Aryana Pov
Hujan turun perlahan, tepat disaat aku sedang menutup cafe. Sudah hampir pukul 12 malam, dan pengunjung sudah mulai sepi. Tanganku terhenti sejenak, menjulurkan tangan dan membiarkan air hujan membasahi tanganku. Sejak dulu aku selalu suka hujan, karena suara gemericiknya membuatku sadar bahwa duniaku tidak pernah sesunyi yang kubayangkan.
Ceklek,,,
Aku menoleh dan melihat seorang pria berjaket hitam masuk kedalam cafe, oh tidak !! Aku segera bergegas menyusulnya dari belakang.
"Maaf, tuan cafe kami sudah tutup" kataku,
Ia membalikkan tubuhnya, "sudah tutup? tapi ini bahkan belum jam 12 malam"
"cafe kami memang tidak pernah sampai jam 12 malam, kali ini hanya karena malam minggu jadi aku lebih lama sedikit membukanya. Maaf, anda bisa kembali besok" kataku lagi, membetulkan letak kacamataku dan melihatnya dengan jelas.
"Jadi begitu" pria itu kini bertumpu pada meja. Sebelah tangannya mencengkram bagian tubuhnya sebelah kiri, sebelahnya lagi bertumpu pada meja. Tubuhnya agak goyang dan oh tidak ada bercak darah sekarang dilantaiku. Aku menutup mulutku, pria ini terluka.
Ia berbalik ke arahku, dengan tatapan menahan sakit bercampur memohon "aku butuh bantuanmu " setelah itu ia tumbang. Tidak, dia tidak pingsan, dia hanya terduduk di lantai dan aku setengah menjerit.
"bisakah, kau menutup pintu dan semua jendelanya?" katanya. Aku melihatnya ragu-ragu sambil bertanya dalam hati, apa yang terjadi pada pria ini? apa dia penjahat atauh malah dia jagoan seperti yang ada dalam film action?!
"aku bukan penjahat, percayalah" suaranya semakin lemah saja. Apa yang harus kulakukan?
Instingku mengatakan bahwa pria dihadapanku ini bukanlah orang jahat, dan biasanya instingku selalu salah. Tapi lihatlah, yang kulakukan sekarang malah menutup semua pintu dan jendela menuruti permintaannya. Setelah yakin seluruh pintu tertutup dan tidak ada celah yang terlihat dari luar, kini ia benar-benar tergeletak jatuh.
"Arrghh" teriakku tertahan. Aku berlari ke arahnya.
"Tuan"
ia tersenyum "aku tidak akan mati, tenanglah " katanya, seolah bisa membaca pikiranku "apa kita hanya berdua saja saat ini?"
Aku mengangguk cepat.
AKhirnya kini ia membuka jaketnya, memperlihatkan luka tembak yang mengeluarkan banyak darah.
"tolong siapkan air panas untukku, dan sterilkan beberapa pisau kecil, gunting, tolong ambilkan juga kain tebal" ia berkata cepat, mengambil nafas "apa kau punya kotak p3k?"
Aku mengangguk lagi
"bagus, tolong siapkan perban, alkohol. aaaakhhh shitt"
"kumohon, bawa apa saja yang kau punya. Sekarang!!!" katanya lagi
Aku berlari dengan cepat mengambil semua yang dia perintahkan. Jangan ragukan kemampuan otakku dalam mengingat, ingatanku sangat kuat. Meski aku gagal dalam ujian praktek akhir tahun ini tapi setidaknya aku pernah menjadi mahasiswa kedokteran. Meski gagal menjadi dokter.
Pria itu sudah pindah, aku mengikuti jejak darahnya dan dia sudah terbaring di sofa ruang tamu yang berada di lantai atas.
"semua sudah steril, " kataku memberikan pisau kecil, aku tahu dia membutuhkan pisau itu untuk sedikit membedah tubuhnya sendiri dan mengambil pelurunya.
"aku akan membantumu" kataku dengan gugup. Ia mengerutkan dahinya.
"aku pernah menjadi mahasiswa kedokteran, meski gagal di ujian akhir"
"oh oke, baiklah itu berita bagus. kita mulai sekarang"
Kami berdua memulainya, mencoba menekan darahnya agar terhenti. Membersihkan ujung luka dengan alkohol, ia menjerit kesakitan. Lalu ia menggigit kain tebal yang tadi dimintanya. Ia menatapku, yang mengeluarkan beberapa alat bedah. itu bukan punyaku tentu saja, itu peninggalan Ayahku. Ia mantan dokter bedah terhebat dulu.
Kami mulai operasi kecil itu. Mencoba mengambil peluru yang bersarang di perut bagian kiri, jauh dari organ vital dan tidak terlalu dalam sehingga aku bisa melihatnya. 2 jam berlalu akhirnya kami berhasil mengeluarkan peluru itu.
"cepatlah selesaikan"
Kini aku mencoba menjahit lukanya, dan melingkari tubuhnya dengan perban tebal.
Aku mengelap keringat di sekitar wajahku, "selesai" kataku akhirnya. Ia terjatuh dengan nafas tersengal-sengal. Untuk ukuran pria biasa, dia lumayan kuat bisa menahan operasi itu tanpa obat bius.
Akhirnya hal yang membuatku gagal pada ujian praktek akhir kedokteran terjadi lagi hari ini.
Brukkkk
Aku terjatuh begitu saja di lantai permadani yang masih berserakan kapas penuh darah.
aku tidak sanggup melihat darah, itulah yang membuatku gagal pada ujian akhir.
dan entah kenapa barusan aku bisa menyelesaikannya tanpa pingsan di awal, namun di akhir.
***
Seseorang menetesi wajahku dengan air dingin. Pria itu kini berjongkok dihadapanku. Ternyata dia tampan sekali, garis-garis wajahnya terlihat jelas membentuk rahang yang keras.
"terima kasih, atas pertolonganmu semalam"
Ia mengulurkan tangannya membantuku bangkit, lalu berjalan menjauh dariku, sedikit tertatih. Aku berdiri dan mengejarnya yang sudah hampir berada di depan pintu.
"tunggu, " kataku. "siapa nama tuan?"
Ia diam, terlihat ragu-ragu mau menyebutkan namanya. Tapi akhirnya ia berbalik, tersenyum kecil padaku "Aban, namaku Aban"
dan berlalu..........................................
Â
Bersambung....
Sebagai info saja cerita ini juga aku tulis di salah satu social media seperti ini.
selamat menikmati.
jangan lupa comment....
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H