Mohon tunggu...
Rheza Narendra Putra Pratama
Rheza Narendra Putra Pratama Mohon Tunggu... -

Belajar menulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

The Diffraction of History

30 September 2015   20:26 Diperbarui: 7 Oktober 2015   21:33 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Di akhir Bulan September selalu terngiang dalam pikiran ialah tentang tragedi penculikan tujuh Jenderal Angkatan Darat pada 50 tahun yang lalu. Gerakan 30 September PKI (G 30 S PKI) seperti orde baru menyebutnya, Gestapu (GErakan September TigA PUluh) sebutan harian Angkatan Bersenjata atau Gestok (GErakan SaTu Oktober) yang menjadi sebutan Bung Karno dalam pidato kenegaraan terakhirnya pada 17 Agustus 1966 dengan judul Djasmerah yang terkenal itu. Pada titik ini, missing link terhadap sejarah perjalanan bangsa Indonesia terjadi, bahkan seperti terjadi difraksi terhadap sejarah. Sangat banyak versi mengenai kejadian misterius ini hingga keberadaan Supersemar. Pelbagai penelitian dan tulisan dari dalam negeri maupun luar negeri bisa dijadikan acuan referensi.

Memang pada 1965 saya belum terlahir untuk merasakan atmosfer pada masa itu, bahkan ayah saya pun belum terlahir di dunia. Sehingga mungkin apa yang dituliskan ini tidak cocok atau kurang pas di benak dan hati rekan-rekan dan saudara sekalian. Sebagai golongan muda, saya hanya mencoba menuangkan apa yang saya tahu dan saya analisa, sehingga kalau ada yang kurang pas mohon bisa ditambahkan agar menjadi pengetahuan baru bagi saya.

Saya sudah membaca pelbagai referensi, baik di internet maupun yang dalam bentuk buku. Berbagai sudut pandang dari berbagai versi cerita tentang peristiwa ini. Sehingga saya akan berusaha menguraikan seobjektif mungkin. Cerita tentang tahunya Presiden Soekarno, tentang keoportunisan Mayjen. Soeharto kala itu, keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat, hingga campur tangan Partai Komunis Indonesia. Yang terbaru yang sudah saya baca ialah buku dari Peter Kasenda tentang Soekarno, Marxisme, dan Leninisme, dan buku Prof. Salim Said Dari Gestapu ke Reformasi.

Kita akan sulit membayangkan yang terjadi pada masa itu jika kita tidak tahu suasana latar belakang sosial politik ekonomi kala itu. Juga akan sulit jika kita tidak mengetahui siapa itu Bung Karno, siapa Pak Harto, siapa D.N. Aidit, siapa Soebandrio, siapa Laksdya Udara Omar Dhani, dan siapa ketujuh perwira tinggi yang menjadi sasaran gerakan tersebut. Tentu saya tidak akan mengulas beliau-beliau satu per satu. Tetapi latar belakang tersebut bisa dijadikan benang merah peristiwa ini.

            Pada masa Demokrasi Terpimpin setelah Dekrit Presiden 1959, Bung Karno dengan penuh memegang jalannya negara dan jalannya pemerintahan di Indonesia. Beliau diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Mandataris MPRS, Presiden Perdana Menteri, Paduka Yang Mulia Presiden, Pemimpin Besar Revolusi oleh MPRS. Dan juga setelah tidak didampingi Bung Hatta sebagai wakil presiden. Bung Karno menjalankan ekonomi berdikari, menjalankan politik luar negeri yang ciamik, merebut Irian Barat, hingga berkonfrontasi dengan Singapura dan Malaysia. Nasakom yang menjadi jargon politik Ir. Soekarno untuk membangun negara di atas kemajemukan ideologi yang ada, dan juga untuk menunjukkan kepada dunia bahwa di atas keheterogenan bangsa Indonesia, Indonesia mampu membangun negerinya. Itulah yang menjadi indoktrinasi politik dalam negeri dan jualan Bung Karno kepada dunia Internasional.

 PNI sebagai wakil dari golongan nasionalis, NU khususnya sebagai wakil golongan agama, dan PKI sebagai perwakilan golongan sosialis-komunis. Dalam prakteknya terjadi friksi antara golongan-golongan tersebut, terutama dengan Angkatan Darat akibat pelaksanaan dari Dwifungsi. Dan dalam politik luar negeri kedekatan Indonesia dengan timur sangat kental dengan adanya Poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan Nefo untuk melawan PBB dan Oldefo. Juga karena konfrontasi dwikora dan operasi trikora di Irian. Dan akhirnya konflik tersebut memuncak pada 1965 dan berujung Gestapu tersebut.

Permintaan PKI agar dibentuk adanya Angkatan Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian ditentang oleh petinggi Angkatan Bersenjata dan Angkatan Darat khususnya. Menurut AD sangat riskan mempersenjatai buruh dan tani untuk diikutkan konfrontasi. Dan Letjen. Ahmad Yani ialah sosok paling vokal menentangnya dan D.I. Panjaitan yang membongkar pengiriman senjata dari Tiongkok yang diselundupkan bersamaan dengan bahan bangunan untuk pembangunan pada masa itu. Hingga munculnya isu Dewan Jenderal dan Dewan Revolusi. Aktifnya Sjam Kamaruzzaman sebagai Biro Khusus PKI yang dianggap membina tentara-tentara komunis juga santer terdengar. Friksi politik memuncak menjelang tanggal 30 September, ditambah dengan isu bahwa Bung Karno sedang sakit keras dan terancam meninggal dunia. Dikatakan bahwa sebelum Pangti yang juga sebagai pelindung politik terutama sekali dari Angkatan Darat benar-benar meninggal, maka dikatakan PKI menyerang Angkatan Darat terlebih dahulu sebelum mereka sendiri dihancurkan secara politik dan fisik oleh Angkatan Darat. Dalam hal ini dikatakan PKI meminta kepada Letkol. Untung, yang juga salah satu Komandan Grup Tjakrabirawa untuk menculik para perwira tinggi yang menjadi sasaran. Letkol Untung sendiri memang sudah lama dikaitkan sebagai perwira abangan sejak masih bertugas di Jawa Tengah.

Rumor bahwa Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno sakit keras hingga terancam nyawanya juga patut untuk dipertanyakan. Memang benar sang Pangti sudah menderita komplikasi penyakit jauh-jauh hari, bahkan sempat berobat ke luar negeri pada tempo 1962-1963. Rumor yang sama juga berkembang mendekati Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi pada 17 Agustus 1965, bahkan dikatakan Bung Karno akan berpidato bukan di podium seperti biasanya tetapi membacakannya dari tempat berbaringnya di rumah sakit. Toh, dengan bukti bahwa beliau masih bisa berdiri dengan gagah membawakan pidato Nawaksara pada Sidang Umum MPRS 1966 dan pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1966 cukup mengikis rumor tersebut. Bahkan beliau baru meninggal pada 1970 sebagai tahanan rumah di Wisma Yaso milik salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi Sukarno. Bahkan pada 30 September malam hari, dikatakan Bung Karno masih berpidato di Senayan dengan sehat dan baru pulang ke Istana jelang dinihari.

             Ada juga suara yang mengatakan bahwa penculikan berujung pembantaian tersebut merupakan instruksi langsung dari presiden. Untuk hal ini saya lebih suka memakai logika yang diungkapkan Prof. Salim Said dalam bukunya, bahwa jelas sebagai Pangti, sebagai pimpinan tertinggi negara yang berhak mengetahui segala informasi termasuk informasi intelijen Bung Karno tahu. Dan juga memang mungkin Presiden Soekarno memerintahkan penculikan, tetapi penculikan yang dimaksud ialah untuk pendaulatan seperti yang dialaminya bersama Hatta dan Sjahrir pada Peristiwa Rengasdengklok jelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Seperti yang diungkapkan Prof. Salim Said, tradisi penculikan untuk pendaulatan pada masa itu ialah tradisi politik yang normal untuk menjalankan pemerintahan., bahkan beliau juga mengutip pidato Presiden Soeharto pada HUT Kopassus di Riau pada medio 1980an yang secara tersirat mengungkapkan ‘bolehnya’ penculikan untuk pendaulatan anggota MPR jika anggota tersebut membahayakan negara. Lantas apa yang mendasari pendaulatan tersebut jika memang Bung Karno memerintahkannya? Bisa berspekulasi bahwa Bung Karno ingin menjadikan AD tunduk tanpa tedeng aling-aling seperti AURI di bawah Omar Dhani.

            Bahwa dalam prakteknya penculikan tersebut berujung pada pembunuhan dan pembantaian para perwira Angkatan Darat itu menunjukkan bahwa buruknya perencanaan, lemahnya koordinasi, dan briefing yang diberikan pada pelaksana lapangan pastilah teramat buruk. Bayangkan, puluhan pasukan Tjakrabirawa yang umumnya tentara angkatan darat tidak mengetahui yang mana seorang Nasution yang merupakan orang nomor satu TNI pada masa itu dan juga merupakan jenderal penuh bintang empat satu-satunya dan pertama kali di Indonesia kala itu. Hingga Jenderal A. H. Nasution berhasil kabur, dan yang tertangkap adalah ajudannya Lettu Pierre Tendean dan anaknya Ade Irma Suryani Nasution tertembak, sungguh konyol untuk sebuah operasi militer.

            Sekarang mengenai keterlibatan CIA dalam peristiwa ini, memang terdengar konspiratif tetapi untuk bahan pertimbangan saya kira patut untuk diketahui. Memang bukan rahasia baha Presiden Soekarno sangat ditakuti sekaligus dibenci oleh blok barat, Amerika Serikat terutamanya. Memang hubungan Indonesia-AS sempat mesra pada masa kepresidenan John F. Kennedy, dan akhirnya kembali memanas seperti pada masa kepresidenan Jenderal Besar Dwight Eisenhower setelah Kennedy tewas tertembak. Presiden pengganti Kennedy, Lyndon B. Johnson menerapkan kebijakan yang berbeda sama sekali dengan kebijakan Presiden Kennedy. AS sering dibuat hilang muka oleh Bung Karno, seperti pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB, pidato Bung Karno di depan Sidang Kongres, masalah Irian Barat, Masalah Malaysia, menangkap Allain Pope yang merupakan agen CIA dalam membantu gerakan PRRI dan Permesta. Belum juga kedekatan Bung Karno dengan Kruschev, Castro, Mao, Tito, dan tokoh kiri serta dunia ketiga lainnya. Banyak pemberontakan separatis yang terjadi di Indonesia mendapat bantuan dari AS, belum lagi berbagai percobaan pembunuhan terhadap presiden. Pemboman di Cikini dan penembakan jarak dekat pada saat Sholat Ied adalah salah satunya. Jadi juga patut diduga, chaos  yang terjadi pada Gestapu ini juga akibat campur tangan mereka yang mengadu domba Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia.

 Sekarang menjadi menarik untuk membahas Cornell Paper, karya ilmuwan studi Indonesia asal Amerika, Ben Anderson. Dikatakan dalam dokumen tersebut bahwa PKI tidak terlibat sama sekali dalam peristiwa kelam malam itu. PKI hanyalah kambing hitam dari konflik internal Angkatan Darat yang menginginkan kekuasaan dan berujung kudeta merangkak Mayjen. Soeharto. Dikatakan bahwa perwira tinggi pada masa itu, khawatir dengan berkembangnya paham Marxisme-Sosialisme yang berujung Komunisme pada diri perwira muda dan menengah Angkatan Bersenjata utamanya yang berada di daerah. Perwira teras Angkatan Bersenjata tersebut utamanya perwira tinggi Angkatan Darat sangat anti-komunis. Dan dikatakan konflik tertinggi terjadi antara Menhankam/Kasab Jenderal Nasution dan Menpangad Letjen. Yani dalam penyelesaian masalah. Nasution menginginkan pembersihan PKI dan memperingatkan presiden dengan segera, sedangkan Yani yang dikenal dekat dengan Bung Karno lebih memilih mencoba merangkul Sang Pangti agar bisa mengendalikan PKI dan mencegahnya agar melakukan perebutan kekuasaan. Berbeda dengan AURI yang dipimpin Laksdya (Udara) Omar Dhani, Omar Dhani dikenal Soekarnois sejati hingga apa kata dan perbuatan Pangti layaknya sabda yang tanpa bantah. Hingga akhirnya beliau dipenjara pada masa orde baru tanpa diadili karena tuduhan komunis bersama Menlu Soebandrio.

Situasi politik yang kacau masa itu terjadi di daerah, walaupun pimpinan partai wakil NASAKOM duduk manis berdampingan di acara seremonial negara, rakyat pendukung di daerah sering bergejolak tentang ideologi partai dukungan mereka. Buruk bagi PKI bahwa mereka adalah partai yang pernah memberontak pada 1948 dalam Peristiwa Madiun yang dipimpin Musso, kawan kos Soekarno di Surabaya. Karena pendeknya ingatan bangsa Indonesia dan baru 1948 PKI memberontak, maka ketika Mayjen. Soeharto mengumumkan melalui RRI yang sudah dikuasai RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo bahwa telah terjadi penculikan enam perwira tinggi dan satu perwira muda Angkatan Darat yang didalangi PKI. Rakyat langsung percaya bahwa PKI adalah aktor utamanya. Dan saat Bung Karno tidak kunjung menentukan sikap atas permintaan pembubaran PKI, tentara atas instruksi Mayjen. Soeharto dan rakyat yang ketakutan dibunuh terlebih dahulu melakukan operasi pembersihan dan berujung pembantaian kepada semua yang berbau PKI beserta simpatisannya tanpa ba-bi-bu.

Memang kencang rumor bahwa Bung Karno enggan membubarkan PKI, Bung Karno tidak lantas langsung menuruti tuntutan pembubaran partai palu arit tersebut. Tetapi Bung Karno juga tidak bermaksud melindungi PKI, Bung Karno hanya mencoba melindungi konsepnya atas NASAKOM yang sudah menjadi jualan politiknya, PKI memang akan dibubarkan tetapi Bung Karno mencari pengganti PKI terlebih dahulu untuk tetap mengisi KOM dalam NASAKOM. Karena lamanya menunggu keputusan presiden atas situasi chaos membuat rakyat yang ‘ingatannya’ pendek tadi bersama tentara Angkatan Darat melakukan pembersihan PKI.

 Juga dikatakan bahwa AURI terlibat dalam Gestapu dengan sadar atas instruksi Laksdya (Udara) Omar Dhani. Dengan bukti bahwa Lubang Buaya masih terletak di sekitar Kompleks Halimperdanakusuma milik AURI, kedekatan Omar Dhani dengan Bung Karno, pendukungan kepada PKI secara terbuka atas instruksi Pangti, dan marahnya Omar Dhani ketika tahu kawasan AURI diinjak-injak Angkatan Darat tanpa meminta izin. Atas dasar itu semua dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Orde Baru. Menjadi menarik, bahwa Omar Dhani masih muda tetapi sudah menyandang bintang tiga dipundakknya dan menjadi Komandan KOLAGA dan Dwikora aras instruksi presiden. Dari awal dikatakan bahwa Omar Dhani tidak disukai perwira tinggi lain, utamanya Angkatan Darat. Dia Soekarnois sejati, apa kata Bung Karno langsung dianggapnya benar, mungkin ini juga yang membuat orba memenjarakannya. Entah sejauh mana keterlibatan Omar Dhani, tetapi cukup untuk membuat tentara AURI begitu dibenci. Bahkan dalam upacara pemakaman ketujuh perwira korban Gestapu, siswa perwira AAU yang memberi hormat kepada para jenazah justru mendapat ludahan dari tentara Angkatan Darat yang duduk di panser yang mengiringi jenazah,

            Sekarang mengenai cerita bahwa Mayjen. Soeharto melakukan kudeta merangkak. Dikatakan bahwa Pak Harto memiliki rasa tidak suka terhadap Nasution dan Yani karena hampir membuatnya keluar dari dinas ketentaraan atas tindakan indisipliner Soeharto kala memimpin Kodam Diponegoro. Pak Harto beruntung kala itu karena mendapat perlindungan dari Jenderal Gatot Soebroto, dari perspektif posisi Pak Harto kala itu sebagai pimpinan CADUAD terasa terlalu jauh untuk urusan dengan Pangti, bahkan dirinya yang merupakan jenderal bintang dua tidak menjadi sasaran Gestapu. Tetapi memang ada suara bahwa Pak Harto berani bertindak karena dorongan dari Amerika, entahlah. Tetapi sikap menentangnya kepada Presiden Soekarno karena menunjuk Mayjen. Pranoto Reksosamodra sebagai pengganti Yani cukup dipertanyakan. Pranoto adalah pengganti Pak Harto di Kodam Diponegoro setelah Pak Harto ‘terselamatkan’ dan pindah dari Diponegoro. Pranoto dikenal lama memiliki hubungan yang buruk dengan Pak Harto. Dan akhirnya Mayjen. Pranoto pun dipenjarakan oleh orde baru tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Tetapi juga bisa mungkin Mayjen. Soeharto hanya memanfaatkan ruang yang ada saja seperti kata Nasution bahwa Soeharto adalah perwira oportunis.

            Tetapi pada akhirnya Pak Harto selaku ‘pemegang mandat misterius’ melalui SUPERSEMAR yang dikukuhkan oleh TAP MPRS sehingga menjadi presiden definitif dan menutup kekuasaan Ir. Soekarno selama hampir 22 tahun. Dan hal yang dilakukan Soeharto sebagai presiden pertama kali ialah membersihkan segala sesuatu yang bebau komunis dan berbau Soekarno. Penamaan Gestapu menjadi G 30 S PKI, penamaan orde lama atas masa demokrasi terpimpin dan menggantinya dengan masa orde baru pimpinannya, pengubahan Soekarnopura menjadi Jayapura, pengubahan nama Bandara Cengkareng, pengubahan nama Kompleks Olahraga Senayan dengan menghilangkan nama Soekarno dan tindakan lain. Dan atas kejadian Gestapu, pemerintah orde baru banyak mengeluarkan rilis. Seperti yang ada dalam rilisnya bahwa sebelum dimasukkan ke Lubang Buaya para perwira terlebih dahulu disiksa, disileti wajahnya, dipotong kemaluannya dan perbuatan tidak manusiawi lainnya. Tetapi hasil visum sesungguhnya tidak menunjukkan adanya luka-luka tersebut, para perwira hanya tewas karena tembakan. Wajar karena untuk menimbulkan ketakutan masyarakat terhadap PKI.

             Belum lagi susahnya anak keturunan yang ‘dianggap’ terlibat Gestapu untuk mencari sekolah ataupun mencari kerja. Terjadi diskriminasi besar terhadap warga negara yang dianggap berkeluarga komunis. Penetapan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila atas dianggapnya PKI ingin mengganti ideologi negara. Belum lagi rilis film tentang G 30 S PKI karya Arifin C. Noer yang wajib ditonton seluruh masyarakat pada setiap 30 September, film yang digambarkan dengan sangat mencekam, audiovisual yang juga mencekam yang terkesan menimbulkan efek brainwashing dan doktrin serta termasuk rilis cerita G 30 S menurut Pemerintah Orde Baru. Dan yang dilakukan pemerintah pada waktu itu didukung penetapan Pancasila atas azas tunggal terbukti jitu untuk membuat rakyat alergi terhadap PKI. Bahkan orang tua pada masa itu jika mendapatkan vonis dokter bahwa anak yang dikandungnya akan lahir pada 30 September mengalami kekhawatiran luar biasa, karena takut dicap PKI dan didatangi tentara. Mereka pasti memohon dokter untuk mempercepat proses persalinan setidaknya pada tanggal 29 September.

            Peristiwa kelabu pada perjalanan negeri ini berbangsa pada 30 September - 1 Oktober akan tetap diselubungi kabut pekat. Akan sangat susah untuk mengungkapkan peristiwa yang sebenarnya, kita hanya bisa saling berspekulasi dewasa ini. Mendekati mustahil menurut saya untuk mengungkap tragedi ini hingga tentang keberadaan dan isi SUPERSEMAR. Sebagai edisi penting transisi kekuasaan, sangat penting untuk diarsipkan oleh ANRI. Itulah juga kata Bung Karno dalam pidato kenegaraan terakhirnya di Istana yang berjudul ‘Djasmerah” yang merupakan akronim dari ‘Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah’ never leave history. Pada akhirnya sulitnya menngungkap peristiwa ini karena adanya usaha menutpinya, cap yang membahasnya sebagai komunis, sedikit sosialis dianggap komunis, dan alasan lainnya. Bangsa kita perlu lebih menyadari pentingnya historiografi, agar generasi kelak tahu bahwa bangsanya ini adalah bangsa yang berperadaban maju.

 

Sekian :) 

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun