Coba kita lihat foto di atas, foto apa itu? Ya, lumba-lumba sedang berenang di kolam renang. Tapi, lumba-lumba di foto itu bukan sungguhan, melainkan sebuah robot animatronik! Robot lumba-lumba ini terlihat sangat mirip dengan lumba-lumba hidup, dan bergerak serta berenang layaknya lumba-lumba sungguhan. Mungkin, kalau tidak diberitahu, kita tidak dapat membedakan apakah ini robot atau lumba-lumba asli ya?
Robot lumba-lumba ini adalah hasil kreasi dari Walt Conti, Pendiri dan CEO Perusahaan "Edge Innovations". Perusahaan ini bergerak di bidang special effects untuk film-film Hollywood. Banyak hewan buas yang muncul di film-film Hollywood, adalah hewan robot buatan Edge Innovations; seperti di film Anaconda, Deep Blue Sea, Free Willy, dan lain sebagainya (Johnson, 2021).
Sekitar 20 tahun lalu, Walt Conti dan Roger Holzberg membuat robot lumba-lumba pertama. Sejak itu, mereka terus melakukan pengembangan dan penelitian. Hal yang tak disangka adalah, ketika robot lumba-lumba ini ditempatkan di dalam akuarium ikan, ikan-ikan dan hewan laut lainnya berperilaku seolah robot ini adalah lumba-lumba sungguhan! Oleh karena itu, muncul pemikiran: bila ikan saja terkecoh tidak dapat membedakan robot dengan lumba-lumba asli, bagaimana dengan manusia?
Lumba-lumba sejatinya hidup di laut lepas, namun dapat dipahami bila manusia kerap penasaran ingin melihat langsung atau bahkan memegang lumba-lumba. Maka, muncullah wisata atraksi atau sirkus lumba. Selain untuk wisata, praktik ini kerap dilakukan dengan label "edukasi" atau "konservasi". Tetapi berdasarkan penemuan terbaru, wisata atraksi lumba kini dianggap kejam dan kian dikecam di seluruh dunia (Daly, 2019; Palmer, 2021; The Guardian, 2021; Webber, 2021). Lebih lanjut tentang isu tersebut, silakan baca artikel "Atraksi Lumba Semakin Dikecam Di Seluruh Dunia, Memang Apa Salahnya?" (Maulana, 2021).
Bila kita pikirkan, rasanya tidak adil bagi lumba-lumba yang semestinya hidup di laut lepas bersama kelompoknya, berenang ratusan kilometer per hari, ditempatkan di kolam renang sempit dengan air mengandung klorin. Kebebasan dan kesejahteraan lumba-lumba direnggut, hanya demi keperluan hiburan dan kesenangan manusia saja. Oleh karena itu, bukankah penemuan robot lumba-lumba ini dapat menjadi solusi yang tepat?
Wisatawan yang ingin berlibur dan melihat lumba-lumba, tetap dapat berinteraksi, berenang bersama, dan berfoto bersama dengan robot lumba-lumba, yang wujud dan gerakannya sama persis dengan lumba-lumba asli. Kegiatannya sama persis, justru lebih baik, karena banyak risiko yang terhindari. Risiko dari interaksi dengan manusia diantaranya adalah: menganggu lumba-lumba, memicu stres, dan juga risiko penularan penyakit antara manusia dan lumba-lumba. Robot lumba-lumba tidak merasakan stres dan sakit. Maka, atraksi lumba terjadi tanpa harus mengorbankan kesejahteraan lumba-lumba sebagai makhluk hidup. Bukankah ini dapat menjadi solusi win-win? Wisatawan dapat berinteraksi dengan robot lumba-lumba sesuka hati, dan lumba-lumba asli dapat hidup lestari di habitatnya di laut lepas.
Namun, tentunya hal ini hanya dapat terealisasi, bila sedari awal niat para wisatawan memang sungguh-sungguh untuk edukasi dan konservasi. Rasanya akan menjadi masalah bila wisatawan tidak merasa "puas" melihat lumba-lumba robot ketimbang yang asli. Bila hal itu terjadi, maka perlu direnungkan ulang, tujuan melihat lumba-lumba itu apakah memang edukasi dan konservasi, atau sekedar gengsi dan prestise?
Kembali pada fokus robot lumba-lumba, sejauh ini idenya cukup menjanjikan. Tetapi berhubung idenya masih baru, harganya pun masih mahal. Robot lumba-lumba ini ditaksir pada harga USD 3-5 juta, jauh sangat mahal bila dibandingkan harga lumba-lumba asli di harga USD 100.000 (Johnson, 2021). Kendati demikian, dari sudut pandang ekonomi jangka panjang, robot lumba-lumba ini sebenarnya lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan, biaya perawatan robot lebih efisien dibandingkan lumba-lumba asli. Lumba-lumba asli perlu diberi makan, dijaga kesehatannya, diobati bila sakit, dan bila lumba-lumbanya mati tentu harus diganti yang baru. Mengganti lumba-lumba hidup pun tak murah, banyak biaya yang diperlukan seperti biaya tangkap, beli, dan transport.
Bayangkan dunia masa depan, ketika satwa liar dapat hidup lestari di habitatnya masing-masing. Satwa liar tak lagi perlu dicekam kepunahan, karena harus terus menerus diambil dari alam atau dibiakkan untuk keperluan pemanfaatan hiburan manusia. Peran "satwa penghibur" dapat digantikan oleh robot-robot yang wujud dan perilakunya sama persis dengan satwa aslinya. Hal ini bukan tidak mungkin, karena praktik edukasi satwa dengan menggunakan robot satwa sebetulnya sudah mulai bermunculan. Salah satunya adalah atraksi Walking With Dinosaurs Live. Hewan dinosaurus yang sudah punah pun dapat "dihidupkan" kembali, melalui teknologi robotik modern. Bukankah ini luar biasa? Bila dinosaurus yang punah saja dapat "dihidupkan" kembali, maka untuk apa mengurung satwa hidup di kandang demi hiburan semata?
Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat sebagai tambahan informasi, dan dapat menggugah pemikiran para pembaca untuk peduli pada kesejahteraan lumba-lumba dan satwa liar lainnya. Biarkanlah mereka hidup di alamnya, mari kita jaga mereka di alam, dan kita jaga pula alamnya. Salam.
Referensi:
Daly, Natasha. (2019). National Geographic "How to do wildlife tourism right"
Johnson, Stephen. (2021). "How robots could end animal captivity in zoos and marine parks"
Maulana, Rheza. (2021). "Atraksi Lumba Semakin Dikecam Di Seluruh Dunia, Memang Apa Salahnya?"
Palmer, Mark J. (2021). “Breaking News! President Putin Calls for End to Cetacean Captures in Russian Waters”
Tech Insider. (2018). "Behind The Scenes Of 'Walking With Dinosaurs' Show"
The Guardian. (2021). “Expedia to stop selling holidays that include captive dolphin shows”
Webber, Jemima. (2021). “France Bans Wild Animals In Circuses, Mink Farming, And Dolphin Shows”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI