang dapat mendatangkan banyak wisatawasan serta di Museum inilah, nantinya kerajinan Perahu Phinisi buatan masyarakat desa Ara dapat dipasarkan secaralangsung. Namun, peran masyarakatlah sangatlah penting, tak ada masyarakat yang akan maju dengan melupakan budaya bangsanya. Phinisi yang merupakan bekal dimasa depan harusnya dimanfaatkan sepotennsial mungkin, masyarakat dapat berpartisipasi dengan dengan mengemborkan isu-isu budaya utamanya Phinisi sehingga masyarakat lainnya akan tertular dan akhirnya terciptalah masyarakat cinta budaya. Phinisi kini, bukan hanya dikenalkan melalui gambar saja seperti yang banyak kita saksikan, namun pengangkatan nama besar Phinisi seharusnya lebih menggali kembali unsur budaya yang masih sangat kental didalamnya. Inilah yang harusnya kita eksplor misalnya pembuatan komik berisi sejarah phinisi yang disajikan secara informatif dengan metode kekinian. Jadi, Phinisi jangan hanya terus menerus ditampilkan sebagaigambar di potongan poster pariwisata namun informasi lebih tentang Phinisi pun harus banyak di share agar rasa kebanggan dapat terbangun. Peran pemerintah tak kala pentingnya. Begitu banyak pemerintah menjadikan Phinisi sebagai icon, sudah sepatutnya Phinsi mendapatkan haknya pula. Pengurusan hak paten terhadap Phinisi harus dilakukan dengan serius, apalagi kini sudah ada sentra pembuatan kerajinan Phinisi di Malaysa, tentu kita tak ingin hal buruk kembali terjadi. Pegembangan potensi pariwisata dari Phinisi tentu terbilang sangatmenjanjikan, jika kita tahu bahwa pemesanan perahu Phinisi lebih banyak berasal dari mancannegara untuk dijadikan sebagai transportasi wisata. Indonesia sebagai Negara asal mampu lebih jeli memanfaatkan kesempatan dengan banyaknya wisata laut di Indonesia. Kita dapat menggunakan Phinisi sebagaipenarik pengunjung jika pemerintah Indonesia benar-benar serius menggalakkan wisata bahari.

Indonesia sebagai Negara maritim dan Negara dengan bekal kekayaan laut yang luarbiasa harusnya menjadi modal besar untuk terus membuat Phinisi berlayar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun