Kebakaran hutan di Indonesia menjadi permasalahan yang tak kunjung mendapat solusi sehingga dampak yang ditimbulkan semakin meluas. Â Tahun 2019, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat data kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2018 hingga 2019 seluas 530. 915, 89 hektare (Ha). Artinya jika dibandingkan dengan luas wilayah DKI Jakarta yang seluas sekitar 66.150 hektare, maka dalam dua tahun saja kebakaran hutan dan lahan tersebut semakin meluas setidaknya 8 kali lipat lebih besar dari wilayah DKI Jakarta.
Kebakaran lahan khususnya di Riau banyak terjadi di kawasan lahan gambut dengan total luas sebesar 40.553 hektare dan di kawasan lahan mineral sebesar 8.713 hektare. Sedangkan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kebakaran mayoritas menjalar di kawasan lahan mineral yang mencapai 108.368 hektare. Berdasarkan data yang diperoleh dari SiPongi, Karhutla Monitoring System, Direktorat PKHL Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan RI sepanjang tahun 2019 tercatat ada lebih dari 1,5 Â juta hektare lahan yang mengalami kebakaran. Karhutla terjadi hampir seluruh provinsi yang ada di Indonesia kecuali DKI Jakarta. Karhutla terluas terjadi di provinsi Sumatera Selatan dengan luas 336.798,00 hektare disusul dengan provinsi Kalimantan Tengah seluas 317.749,00 hektare
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Â mencatat adanya peningkatan titik panas atau hotspot yang menandakan indikasi karhutla. Pantauan satelit Modis (Terra Aqua), Suomi NPP dan NOAA-20 pada tanggal 8 hingga 14 Oktober 2019 dideteksi adanya 1.547 titik panas atau hotspot di sebagian daerah Indonesia. Peningkatan jumlah titik panas atau hotspot terjadi di Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi dan Kalimantan Timur.
Karhutla ini menyebabkan pekatnya kabut asap di beberapa wilayah khususnya Sumatera dan Kalimantan. Bahkan kabut asap mulai menyelubungi negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura, Filipina bahkan Thailand Selatan. Ada 21 orang warga Malaysia yang mendesak pemerintah untuk menggugat Indonesia akibat kabut asap dari wilayah Indonesia telah merugikan warga Malaysia. Dalam pernyataan tersebut, gugatan yang dilayangkan dianggap langkah yang tepat guna mengurangi kebakaran yang terus terjadi yang berdampak bagi banyak orang tak hanya warga Indonesia namun warga negara lain yang berdekatan dengan lokasi karhutla.
Dampak kebakaran hutan dan lahan bagi kesehatan masyarakat
Kabut asap akibat karhutla tidak hanya berdampak kepada hilangnya ekosistem flora dan fauna, namun dampak yang diakibatkan lebih luas hingga dapat mengancam kesehatan manusia. Kabut asap mengandung partikel kimia yang berbahaya bagi kesehatan apabila dihirup dalam waktu yang lama. Kabut asap memiliki kandungan berbahaya seperti karbondioksida (CO2) yang tinggi. Selain itu, kabut asap juga mengandung partikel kimia dan berbahaya lain seperti karbonmonoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur oksida (SO2) dan kandungan partikel kimia lain seperti ozon (03), formaldehid, akrelein, serta benzen.
Selain senyawa yang berbahaya, kabut asap membawa partikel debu dan pasir yang dapat memperparah dampak buruk bagi kesehatan manusia. Dikutip dari depkes.go.id, berikut adalah dampak buruk kabut asap bagi kesehatan manusia.
Menyebabkan infeksi saluran pernapasan
Asap dari hasil pembakaran benda akan menyebabkan sensasi tidak nyaman dan kesulitan bernapas. Hal tersebut dirasakan oleh masyarakat yang terpapar kabut asap ketika karhutla terjadi. Kabut asap yang pekat dan mengandung banyak senyawa berbahaya akan mengganggu saluran pernapasan karena kadar oksigen di udara menipis. Ditambah dengan partikel debu dan pasir yang memperparah dampak bagi saluran pernapasan.
Menghirup kabut asap secara terus-menerus akan menyebabkan beberapa masalah kesehatan, diantaranya Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA). ISPA disebabkan oleh infeksi virus, bukan dari kabut asap. Namun kondisi udara yang terkontaminasi partikel kimia yang berbahaya ditambah dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun dapat menyebabkan ISPA mudah menjangkit manusia. Mirisnya, lansia dan anak-anak bahkan bayi rentan terjangkit ISPA.
Berdasarkan data yang diperoleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada September 2019, penderita ISPA meningkat pesat hingga mencapai 919.516 pasien. Penderita ISPA tersebut berasal dari enam provinsi yang terkena dampak karhutla paling parah antara lain provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Sumatera Selatan memiliki jumlah pengidap ISPA terbanyak yaitu terdapat 291.807 pasien. Selanjutnya ada Riau dengan jumlah pengidap ISPA sebanyak 275.793 pasien dan Jambi sebanyak 63.554 pasien.