Panasnya Jogja siang ini (27 April 2018) tidak menyurutkan semangat kami untuk mengemban misi turut serta mencerdaskan anak bangsa di batas utara dan timur gunung merapi, tepatnya di desa Cepogoh, Jombong Boyolali. Suhu yang tercatat mencapai angka 330 C tidak hanya membakar kulit menjadi legam kemerahan, warnanya seperti kepiting rebus dan tomat- tomat yang siap panen.Â
Atmosfer suhu yang tinggi ini juga membuat kami semakin menarik gas, sehingga di speedometer terlihat kecepatan bertambah. Kami ingin cepat sampai dan segera berjumpa dengan malaikat-malaikat tak bersayap penjaga taman surga di kaki gunung merapi. Terkadang ekspektasi tak sesuai dengan kenyataan, dan benar saja inilah yang terjadi pada kami, kami sempat beberapa kali tersasar karena tidak hapal jalan dan hanya mengandalkan kepintaran dari google maps.
Setelah terkatung- katung mencari jalan yang benar, akhirnya kami berhasil menyambangi desa Cepogoh, Boyolali. Terlihat jelas wajah teman-teman yang sudah mulai lunglai, karena tingginya suhu membuat tubuh-tubuh ini merasa dehidrasi dan kehabisan energi.Â
Namun, wajah-wajah lunglai ini berubah 180 derajat menjadi ceria dan bersemangat ketika kami memasuki gerbang rumah warga yang akan menjadi tempat istirahat sementara kami selama di desa ini. Ada teriakan keras dan antusiasme keceriaan dari anak-anak desa yang ternyata sudah menunggu kedatangan kami sejak enam jam yang lalu.
Belum sempat pun kami menaruh tas, anak-anak ini sudah berlarian mengerubungi kami. Runtutan pertanyaan dan pernyataan mereka lontarkan, hingga membuat kami bingung yang mana dulu yang harus dijawab. Tak sampai pun sempurna 10 menit kami beristirahat, anak-anak ini sudah membrondong kami ke perpustakaan untuk belajar dan bermain bersama.Â
Perpustakaan di desa ini sangat sederhana sekali, hanya berupa ruangan kurang lebih berukuran 2, 5 x 2 m, bercatkan hijau kuning biru bermotif polkadot dan ada tiga meja sebagai tempat untuk menjajarkan buku-buku. Sebelum kami datang ke desa ini, buku yang ada diperpustakaan hanyalah buku-buku pelajaran dan LKS. Kalaupun mungkin aku disuruh membacanya aku juga kurang tertarik.Â
Tiga  huruf yang bisa menggambarkan keadaan perpustaakaan ini 3S (sangat sederhana sekali), jauh dari kata mewah, jauh dari kata mendukung, jauh dari dua rasa nyaman dan betah seperti perpustakaan yang biasanya kami temui di Jogja. Biasanya perpustakaan di kota-kota akan menyediakan semua fasilitas yang mendukung bagi pengunjungnya untuk belajar.Â
Namun setelah kedatangan kami yang pertama minggu lalu, perpustakaan ini terasa lebih hidup. Ada banyak buku bacaan yang disesuaikan dengan level baca mereka dan konten materi serta visual yang menarik.
Ketika pintu perpus dibuka mereka langsung berlarian mengambil buku bacaan dan duduk bersama membentuk lingkaran untuk membaca bersama. Senangnya hati kami melihat mereka yang haus akan ilmu.Â
Ada yang sudah lancar membaca, ada yang terbata-bata untuk mengeja, ada yang sibuk membolak-balik kertas dan terbelalak girang melihat pop up yang ada dibuku. Yang jelas sore itu ada semangat kebaikan dari anak-anak didesa ini untuk memantik ilmu dan seolah membuka gorden jendela untuk tahu apa isi dunia.
Ada kelompok sholawat, kelompok baca puisi dan kelompok tari dengan kami yang terjun langsung sebagai mentor. Ketika adzan magrib berkumandang, kami mengakhiri latihan hari ini. Anak-anak lagi-lagi menolak. Mereka tidak ingin hari ini berakhir. Tapi begitulah anak-anak, mereka dan energi yang ada di kandung badan mereka seolah tak pernah redup.
