Suara adzan subuh dari kampung sebelah beriringan dengan alarm yang telah kami setel. Rencananya pagi ini kami akan menikmati jalinan embun pagi dengan berjalan-jalan disekitar perkebunan warga, namun rintik gerimis membuat kami hanya bisa mengitari rumah warga yang kami inapi.Â
Bahagia rasanya melihat anak-anak disini bersemangat untuk membuka lemberan jendela dunia. Rundown selanjutnya adalah memulai proses pembelajaran. Kelompok siswa disini kami bagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok yang pertama berisi siswa kelas 1 dan 2, kelompok kedua berisi kelas 3 dan 4 dan kelompok yang ketiga adalah kelas 5 dan 6. Pembelajaran akan kami jalankan dengan sistem moving class. Â Â Â
 Â
Setelah selesai, kami membantu mereka untuk menempelnya dikertas karton yang telah kami sediakan. Nampak warna-warni gambar mereka, ada yang ingin berprofesi sebagai guru, polisi, dokter, bidan, presiden, pemadam kebakaran, penyanyi dan masih banyak lagi.Â
Mereka kembali kekelompoknya untuk mempraktekan cita-cita mereka, dengan malu-malu mereka mempraktekkan profesi yang mereka impikan bahkan ada yang tak mau maju karena sangat pemalu. Tapi kami terus memberi semangat kepada mereka agar mereka percaya diri tampil di depan teman-temannya untuk mempraktikan impian mereka.Â
Karena nilai utama yang ingin kami selipkan dalam pembelajaran ini adalah berani bermimpi dan percaya diri. Dari mereka ada yang bernyanyi, ada yang berpura-pura mengajar siswa, ada yang mengatur lalu lintas dan memeriksa pasien. Anak-anak di desa Ngadirejo ini relatif mudah untuk diajak berkonsentrasi dan bekerjasama saat belajar, hal ini mungkin karena mereka masih jauh dari gadget yang hanya mendominasi fikiran mereka pada dunia maya.Â
Mereka dengan mudah berinteraksi secara nyata dengan orang lain disekitarnya. Tiba-tiba ada anak dari kelompok lain yang jawabannya membuatku tertegun saat kutanya apa cita-citanya, dia menjawab ingin jadi pembantu. Profesi ini santi cita-citakan mungkin karena banyaknya melihat warga desa Ngadirejo yang pergi ke ibu kota untuk mengadu nasib sebagai pembantu, namun kami tak menyerah.Â
Kami tetap berusaha menjelaskan ke anak-anak bahwa desa mereka ini adalah desa yang subur dan menyimpan kekayaan alam yang melimpah, sehingga jika besar nanti dengan segenap ilmu yang mereka miliki pulanglah ke desa ini untuk mengolah pertanian mereka sendiri. Sehingga mereka dapat meneruskan leluhur nenek moyang mereka untuk berkehidupan yang sejahtera dari alam mereka sendiri.Â