Mohon tunggu...
Rheina  Nasution
Rheina Nasution Mohon Tunggu... -

Ibu rumah tangga dan praktisi SDM yang gemar menulis tentang berbagai hal terutama mengenai hal-hal yang terkait dengan gaya hidup, parenting dan isu wanita serta psikologi secara umum.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Revolusi Mental Butuh Tindakan Nyata, Bukan Website!

29 Agustus 2015   16:39 Diperbarui: 29 Agustus 2015   16:48 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya sempat membaca satu berita di detik.com dengan judul “Situs Revolusi Mental Tumbang Sehari Setelah Diluncurkan, Ini Kata Menko Puan”.  Setelah di klik dan saya baca,  ternyata isinya jauh lebih menarik dari judulnya karena ternyata Menko Puan Mahari tidak memberi penjelasan apa pun,  selain meminta wartawan menanyakan hal itu kepada salah satu deputi kementriannya. Saya jadi tersenyum sendiri.  Tapi ya sudahlah!

Saya menulis kali ini bukan untuk membahas tentang sikap Ibu Puan Maharani,  saya justru teringat kembali betapa hingar bingarnya “Revolusi Mental” ini di dengung-dengungkan saat kampanye pilpres oleh kubu capres Jokowi JK, saat itu.  Setelah pemilu, menang, menjalankan pemerintahan lalu sudah.  Tak lagi terdengar gaung dari gerakan revolusi mental itu sendiri.  Kenapa ya?  Apakah ini hanya bagian dari janji-janji kampanye saja?

Revolusi mental,  menurut saya pribadi, memang diperlukan bangsa ini.  Tanpa memandang pihak mana yang mencetuskan jargon tersebut saat pilpres,  pada dasarnya bangsa ini memang butuk di revolusi mentalnya. Adakah yang tidak setuju?

Beberapa hari yang lalu seputar hari kemerdekaan 17 Agutus, di beberapa perempatan lampu di daerah tempat tinggal saya, ada sekelompok pemuda yang menyodor kotak kardus kepada kendaraan-kendaraan yang berhenti.  Di kotaknya tertulis “Mohon sumbangan untuk peringatan 17-an di kampung ini atau di rt sekian rw sekian”. Ini salah satu contoh.  Semangat para pahlawan pejuang kemerdekaan dahulu kala kini tampil dalam bentuk semangat meminta sumbangan.  Tidak salah karena mereka juga tidak memaksa.  Tapi bagi saya ini bentuk mental yang harus di revolusi.  Mental meminta. Ini salah satu bentuk mental yang harus direvolusi. 

Bukankah para pemuda tadi bisa lebih kreatif mengumpulkan dana daripada sekedar meminta sumbangan.  Jual makanan atau minuman, atau membuat kerajinan tangan yang bisa dijual dan keuntungannya dipergunakan untuk melangsungan perayaan di kampung atau di rt dan rw masing-masing.

Belum lagi mental nyampah yang sepertinya sudah mendarah daging di hampir semua masyarakat kita.  Tempar rekreasi, taman, jalan dan tidak ketinggalan sungai sudah lazim bila dihiasi dengan sampah. Masih sangat banyak dari kita yang berat mengayun langkah menuju tempat sampah yang disediakan.  Tangan sudah terbiasa untuk membuang bungkusan atau apapun dimana saja,  tapi bukan di tempat sampah.

Mental enggak mau ngantri,  nah ini juga selalu jadi masalah.  Orang kita paling senang “nyelak” orang lain. Di antrian manapun kalau bisa “nyelak’ pasti berusaha “nyelak”.  Dijalanan pun begitu.  Terkadang jalanan bisa jadi amat sangat macet tapi tidak jelas penyebabnya apa.  Tidak ada yang mogok,  juga tidak ada tabrakan.  Ternyata seringkali biang keladinya adalah pengemudi-pengemudi yang belum di revolusi mentalnya dan masih hobi “nyelak”.  Rasanya bangga kalau bisa dan berhasil “nyelak” kendaraan lain.

Mental memprovokasi,  mental mencaci-maki,  mental nyogok supaya urusan cepat selesai dan banyak lagi. Kalau mau disebutkan satu persatu, rasanya enggak akan ada habisnya.

Entah sejak kapan,  tapi saya yakin yang membaca tulisan saya ini pasti setuju bahwa semakin hari mental bangsa ini semakin parah, semakin menyedihkan dan juga semakin menakutkan. Apa harus kita diamkan?  Apa kita tidak bisa berbuat apa-apa?

Kembali ke berita di detik tersebut,  memang saya belum sempat melihat website revolusi mental yang dimaksudkan,  dan saya penasaran sekali apa isinya sebab menurut saya revolusi mental bukan sesuatu yang bisa dilakukan hanya dengan membuat sebuat website dengan biaya ratusan juta rupiah (bahkan rumornya hingga milyaran rupiah).

Revolusi sebagai suatu kata mempunyai beberapa makna dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) salah satu pengertiannya adalah perubahan yg cukup mendasar di suatu bidang.  Jadi salah satu makna dari revolusi adalah melakukan perubahan. Melakukan perubahan, adalah bentuk aktifitas. Awalan “Me” menunjukkan bahwa aktifitas dilakukan dengan sengaja,  ada tujuannya.  Perubahan sendiri dasar katanya adalah ubah yang mengandung pengertian adanya pergantian dari sesuatu menjadi sesuatu yang berbeda. Jadi singkatnya revolusi adalah suatu bentuk aktifitas yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan terhadap suatu bidang untuk menghasilkan sesuatu yang hal yang berbeda.

Revolusi mental berarti suatu bentuk aktifitas yang dilakukan dengan sengaja dan bertujuan terhadap kondisi mental untuk membentuk kondisi mental yang berbeda (yang lebih baik). Menilik pada pengertiannya,  maka seharusnya revolusi mental dilakukan melalui adanya aktifitas – aktifitas yang dilakukan secara terencana dengan tujuan membentuk kondisi mental yang lebih baik.  Tentunya aktifitas yang dimaksud bukanlah dengan membuat website,  karena website jelas bukan suatu aktifitas. 

Website hanya bersifat informatif, satu arah dan tanpa feed back. Bagaimana kementrian yang mengelola website revolusi mental bisa memastikan bahwa 200 juta masyarakat Indonesia mengakses dan membaca informasi di website tersebut?  Bagaimana masyarakat bisa merespon informasi apa pun yang kita peroleh?

Revolusi mental menuntut adanya kegiatan-kegiatan yang terencana dengan tujuan untuk mengubah mental bangsa ini menjadi lebih baik. Buat apa membuat uang 200 juta rupiah –menurut deputi menko Puan Maharani- untuk sebuah website?  Bukankan 200 juta rupiah lebih bermanfaat bila dipergunakan untuk membuat kegiata-kegiatan yang lebih tepat sasaran terhadap perubahan mental bangsa ini.  Meski tentunya tidak mencukupi karena perubahan mental adalah sesuatu yang cukup sulit dan harus dilakukan secara terus menerus.

Revolusi mental tidak hanya bersifat informatif,  tidak bisa hanya bersifat himbauan dan ajakan.  Harus ada tindakan nyata,  harus ada paksaan dan pembiasaan.  Tanpa upaya nyata,  mental bangsa ini akan tetap begini, bahkan mungkin semakin parah.

Tulisan saya ini adalah bentuk ekspresi keheranan saya terhadap kegiatan pemerintah membuat website yang tanpa memerlukan survey pun sudah pasti hanya akan percuma saja,  kecuali bila tujuannya memang sekedar hanya memberikan himbauan semata.

Kita memang tidak akan mengubah apa pun hanya dengan bicara.  Kita harus melakukan tindakan nyata.  Tindakan nyata yang paling tepat untuk melakukan revolusi mental bangsa ini haruslah kita mulai dari diri kita sendiri, dari keluarga kecil kita sendiri. 

Mari kita paksa diri kita untuk tidak membuang sampah sembarang.  Mari kita paksa diri kita untuk mematuhi aturan,  untuk mau mengantri.  Mari kita paksa diri kita untuk tidak memprovokasi,  untuk tidak mencaci-maki dan berhenti menghujat. Paksa diri kita,  karena itu tindakan nyata yang bisa kita lakukan.

Mari ajarkan anak-anak kita,  adik-adik kita, keponakan dan siapapun dilingkungan keluarga kita untuk menghargai perbedaan,  untuk tidak melecehkan mereka yang berbeda,  mereka yang cacat secara fisik.  Mari ajak keluarga kita untuk lebih terbuka mengekspresikan kasih sayang agar besar kelak tidak mudah mendendam dan membenci.

Revolusi mental bukan sekedar jargon.  Revolusi mental bukan milik pendukung capres tertentu saja.  Revolusi mental tidak identik dengan salam dua jari.  Revolusi mental memang kita butuhkan,  agar bangsa ini menjadi lebih baik. Mari lakukan tindakan nyata agar mental kita lebih baik,  agar mental bangsa ini menjadi lebih baik.

JIKA BUKAN KITA, SIAPA LAGI.  JIKA BUKAN SEKARANG, LALU KAPAN?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun