Mohon tunggu...
Rhizky Syahputra
Rhizky Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Legal Officer

Beberapa orang menganggap penghargaan salah satu tujuan utama agar mereka dikenal, sebagian lagi menganggap penghargaan itu disaat kita mampu berkontribusi untuk masyarakat tanpa harus diberi tanda semat. Karena menulis salah satu bentuk kontribusi anak bangsa. Traveller|Design Grafis | Hobi Foto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Asap Tak Pernah Kompromi

9 Oktober 2015   10:52 Diperbarui: 9 Oktober 2015   11:31 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gelap gulita ditengah malam yang begitu pekat, hamparan angin kecil pun berdatangan dari berbagai sisi sebelah Barat, Utara, Timur, dan Selatan. Angin pun tak bisa menentukan arah, kebimbangan menjadikannya resah dan gelisah menentukan arah untuk kepentingan penikmat malam.

Disaat ini angin seperti merasa bersalah untuk mementukan arahnya, kebimbangannya datang ketika api-api masih saja menyalah. Ia sadar ketika mengarahkan ke tempat api-api berkumpul maka dampaknya akan menjadi besar. Akibatnya ia tak mau melihat para penikmatnya malah mencaci makinya karena perbuatannya.

Kiranya bergitu semenjak beberapa minggu belakangan ini para pemburu berita menjadikan objek kabut asap menjadi halaman terdepan di media mereka. Disaat berkembangnya kabar ini beberapa halaman media sosial pun ikut ambil bagian melahirkan hastag #melawanasap.

Negeri sedang mengalami kegelapan di beberapa kota dikarenakan kabut asap yang datang tiba-tiba. Sejumlah daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi tempat asap berkumpul sekedar berkenalan dengan masyarakat sekitar. Asap menjadi satu-satunya yang disalahkan dalam hal ini, padahal ia hanya partikel yang tak berwujud, tapi bisa mematikan secara perlahan.

Padahal bukan pertama kali kabut asap terjadi di negeri, hampir beberapa kali kabut asap menjadi bencana yang sudah di rencanakan untuk hadir menemani hari-hari masyarakat sekitar tanah pemilik modal. Sepertinya pelajaran dari masa lalu menjadi hal yang selalu terlupakan di negeri yang indah dengan panoramanya.

Kritik keras pun dilontaran dari beberapa pihak terhadap penanganan yang kabarnya sedikit melambat atau mungkin saja masih ada tugas yang lebih penting untuk menambah tabungan khas negara agar kabut asap lebih cepat terselesaikan.

Seperti ini kah negeri? Disaat satu persatu keluarga harus kehilangan seorang yang disayangi akibat kabut asap yang terus menjalar. Akibat dari cuaca yang begitu ekstrem untuk kesehatan pernapasan. Bagaimanapun kehilangan seseorang lebih sakit dari pada harus kehilangan harta yang berlimpah. Haruskah kita terus berpikir ketika kabut asap tak bisa diajak kompromi untuk sekedar menghilang beberapa hari.

Walaupun masih saja dari berbagai pihak tanpa berpikir panjang ambil bagian untuk membantu sesama. Bahkan, meskipun hanya lewat doa beberapa menit dimanfaatkannya setelah beribadah kepada Sang Maha Kuasa. Berharap ada petunjuk dari Sang Pemilik Kuasa Tertinggi.

Gerakan peduli asap melalui masker pun terus di lakukan dari berbagai komunitas-komunitas sosial yang ada di indonesia. Mungkin saja pabrik masker bakal menjadi kewalahan untuk memproduksi masker tiap harinya.

Tanah yang indah dan subur selalu menjadi sasaran para pemilik modal, bahkan tanpa berpikir panjang mereka selalu menyiapkan strategi dan menyiapkan pasukan untuk segera menyelesaikan masalah. Masalah yang selalu mengganggu pemasukan khas perusahaan sang pemilik modal, tanah yang tak dimanfaatkan menjadi sasaran utama mereka agar kiranya tanah tak lagi ditumbuhin pohon-pohon yang tumbuh dengan sendirinya. Supaya mereka bisa dengan leluasa memanfaatkan tanah menjadi ladang pemasukan perusahaan.

Siapa yang salah? pastinya tak ada penjahat yang akan mengakui kesalahannya, kalau pun ada mungkin saja para penjahat telah diberi hidayah dari Sang Maha Kuasa. Sudah pasti pelakunya hanya pembakar yang bakal di masukkan ke jeruji, bukan otak dari penyuruh para pembakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun