Tatkala sang waktu berputar meninggalkan porosnya...
Detik berubah menjadi menit, dan menitpun berganti menjadi jam...
Dan akupun masih terdiam...
Masih membisu...
Enggan untukku membuka jendela...
Enggan untukku membuka mata...
Ragaku masih utuh, namun jiwa dan hatiku telah hancur...
Kemudian datanglah sang angin masuk melalui celah-celah ruanganku, memberikanku kesegaran, memberikanku nafas baru..
Namun itu hanya sesaat, kemudian enyah, pergi entah kemana...
Kemudian nampaklah sinar sang mentari, memberikanku kehangatan, memelukku erat, Â lalu kemudian dia pergi...
Dan aku mulai putus asa...
Biarlah...biarlah aku seperti ini...
Biarlah mati dalam dingin...
Akupun sudah muak, dengan hiru pikuk dunia...
Tiba-tiba datanglah warna jingga itu...indah nan elok dipandang mata...
Datang menerobos melalui celah-celah kamarku...kamar jiwaku...kamar hatiku...
Lembayung jingga di langit itu...
Senja itu...
Warna jingga itu....
Ku beranikan diri membuka jendela kamarku...
Untuk melihat eloknya sang jingga di langit senja itu...
Dan jingga itu menorehkan warna baru dalam diriku...
Jingga itu telah mengisi kehampaan dalam kalbuku...
Dan karenamu kutemukan jingga itu sebelum malam pekat datang menyapaku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H