Malam itu, selepas sholat magrib, jamuan makan malam yang telah disediakan oleh keluarga mas mustofa terasa nikmat sekali. Meskipun lauk pauk yang terhidang jauh dari kata mewah.Â
Tempe goreng, telur dadar, ikan bandeng goreng dan sambal yang disantap bersama diatas lantai semen beralaskan tikar terasa mantap mengganjal perut-perut kami yang memang sudah terasa longgar, lebih tepatnya lapar. Ini dia yang dinamakan nikmat haqiqi kebersamaan.Â
Sayup- sayup mata kami dikarenakan malam yang semakin larut dan dinginnya udara malam yang menusuk, ternyata belum mengizinkan kami untuk segera nyaman berselimut. Kami masih harus mempersiapkan bahan-bahan dan materi untuk malaikat-malaikat kecil itu besok.
Pagi ini, ketika dipikiran bercita-cita ingin menambah jam tidur sekitar 15 menit lagi, cita-cita itu seketika sirna karena ternyata malaikat-malaikat kecil ini dengan tertibnya telah berbisik-bisik berisik di depan tempat kami tidur.Â
Nyawa di raga yang belum penuh, tiba- tiba tertegak seketika. Ketika kami menyapa mereka sambil mengucek mata yang kumal, dengan ceria nya mereka menjawab "hallo kak ayo jalan-jalan". Satu dari banyak malaikat kecil ini bertutur" aku sudah tidur dari jam tujuh kak biar bisa ikut jalan-jalan sama kakak subuh ini". Dalam hatiku persiapan sekali anak-anak ini.Â
Satu lagi kesederhaaan yang kami temui disini, adalah tidur tidak beralaskan kasur, jadi hanya beralaskan tikar. Jikapun menggunakan ranjang, ranjangnya adalah ranjang bambu yang dialasi tikar. Yang patut disadari dari kesederhanaan ini adalah aliran darah kami akan semakin lancar.Â
Hasil bumi lainnya yang tak kalah penting dari desa ini adalah tembakau, kol, sawi dan labu jipang. Dimana sejauh mata memandang terlihat kualitas komoditas lokal disini memanglah unggul.Â
Di keramahan pagi ini, terlihat warga desa ini (aku menyebut mereka malaikat tanpa sayap) mulai melakukan aktivitasnya, ada yang berjualan, ada yang berkebun, dan ada pula yang merumput untuk sapi perah mereka. Lupa ku informasikan bahwa selain penghasil bunga mawar dan sayuran, desa ini juga penghasil susu sapi.
Siang itu, tak lupa kami juga mengulang latihan untuk pentas seni hari minngu esok dan diakhiri dengan sesi membaca bersama anak-anak. Anak- anak di desa ini juga diberi buku harian oleh kami agar para malaikat kecil ini terbiasa menulis kegiatan keseharian mereka dan menulis judul buku apa saja yang mereka baca.Â
Dibuku ini juga mereka boleh menulis puisi, pantun, lagu, synopsis, dll yang bisa mereka ciptakan. Harapannya semangat literasi para malaikat kecil ini akan semakin terasah melalui buku harian ini.
Seperti kebanyakan orang, aku juga sama mencintai senja. Pemandangan senja di desa ini luar biasa indahnya. Sulit untuk dilafalkan dengan kata-kata. Ada cahaya senja yang terang diantara dua runcingan hijau gunung merapi.Â
Cahaya senja dari raja cahaya yang sebentar lagi akan tenggelam diantara dua puncak merapi. Terlihat pula di kejauhan ada malaikat yang berjalan dari arah senja itu membawa rumput untuk sapi-sapi perahnya. Setelah senja ini tenggelam, akan kami nikmati malam yang dingin di desa ini.
Pemandangan seperti ini sudah jarang ku temui di kota-kota. Meskipun di jogja ada bukit bintang yang katanya indah, namun tetap saja buatan manusia tidak dapat mengalahkan sentuhan tangan langsung.
