Mohon tunggu...
RIA ANISA
RIA ANISA Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Penulis kaku dan lugu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cakap Menghapus Tangis

18 Februari 2023   16:04 Diperbarui: 18 Februari 2023   16:20 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Denyut jantung Muna seketika berdegup begitu kencangnya. Aliran darah bagai aliran air terjun, menghujam begitu deras. Hati gundah, pikiran disesaki sejuta tanya. Tangan kaki bergetar bagai tersengat aliran listrik. Air mata turun saja, ditahan sekuatnya agar tak lekas percaya kepada penelpon tadi.

Muna segera berkemas. Disahut pakaian sekenanya, dipakai olehnya dalam sekejap mata. Kali gemetar itu dipaksa terus melangkah. Tangan gemetar dituntut merapatkan pintu demi pintu rumah minimalis itu. Rasa hendak menangis, Muna kepayahan menggembok gerbang rumahnya dengan gembok besi berwarna putih itu. Gembok itu tak lekas terkunci akibat gemetar yang menyakiti tangan mungil Muna. Kesekian kali mencoba, akhirnya gerbang kayu cokelat tua itu tertutup jua.

Dikendarainya motor matic berwarna merah keabuan itu menuju rumah sakit yang disebutkan oleh seorang misterius yang baru saja menelponnya.

 Sepanjang jalan, pikiran Muna bergulat. Insting detektif bekerja dengan cepat, mengurai benang merah dan memverifikasi segenap informasi yang Ia terima.
"Kenapa orang itu menelpon menggunakan handphone Mas Herman?" Itu adalah pertanyaan paling inti, bagaimana bisa HP suaminya berada di tangan orang asing. Mode detektif itu terus meluapkan berbagai analisa.

Dalam perjalanan, tak sengaja Muna menoleh ke sebelah kiri, terlihat seorang wanita sedang sibuk mengangkat pakaian di halaman rumahnya. Itu mengingatkan Muna bahwa ada jemuran yang Ia tinggalkan. Saat berhenti menanti lampu lalin hijau menyala, dihadapannya ada pengendara yang membonceng seorang anak mengenakan seragam sekolah. Pemandangan itu juga menyadarkan Muna bahwa sudah waktunya menjemput Ninda, putrinya bungsunya yang seyogyanya Ia jemput saat ini.

Pikiran Muna kian tak menentu. Ada kewajiban yang harus ia tunaikan namun juga harus segera sampai ke RS. Kebingungan beraduk rasa tak percaya bertambah kewajiban terhadap anaknya menambah berat nafas hendak Muna hela.
 
 Ban motor yang dikendarai Muna terus menggelinding menuju RS Permata Harapan. Putaran roda motor itu seirama dengan pikiran Muna atas apa yang diucapkan oleh orang asing tersebut. Hati kecilnya berusaha membantah bahwa informasi yang Ia terima itu salah. Tetapi kuat kemungkinan informasi yang disampaikan orang asing itu benar adanya. Terlebih, orang asing tersebut menelpon menggunakan handphone suaminya, Herman.

Di lajunya semakin cepat motor itu menuju Rumah Sakit. Rasanya Muna tiba-tiba mengidap penyakit buta warna. Beberapa kali dia mengabaikan tanda trafic light, jalanan diterobosnya terus tanpa menghiraukan lagi aturan lalu lintas.  Satu-satunya pikiran yang bersarang adalah bagaimana cara agar cepat  sampai RS hendak membuktikan perkataan orang yang menelponnya tadi.

Sesampainya di rumah sakit, Muna segera menuju resepsionis menanyakan data pasien baru saja masuk ke rumah sakit itu.
"Ia benar, nama yang Ibu sebutkan sejam lalu masuk kemari. Pasien tersebut sekarang sedang ditangani di ruang ICU" jawab petugas yang mengenakan pin bertulis nama Susi, di bagian dada. "Ibu ini siapanya pasien?"

Pertanyaan petugas itu tak lantas terjawab. Mulut Muna serasa kelu menjawab. Bibir itu bergetar membunyikan suara, namun bukan jawaban atas pertanyaan Susi, yang terlontar  adalah jerit histeris. "Aa... Mas Herman".

BERSAMBUNG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun