*Tulisan ini didedikasikan untuk mahasiswa-mahasiswaku tersayang*
Di beranda pada sebuah laman media sosial, pandangan saya tertambat pada sebuah foto yang diunggah seorang teman yang sedang berada di Jerman. Di foto itu ada beberapa orang kulit putih sedang berdiri di tepi jalan raya yang sepi seperti sedang menunggu sesuatu. Di atas foto itu, tertulis “Tertib nunggu lampu hijau unt pejln kaki saat mau nyebrang meski sbnrnya sdh gak ada lg kendaraan yg lewat...”(19 Februari 2015). Tiba-tiba saya menjadi malu. Foto itu seperti tombol otomatis yang membuat hubungan hubungan berfrekuensi cepat ke beberapa rekam pengalaman kedisiplinan di negeri ini - orang-orang menyeberang jalan dengan melompati pagar separator dengan latar belakang jembatan penyeberangan, pengendara sepeda motor yang bernyali besar melawan arus, kecelakaan karena melanggar rambu-rambu lalu lintas, menyerobot antrian, dan yang terakhir, mereka yang mencintai seni datang terlambat.
Mari kita berefleksi sejenak bahwa tidak dipungkiri jika kualitas kepatuhan masyarakat kita masih cenderung rendah. Jika ada polisi, jadi anak baik. Sebaliknya jika tidak ada polisi, bahkan saat jalanan sepi, njranthal! Lalu bagaimana supaya manusia memiliki kesadaran untuk tertib? Apakah manusia perlu menyaksikan/mengalami kekacauan dulu akibat perilaku yang tanpa aturan, lalu kesadaran itu akan tumbuh secara alami? Saya jadi teringat sebuah premis yang dilontarkan oleh mahasiswa saya di kelas:
“Peraturan yang dipaksakan itu tidak bagus. Ketaatan yang dipaksakan hanya akan melahirkan jiwa-jiwa tertekan dan pemberontak. Contoh konkret, pondok pesantren yang memberlakukan secara paksa seabrek peraturan-peraturan pada para santrinya, ternyata tidak menjamin semua santrinya setelah lulus juga akan menjadi orang baik. Buktinya banyak di antara mereka setelah lulus, malah melestarikan kebiasaan-kebiasaan yang dilarang selama di pesantren, misalnya merokok. Bukankah ini artinya peraturan itu tidak efektif dalam membangkitkan kesadaran?”
Sempat saya bilang ‘Wow….’ dalam hati. Wow untuk level keberanian dan daya kritis si mahasiswa ini. Nampaknya ia mampu mengkritisi efektifitas sekelumit kebijaksanaan yang bernama peraturan bahwa peraturan yang dipaksakan hanya melegitimasi berbagai tekanan dan kekerasan yang hanya akan menciptakan benih-benih pemberontak. Sebuah premis yang bagus, meskipun agak ngawur karena sampel yang diamati tidak representatif. Premis itu seperti seorang buta yang hanya memegang belalai gajah, kemudian dengan percaya diri menyatakan bahwa bentuk gajah itu panjang dan elastis.
Kita Masih di Level Compliance
Berbicara soal kualitas kepatuhan, menurut H. C. Kelman (1966) ternyata kualitas ketaatan hukum seseorang itu berbeda-beda. Pertama, ada orang yang taat hukum karena takut dijatuhisanksi. Ketaatan ini bersifat compliance. Kedua, ada juga orang taat hukum karena tekanan pihak lain, maksudnya takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi buruk. Ketaatan ini bersifat identification. Ketiga, Ketaatan yang bersifat internalization yaitu jika seseorang menaati aturan benar-benar karena ia merasa aturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai instrinsik yang dianutnya. Jadi, para santri yang taat aturan di dalam iklim pesantren ternyata memiliki kualitas efektifitas ketaatan yang berbeda. Jika mereka masih bisa menyelamatkan kebiasaan buruk setelah lulus, artinya kualitas ketaatannya selama di pondok baru sampai pada level terendah, yakni compliance.
Lalu bagaimana cara menaikkan kualitas ketaatan itu ke level internalisasi? Dalam Islam, internalisasi nilai dapat dicapai dengan cara tarbiyah. Kita diwajibkan melalui proses pembinaan berkelanjutan yang meliputi fisik, akal dan jiwa. Proses itu seperti tuntunan shalat, berpuasa, zakat, berbuat baik dengan sesama, dan tuntunan lainnya. Inilah sistem yang sudah diatur secara bijak oleh Yang Maha Kuasa. Bagi yang sudah sampai pada tingkat pemahaman hakikat tuntunan, kesadaran itu akan tumbuh secara alamiah tanpa embel-embel paksaan. Seorang muslim akan dengan sadar menunaikan shalat, orang kaya akan secara otomatis menyisihkan sebagian hartanya. Jadi, dapat disimpulkan dengan bahasa yang sederhana bahwa paksaan itu adalah sistem untuk membuat orang sadar agar mampu meyakini nilai (internalisasi).
Berangkat dari prinsip ini saya mencoba mengambil peran dalam rangka menanamkan kesadaran dan tradisi malu pada anak-anak didik saya. Visi saya sederhana, yakni pendidikan karakter, salah satunya menanamkan budaya malu untuk datang terlambat yang saya manifestasikan dalam peraturan zero tolerance untuk segala bentuk keterlambatan ke kelas. Sederhana memang, tetapi tantangannya sungguh hebat. Aturan zero tolerance ini pun nampaknya sukses memicu kontroversi. Saya menerima banyak penolakan-penolakan, dari yang sifatnya lembut hingga yang keras. Mahasiswa saya, generasi platinum, yang mungkin belum terbiasa dengan zero tolerance, menggelar negosiasi dengan menyampaikan berbagai rasionalisasi berdasarkan nilai-nilai subjektif mereka. Mereka mengkalkulasi berbagai untung dan rugi jika zero tolerance mulai efektif berlaku, hingga saya lelah berdebat dan iseng bergumam dalam hati “sunguh negosiasi ini mencerminkan secara gamblang tradisi tak kenal malu”.
Ruhnya adalah Sadar dan Malu
Beberapa orang sudah memiliki kesadaran bahwa mereka baru bisa menyeberang ketika lampu benar-benar berubah warna menjadi hijau sekalipun pada waktu yang sepi memungkinkan untuk sekedar tidur-tiduran di tengah-tengahnya. Tetapi, beberapa orang memilih untuk memanfaatkan kesempatan dengan dalih efisiensi waktu. Kita sering geleng kepala menyaksikan betapa santainya orang-orang melanggar aturan tanpa rasa malu. Menerobos lampu merah dengan bangganya, mengambil uang yang bukan hak milik (baca:korupsi), mencontek tugas dan jawaban saat ujian, dan nyelonong masuk ruang kelas saat kuliah berlangsung tanpa rasa bersalah. Tetapi kita juga perlu tahu bahwa absennya rasa malu itu karena si pelanggar mendapat dukungan moral dari lingkungan. Dengan kata lain, menaati aturan adalah kesalahan di dalam lingkungan pelanggar. Lemahnya kontrol sosial dan lemahnya penegakan hukum/aturan seperti ini tentu akan menghambat proses pembinaan kesadaran dan tradisi malu. Inilah tantangannya.
Oleh karena itu dalam rangka pendidikan karakter, secara khusus tentang perbaikan kerusakan pada aspek kedisiplinan, kita perlu melakukan sesuatu. Tak usah muluk-muluk seperti mereformasi kurikulum atau revolusi mental. Cukup mainkan peran kita masing-masing sesuai jangkauan - peran sebagai diri sendiri, sebagai teman, guru, dan pemimpin. Dengan peran-peran yang kita mainkan, kita bangun dulu kesadaran dalam diri dan rasa malu untuk memberikan role model. Setelah itu kita bisa menggerakan hati orang-orang untuk mengeliminasi sikap mental yang kontra produktif, saling menguatkan kontrol sosial, memperketat penegakan hukum/aturan.
Sadar dan malu. Dua perkara inilah yang menjadi ruh dari ketaatan internalisasi. Jika kita semua mempunyai komitmen yang kuat dan mampu bekerjasama secara sinergis dalam upaya membangun dua komponen utama itu, maka beberapa belas tahun ke depan tradisi malu tidak akan menjadi sesuatu yang langka lagi di negeri ini. Bukan hal yang mustahil jika kita nantinya menjadi penganut tradisi malu yang kuat seperti orang Jepang. Percayalah bahwa setiap manusia mempunyai potensi untuk cerdas secara emosional. Perkaranya hanya terletak pada upaya pengembangan potensi itu. Jadi, jika Anda sudah merasa geram dan malu karena dikatakan bangsa yang tidak tahu malu, itu pertanda bahwa Anda sedang memainkan secuil peran dalam upaya pengembangan potensi untuk sadar dan malu. Jika Anda tidak mau ambil peran, maka Anda memang benar-benar di zona nyaman yang sebenarnya tidak nyaman. Yuk...kita saling mencerdaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H