Pekik Muna cukup keras, memancing perhatian orang disekitar tertuju padanya. Petugas sigap, seseorang menopang bahu Muna, khawatir bila pingsan.
"Jangan pegangi saya, tunjukkan saja dimana ruang ICU itu !" ucap Muna.
Setelah mendapatkan informasi cukup, Muna lari ia tunggang langgang menuju ruangan ICU. Sandal jepit yang Ia kenakan beberapa kali hendak mencelakainya. Tanpa peduli ditinggalkan sepasang sandal berwarna merah itu tergeletak begitu saja di lorong rumah sakit.
Tiba di depan ruang ICU, Muna berdiri di depan jendela. Matanya menerobos masuk keruangan intensif itu. Ia mengenali warna baju pria yang sedang berbaring di ranjang. "Itu baju Mas Herman". matanya kembali menggeledah, "Itu sepatu pemberianku bulan lalu saat ulang tahunnya". Disaksikan oleh mata telanjangnya, lumuran darah merah segar disepanjang kaki tangan lelaki yang dinikahinya sepuluh tahun lalu itu. Rambut belah dua pria itu tak lagi nampak, tertutup oleh perban yang menahan aliran darah yang mengucur.
Hidung Bapak dua anak itu dipasangi selang oksigen. Sedangkan mata Herman terpejam. Empat perawat dan seorang pria, mengenakan jas putih, yang berada dalam ruangan itu nampak sibuk bahu membahu membungkus tubuh lelaki itu yang dipenuhi luka. Jantung Muna rasanya hendak lepas dari dadanya, denyut tak lagi menentu berapa degupan per detiknya. Kencangnya pompaan darah itu rasanya membuat jantungnya akan lepas.
Muna bergeser kearah pintu. "Buka pintunya..." Pekik Muna sambil menggedor pintu. "Biarkan Aku masuk, dia suamiku..." Tangan Muna berusaha keras membuka handle pintu ruang ICU itu.
Dua satpam berlari mencegah aksi Muna. Keduanya membimbing Muna menjauhi pintu itu. "Maaf Buk, dokter sedang memeriksa keadaan pasien. Mohon jangan diganggu".
"Dia suami Saya Pak" Jawab Muna dengan suara memelas.
"Itu membahayakan suami Anda. Teriakan anda mengganggu proses penyelamatan pasien. Keluarga silahkan menunggu di sini saja".Jawab salah seorang satpam itu dengan tegas.
Kalimat itu membuat Muna tak lagi dapat mendebat. Tangan dan kaki serasa terborgol. Hanya air mata yang bebas berlinang berusaha hendak membantu mau Muna. Kaki membawa Muna kembali berdiri di jendela itu menyaksikan detik demi detik pemeriksaan itu berlalu.
Tak ada lagi upaya yang bisa dilakukan Muna selain tangis. Sesekali ia memanggil "Mas Herman" dengan suara lirih. Begitu tersiksanya Muna menyaksikan lelaki yang Ia cintai sedang tetkulai, sedang Ia hanya mampu menatap tak berdaya. Detik demi detik siksa itu dilaluinya ditemani tangis pilu. "Bangun Mas! lihat Aku disini" pinta Muna dengan suara parau.
Ingin Muna menanyakan "Mengapa kejadian ini bisa menimpa suaminya, bagaimana kronologisnya". Muna tak tahu kepada siapa pertanyaan itu akan dituju. Ditoleh ke kanan dan kiri, tak seorangpun yang Ia kenal. kebingungan itu membuat Muna sulit untuk menghentikan aliran tangisnya. Rasa ingin tahu, rasa takut, rasa sakit menyaksikan suaminya berbaring dibantu dengan alat-alat kesehatan itu membuat dunia terasa gelap dihadapannya.