Oleh: Ria Anisa
Â
"Ibu ... Satya tidak mau pergi sekolah lagi"
"Ibumu sedang pergi ke pasar" jawab Pak Zainal, kakek Satya yang sedang duduk santai membaca sebuah buku di serambi samping rumah. "Kenapa cucuku tidak mau sekolah?".
Sembari melepas tas yang digendong, Satya mengambil posisi duduk di sebelah kanan kakeknya. Raut wajah kusut dan suara yang berat menyampaikan sinyal emosi siswa SMAN 8 Bekasi Timur itu sedang tidak baik-baik saja.
"Masalahnya kenapa tidak mau sekolah? Kakek belum menemukan kehutanannya"
Satya menjadi bingung, mencerna berulang kali kata kehutanan yang diucapkan oleh kakeknya. "Sepertinya tidak ku singgung soal hutan"
"Tadi emosi, sekarang bingung?" tutur kakek berusia 64 tahun itu sambil menepuk bahu cucunya. "Kehutanan itu pelesetan dari kata alas-an, hutan Bahasa jawanya alas le. Setelah bingung emosinya hilang ya?".
Menanggapi humor garing kakeknya, Satya hanya menyeringai. Letupan emosi di dadanya sudah berangsur stabil. Rasa bingung memadamkan amarahnya. Kebingungan berhasil mendinginkan kepala yang semula mendidih.
"Gitu aja kok repot" tutur Zainal.
Kembali, Satya merasa terjatuh dari ketinggian ekspektasi. Prediksi akan kecemasan dan pembelaan dari ibu yang telah ia bayangkan sirna. Selama perjalanan pulang, emosi ia tahan dalam bendungan yang seyogyanya akan ia luapkan kepada sang ibu. Belum lagi berjumpa dengan sang ibu, emosi itu kini mengering tak tersisa. Dendam yang mengalir bagai aliran lava dalam aliran darahnya, kini beku tanpa nyala. Kata-kata semula berjubel memenuhi kepalanya, sekarang barisan kata itu kocar-kacir. Habis akal dirasakan oleh Satya mendebat kakeknya.