Happy Sunday:)
Pagi ini kami akan melakukan pentas seni dan sudah ada hadiah --hadiah yang kami siapkan untuk para malaikat kecil. Malaikat kecil ini terlihat begitu antusias. Mereka telah bersiap dengan kostum mereka masing-masing.Â
Sempat pula dilakukan beberapa kali latihan sebelum pentas. Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba akhirnya mereka menampilkan bakat-bakat mereka. Ada tiga penampilan sholawatan, baca puisi dan tari kreasi. Bakat para malaikat kecil ini tidak kalah dengan anak-anak dikota. Pensi itu berjalan dengan meriahnya. Penyabet juara pertama adalah kelompok sholawat.
Dalam hatiku entah terbuat dari apa tangan kak pristi ini, beliau bisa menggambar semua hewan yang disebutkan oleh anak-anak. Â Ya itu memang sudah menjadi bakatnya menjadi seorang pendongeng fikirku. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Materi selanjutnya adalah eksperimen mie menggunakan reagen betadin. Materi ini bertujuan agar anak-anak tidak banyak makan mie karena efeknya tidak baik untuk kesehatan. Anak-anak begitu serius menyimak materi ini.Â
Karena mereka menyadari bahwa terlalu banyak makan mie itu tidak baik. Sebelum memulai eksperimen ini, kami menarik perhatian anak-anak dengan menggunakan seragam koki dan seragam dokter.Â
Kami juga selipkan materi profesi disini. Mereka menulis cerita mereka di stick note dan menempelnya di jidat mereka. Ternyata setelah ditanya apa saja cita cita mereka, hanya satu dari sekian banyak anak yang ingin menjadi petani. Agak tertegun rasanya mendengar kenyataan sementara ini.Â
Banyak diantara mereka yang ingin jadi dokter, polisi, pilot, guru, dll. Tak salah memang jika anak-anak disini ingin jadi apa yang mereka tulis. Tapi kebanyakan cita- cita yang mereka tulis nanti nya akan menuntut mereka untuk meninggalkan desanya.Â
Telah kita ketahui bahwa potensi lahan pertanian di desa ini sangat baik. Ada misi dari kami agar anak-anak disini lebih mencintai desanya dengan memanfaatkan potensi lokal, melakukan inovasi baru, menjadi pioneer daerahnya, dimana harapan nya nanti akan membawa desanya menjadi berkembang, maju dan sejahtera.Â
Kenyataan sementara ini tidak membuat kami putus asa, kami mengajak mereka untuk story telling bahwa petani itu adalah cita-cita yang mulia, petani itu pekerjaan yang penting untuk semua orang dan bisa untuk masa depan.Â
Setelah bercerita lumayan panjang akhirnya banyak dari mereka yang ingin punya dua profesi "kak aku mau jadi polisi dan petani. "kak aku mau jadi bidan sambil tani". Semoga hal ini bisa terwujud ya malaikat-malaikat kecilku.
Mereka tergolong anak yang cepat belajar, karena metode belajar dengan flash card tergolong metode belajar yang mengandalkan keceptan dan konsentrasi. Nampak mereka berlomba adu cepat angkat tangan ketika kami mengeluarkan flash card dan mereka harus menjawab apa nama benda yang ada di flash card yang kami pegang.
Tidak hanya mereka yang belajar dari kami, tapi kami juga banyak belajar dari mereka tentang arti kesederhaan dan keterbatasan yang tidak patut dijadikan sebagai halangan. Saling belajar itulah yang telah kami lakukan, karena semua orang pada hakikatnya bisa menjadi murid dan semua orang juga bisa juga menjadi guru.
Benar adanya, desa ini memang gambaran taman surga, dimana kita bisa melihat fajar di pembuka pagi dan keindahan senja dengan megahnya, bulan dan bintang yang bertaburan, kebun mawar yang harum mewangi, kebun sayuran yang indah, pemandangan yang membuat takjub, perahan susu yang ada dimana-mana, serta malaikat-malaikat yang rendah hati, ramah dan senantiasa menjaga taman surga ini.Â
Bukankah di dalam kitab suci telah disebutkan bahwa di surga itu ada bunga-bunga, sungai- sungai yang didalamnya terdapat air susu yang tidak berubah rasanya serta dijaga oleh para malaikat dan bidadari. Selamat tinggal dan sampai jumpa para malaikat tak bersayap dari desa Cepogoh Boyolali. Â
Jogjakarta, 7 Mei 2018
Salam dari kami,
Book For Mountain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H