Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan, khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Saat ini jabatan-jabatan politik menjadi idaman banyak orang. Apakah itu anggota DPRD, DPR, Bupati, Gubernur atau Presiden. Orang sanggup mengeluarkan uang bermilyar-milyar untuk merebut jabatan itu.Mereka memimpikan bahwa jabatan politik yang tinggi itu akan menaikkan status sosialnya, wibawa kehormatannya, menjamin kebutuhan hidup keluarga dan anak cucunya serta berbagai kenikmatan materi lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. ” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ dibidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi. ”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah berfirman:
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa. ” (Al-Qashash:83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Allah mengkhabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka. ” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan. ” (Syarh Riyadhdus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zhalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.
Tanggung jawab seorang pemimpin sangat berat. Beban itu harus dipikul oleh setiap orang yang telah memegang jabatan sebagai pemimpin. Bukan hanya soal pembangunan fisik, keamanan, ekonomi masyarakat, tapi yang lebih penting adalah tanggung jawab terhadap akhlak masyarakat.
Hal ini sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah segerombolan kambing lebih merusak dari pada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi. ” (HR. Tirmidzi no. 2482, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178)
Jarang orang yang memimpikan jabatan-jabatan politik, kemudian berpikir tentang amanah berat yang akan mereka emban.Tanggungjawab nanti yang harus mereka penuhi kepada rakyat.Apalagi berpikir tentang beratnya beban yang harus dipikul untuk nanti dipertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta, di alam akherat. Hanya kenikmatan-kenikmatan material dan puja-puji para ‘punggawa’ sajalah yang seringkali menjadi impian.
Salah satu ciri sifat dan keberhasilan pemimpin dalam Islam adalah hidup sederhana dan tidak bermewah-mewah. Seorang presiden atau pejabat-pejabat politik di Indonesia misalnya, idealnya melihat kemiskinan di negeri ini, bukan meminta kenaikan gaji, tapi minta penurunan gaji. Seorang pemimpin sejati tidak akan tidur nyenyak sementara rakyatnya lebih dari 40 juta kelaparan.Rasulullah saw berpesan: ”Bukan termasuk umatku, mereka yang makan kenyang sementara tetangganya kelaparan.”Terhadap tetangga saja, Rasulullah saw mengecam orang yang tidak memperhatikan kebutuhannya, apalagi kepada rakyatnya.
Godaan untuk para pemimpin itu banyak. Sebagai manusia, ia terkadang digoda nafsu harta yang bermewah-mewah, nafsu wanita (seks yang tidak terkendali) dan terkadang nafsu tahta, nafsu jabatan yang lebih tinggi-tinggi lagi. Dan bila ia tidak bisa mengendalikan, maka ia akan terperosok menjadi manusia atau pemimpin yang hina. Hanya kembali kepada ajaran a-Qur’an, ajaran Ilahi lah maka pemimpin akan sanggup menghadapi godaan-godaan itu.
Karena itu falsafah jabatan dalam Islam bukan sebagai sumber kenikmatan, tapi ia adalah sumber tanggungjawab dan sumber pengorbanan.Jabatan yang ia nikmati bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tapi juga dan terutama dipertanggungjawabkan dengan sedetil-detilnya kepada Allah SWT di hari setelah kematian nanti.
Menjadi pemimpin berarti menjadi teladan. Bila ia tidak siap dan tidak mampu menjadi teladan bagi rakyat, lebih baik menjadi pengikut.Karena bila pemimpin mempunyai akhlak yang buruk, maka orang-orang sekelilingnya dan rakyatnya akan mencontoh perilaku yang buruk.Dan itulah sumber kehancuran bagi sebuah bangsa, organisasi atau partai.
*Penulis adalah Mahasiswa IAIN SU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H