Mohon tunggu...
Saul Reinhart
Saul Reinhart Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Berbagi dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Susi Dipuja, Susi Dihujat

21 Februari 2015   19:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gebrakan yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menimbulkan gejolak yang luar biasa di masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung dan menggantungkan kehidupannya dari sektor perikanan laut. Adanya moratorium terhadap pengurusan ijin-ijin penangkapan serta sejumlah larangan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2015 memberikan dampak bagi nelayan. Sejumlah nelayan tradisional menyebutkan bahwa adanya peraturan ini telah menyebabkan hasil tangkapan mereka untuk komoditas perikanan tertentu misalnya udang, cumi-cumi, ikan kerapu dan lainnya meningkat. Sementara kelompok nelayan di daerah lainnya mengeluhkan adanya larangan eksport kepiting dan udang jika ukurannya dibawah standar yang diatur.

[caption id="attachment_352242" align="aligncenter" width="700" caption="Aktifitas Transaksi Lokal"][/caption]

Kondisi di atas hanyalah sebagian kecil dari gambaran yang terjadi akibat kebijakan pemerintah di sektor perikanan dan kelautan yang digagas oleh Menteri Susi ini. Bagi mereka yang merasa bahwa peraturan ini memberikan kenaikan yang signifikan dalam penghasilannya, sudah barang tentu mendukung peraturan ini. Sebaliknya, bagi mereka yang karena aturan ini menggangu bahkan cenderung “merugikan” mata pencahariannya, maka aturan ini dianggap tidak pro rakyat bahkan tidak manusiawi. Sudah jamak memang bahwa setiap aturan yang dibuat tidak akan pernah memuaskan semua pihak.

Moratorium atau penghentian sementara proses perijinan kapal-kapal penangkap ikan serta hal-hal terkait lainnya, ikut dirasakan juga oleh masyarakat yang ada di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Kota Bitung sebagai salah satu sentra perikanan di kawasan Indonesia Timur, sangat merasakan akibat dari aturan ini. Bagi pengusaha penangkapan ikan, moratorium ini telah menyebabkan sebagian besar atau bahkan seluruh armadanya tidak bisa melaut. Sebelum adanya aturan ini, armada penangkap ikan dapat beroperasi selama beberapa hari, menampung hasilnya, baru kemudian di bongkar di pelabuhan perikanan. Aturan yang ada saat ini tidak memungkinkan hal ini terjadi lagi. Setiap armada yang pergi melaut pada sore hari, maka keesokan paginya harus kembali ke pelabuhan untuk membongkar muatannya. Hal ini tentunya berdampak pada biaya operasional yang meningkat. Akibatnya banyak pengusaha penangkapan yang terpaksa tidak beroperasi dan hanya memarkir kapalnya di pelabuhan.

[caption id="attachment_352223" align="aligncenter" width="700" caption="Kapal Penangkap Berlabuh di Pelabuhan Perikanan Bitung"]

1424494576187213451
1424494576187213451
[/caption]

Setelah lebih kurang tiga bulan berjalannya moratorium ini, dampak yang paling terasa adalah, sejumlah perusahaan pengalengan ikan, mulai mengurangi jumlah jam produksi. Akibatnya sebagian tenaga kerja dirumahkan. Bahkan ada beberapa perusahaan yang kecil, sudah menghentikan aktifitas produksinya sejak bulan Desember 2014. Dan bukan hanya itu saja, sejumlah pemilik angkutan pun merasakan dampaknya. Kalau biasanya mereka mendapat angkutan setiap hari sekitar dua sampai tiga trip sehari, saat ini hampir tidak ada lagi orderan muatan dari pelabuhan perikanan ke pabrik-pabrik yang ada di sekitar Kota Bitung. Demikian juga dengan buruh bongkar muatan di pelabuhan perikanan Aertembaga. Sebagian besar kehilangan pekerjaannya.

[caption id="attachment_352244" align="aligncenter" width="700" caption="Aktifitas Bongkar Muat Ikan Cakalang"]

14244971512079142590
14244971512079142590
[/caption]

Selain ijin tangkap yang dihentikan sementara, aturan ini juga melarang keterlibatan tenaga kerja asing yang ilegal untuk bekerja di kapal-kapal penangkap. Bukan rahasia bahwa sebagian besar tenaga penangkap ikan, apakah kapal besar maupun armada-armada kecil penangkap ikan menggunakan jasa tenaga kerja asal Filipina. Hampir semua armada terdapat tenaga kerja asing, apakah mereka yang legal maupun ilegal. Adanya aturan ini menyebabkan mereka tidak bisa melaut.

[caption id="attachment_352230" align="aligncenter" width="560" caption="Armada Penangkap Belum Melaut"]

1424495132653626714
1424495132653626714
[/caption]

Sekilas memang, tergambar bahwa kebijakan pemerintah ini menimbulkan persoalan bagi sebagian masyarakat, khususnya yang terkait dengan penangkapan ikan. Kebijakan ini sepertinya dapat mematikan usaha masyarakat yang bisa berujung pada kesengsaraan rakyat. Sejumlah pihak pun telah beberapa kali mendesak pemerintah setempat untuk segera menyampaikan keberatan mereka kepada pemerintah pusat. Pemerintah pun merespondengan mengirimkan tim untuk berkonsultasi dengan kementerian Kelautan dan Perikanan.

Adanya moratorium ini kemudian mulai mengungkap praktek penangkan ikan khsususnya dan industri perikanan di daerah ini. Kondisi ini setidaknya menguak adanya praktek-praktek ilegal fishing bahkan cenderung mafia perikanan yang sudah terjadi sekian lama dan tidak pernah tersentuh. Segelintir orang menikmati situasi ini selama bertahun-tahun. Moratorium ini sendiri tidak berdampak kepada nelayan tradisional maupun ketersediaan stock ikan untuk konsumsi masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak terpengaruh dengan kebijakan dari pemerintah melalui Menteri Susi. Aktifitas yang berkaitan dengan kegiatan nelayan tidak terpengaruh.

Industri perikanan di Kota Bitung sebagian besar adalah modal asing, dari Taiwan, Tiongkok dan terbanyak adalah Filipina. Perusahaan-perusahaan ini pada umumnya memiliki armada penangkap tersendiri dalam jumlah yang relatif banyak.  Pasokan ikan didapat dari pemasok lokal maupun hasil tangkapan armada mereka sendiri. Dengan adanya aturan ini, banyak anak buah kapal yang dirumahkan oleh pengusaha. Kondisi ini kemudian menyebabkan para ABK ini mulai “bernyanyi” tentang pekerjaan mereka dalam aktifitas penangkapan. Sekalipun informasi yang mereka sampaikan belum dapat dipastikan kebenarannya, namun hal itu mengindikasikan bahwa terjadi praktek-praktek yang tidak benar. Adanya informasi tentang penjualan ikan ditengah laut kepada kapal-kapal asing, adanya sejumlah kapal yang selesai menangkap tidak membongkar muatannya di Bitung tetapi dibawa ke Filipina, maupun keterlibatan oknum-oknum aparat dalam praktek-praktek ini.  Informasi ini masih perlu ditelusuri lebih dalam lagi, tetapi sulit untuk mengabaikan begitu saja.

Begitu banyak kerugian yang dialami oleh negara ini karena adanya praktek-praktek kotor di laut. Sekian lama kita menerima begitu saja kondisi yang hanya menguntungkan segelintir orang bahkan menguntungkan pihak-pihak asing. Adanya penolakan terhadap sikap pemerintah ini terdengar di beberapa daerah di Indonesia. Namun tidak sedikit pula yang mendukung bahkan memuji langkah berani yang diambil oleh pemerintah untuk menyelamatkan hasil laut dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Setiap tindakan tentunya mempunyai konsekwensi baik maupun buruk. Namun melihat betapa besarnya kerugian yang dialami oleh republik ini karena karena kehilangan hasil laut, maka tindakan tegas seperti yang sudah dan sementara dilakukan perlu diapresiasi. Masih banyak memang pekerjaan rumah soal laut yang harus dibenahi, dan diakui bukanlah hal yang mudah. Tetapi sangat mendesak untuk dilakukan. Sudah terlalu lama laut kita memberikan hasil tapi tidak dinikmati oleh anak bangsa. Reputasi sebagai negara maritim hanyalah slogan belaka bermakna kosong. Ratusan triliun hasil laut setiap tahun tidak dinikmati bangsa ini. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki sekalipun harus mendapat tantangan dan penolakan.

Ibarat luka, ini adalah borok yang luar biasa, sudah membusuk  dan kalau dibiarkan akan menggerogoti bagian yang lain, sehingga perlu penanganan yang serius. Tidak hanya mengobati bagian luar saja, tetapi (kalau perlu) dibuat luka baru sampai berdarah-darah, keluarkan nanah yang kotor, baru kemudian diobati, sehingga nantinya hasilnya tuntas sekalipun menimbulkan perih yang luar biasa, tetapi kemudian bisa sembuh secara perlahan-lahan dan total. Go ahead !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun