Pria itu sudah pindah, aku mengikuti jejak darahnya dan dia sudah terbaring di sofa ruang tamu yang berada di lantai atas.
"semua sudah steril, " kataku memberikan pisau kecil, aku tahu dia membutuhkan pisau itu untuk sedikit membedah tubuhnya sendiri dan mengambil pelurunya.
"aku akan membantumu" kataku dengan gugup. Ia mengerutkan dahinya.
"aku pernah menjadi mahasiswa kedokteran, meski gagal di ujian akhir"
"oh oke, baiklah itu berita bagus. kita mulai sekarang"
Kami berdua memulainya, mencoba menekan darahnya agar terhenti. Membersihkan ujung luka dengan alkohol, ia menjerit kesakitan. Lalu ia menggigit kain tebal yang tadi dimintanya. Ia menatapku, yang mengeluarkan beberapa alat bedah. itu bukan punyaku tentu saja, itu peninggalan Ayahku. Ia mantan dokter bedah terhebat dulu.
Kami mulai operasi kecil itu. Mencoba mengambil peluru yang bersarang di perut bagian kiri, jauh dari organ vital dan tidak terlalu dalam sehingga aku bisa melihatnya. 2 jam berlalu akhirnya kami berhasil mengeluarkan peluru itu.
"cepatlah selesaikan"
Kini aku mencoba menjahit lukanya, dan melingkari tubuhnya dengan perban tebal.
Aku mengelap keringat di sekitar wajahku, "selesai" kataku akhirnya. Ia terjatuh dengan nafas tersengal-sengal. Untuk ukuran pria biasa, dia lumayan kuat bisa menahan operasi itu tanpa obat bius.
Akhirnya hal yang membuatku gagal pada ujian praktek akhir kedokteran terjadi lagi hari ini.