Sebutan Kota Bitung Bitung Sulawesi Utara sebagai kota multi dimensi, benar-benar terefleksi dalam perayaan Cap Go Meh Tahun 2015 yang dilaksanakan pada tanggal 5 Maret 2015 atau dua minggu setelah tahun baru Imlek . Acara ini berlangsung sangat meriah dan melibatkan begitu banyak pihak. Dibandingkan dengan perayaan tahun-tahun sebelumnya, perayaan kali ini dapat dikatakan spektakuler ditinjau dari sudut pandang para pihak yang mendukung dan terlibat langsung di dalamnya. Selain itu, perayaan kali ini terasa begitu istimewa karena merupakan yang terakhir kali di masa pemerintahan Walikota Bitung Hanny Sondakh, karena pada bulan Desember 2015 ini Kota Bitung akan melaksanakan Pilwako.
Prosesi Goan Siau ini dimulai dari Kelenteng Seng Bo Kiong. Kelenteng ini sendiri merupakan salah satu bangunan yang menjadi land mark nya Kota Bitung, dan senantiasa menjadi pusat perhatian dari pengunjung maupun wisatawan baik lokal maupun asing. Prosesi diawali oleh kendaraan hias dengan gambar garuda berukuran besar yang melambangkan kebhinekaan bangsa Indonesia.
Menariknya, acara ini mendapat dukungan penuh dari Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bitung yang menunjukkan bahwa kehidupan beragama di daerah ini berjalan serasi dan harmonis dalam keragaman suku bangsa dan budaya. Tentunya situasi ini dapat terus dipelihara dan dipertahankan sebagai salah satu aset daerah yang bisa menjadi panutan daerah lain.
Etnis Minahasa membawa budayanya dalam bentuk kelompok musik bambu klarinet dengan lagu-lagu nasional, lagu daerah bahkan lagu-lagu pop tanah air. Selain itu tarian perang Kabasaran ikut berpartisipasi dalam iring-iringan prosesi. Hal ini dimanfaatkan oleh penonton untuk sekedar mengambil gambar atau bahkan ber selfie ria dengan para penari.
Kelompok masyarakat adat nusa utara (Sangihe, Sitaro dan Talaud) membawakan lagu-lagu daerah dalam bentuk kesenian Masamper, sepanjang jalan pelaksanaan prosesi. Kelompok ini dipimpin oleh Sekretaris Daerah Kota Bitung, Drs Edison Humiang, M.Si. Kelompok masyarakat nusa utara ini merupakan salah satu etnis mayoritas yang ada di Kota Bitung.
Kelompok masyarakat luar daerah juga tak sungkan mendukunga acara ini. Dari komunitas masyarakat Jawa yang tinggal di Kota Bitung, menyuguhkan salah satu bentuk keseniannya yang terkenal yaitu Reog Ponorogo. Masyarakat sebagian besar yang biasanya hanya menyaksikan kesenian ini lewat layar kaca, dapat menyaksikan langsung bagaimana atraksi-atraksi dari para penunggang kuda lumping disertai dengan bunyi cemeti yang khas. Dengan diiringi lagu-lagu yang telah disiapkan para penarimelakukan berbagai atraksi yang mengundang decak kagum. Momen inipun tidak dilewatkan oleh penonton untuk kembali mengambil gambar.
Ondel-ondel yang merupakan bentuk kesenian masyarakat Betawi, juga turut meramaikan ritual ini. Dengan kehadiran ondel-ondel ini, masyarakat seakan dibawa ke suasana kota Jakarta sehingga memberikan sensasi tersendiri bagi yang menyaksikannya. Iring-Iringan musik menjadikan suasana semakin meriah dan gempita.
Komunitas masyarakat Bali khususnya yang bernaung dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Bitung tak ketinggalan untuk berpartisipasi. Dengan diiringi alunan musik bleganjur, sejumlah pria berpakaian adat Bali mengusung ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh ini biasanya ditampilkan oleh umat Hindu sehari menjelang hari raya Nyepi. Ogoh-ogoh merupakan simbol tindak perbuatan manusia yang sering berbuahkan kejahatan, sehingga diakhir prosesi ogoh-ogoh akan dibakar sebagai simbol penyucian. Sesekali usungan ini terlihat bergoyang-goyang seperti hendak terjungkal karena digoyang-goyangkan oleh para pengusungnya. Sungguh suatu suguhan yang bernilai karena prosesi ini jarang bisa dinikmati masyarakat umum.
Mendekati bagian akhir dari rangkaian prosesi ini, terdapat sejumlah kendaraan hias yang sangat indah dan penuh dengan simbol-simbol dan penghayatan ajaran agama. Anak-anak memerankan para tokoh atau sesembahan dalam keyakinan umat Tri Dharma. Mereka terlihat begitu gembira sekalipun harus berdiri di atas mobil hias dan disengat terik matahari serta dalam waktu sekitar 4 jam dalam prosesi.
Pada bagian akhir, tentunya atraksi dari Tang Shin yang menutup prosesi ini. Momen inilah yang sebenarnya  menjadi puncak perayaan. Atraksi para Tang Shin yang menggunakan berbagai benda tajam untuk melukai tubuhnya adalah tontonan yang menghibur bagi sebagian besar penonton, sekalipun tidak sedikit juga yang merasa ngeri menyaksikannya.
Even ini dapat dikemas sebagai salah satu sektor unggulan pariwisata di Kota Bitung. Tetapi kendalanya adalah bahwa prosesi ini belum tentu ada setiap tahun sehabis imlek, karena untuk berlangsungnya prosesi itu perlu mendapatkan persetujuan dari para leluhur dalam tradisi umat Tri Dharma. Kedepannya apabila lebih banyak pihak dengan budaya yang lebih beragam lagi ikut terlibat, maka dapat dipastikan bahwa kemeriahannya akan lebih spektakuler lagi. Selain itu, keterlibatan begitu banyak pihak dan elemen masyarakat di Kota Bitung, akan saling memperkokoh dan memperkuat persatuan dan kebersamaan di kota ini yang terdiri dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya, ras dan lain-lain. Modal inilah yang dibutuhkan oleh pemerintah dalam mendukung berbagai program termasuk ditetapkannya Kota Bitung sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H