Kedua, sekolah-sekolah, entah di level sekolah dasar sampai perguruan tinggi, terutama milik pemerintah perlu berpikir serius untuk memberikan perhatian dan dana yang memadai untuk bangun perpustakaan yang baik, terutama di daerah yang sulit seperti di NTT. Perpustakaan yang baik ialah perpustakaan yang ada bukan hanya untuk gagah-gagahan dengan buku-buku yang rapih karena tidak tesentuh sehingga hanya menjadi  hiasan institusi yang sepi pengunjung.
Perpustakaan yang baik bukan juga perpustakaan yang eksistensinya sekedar memenuhi syarat akreditasi. Perpustakaan yang baik ialah perpustakaan yang benar-benar menghayati spirit "Buku Sebagai Jendela Dunia." Itu berarti, semua fasilitas di dalamnya, mulai dari buku sampai suasana bisa membawa orang pada pengetahuan yang mumpuni tentang dunia di sekitarnya.
Ketiga, pemerintah di setiap kota, baiknya bukan hanya membangun perpustakaan tetapi juga menciptakan kebijakan untuk mengefektifkan perpustakaan kota yang sudah ada. Hal ini berarti menempatkan perpustakaan menjadi salah satu pusat dari kegiatan warga kota.
Hal ini mengindikasikan pengadaan perpustakaan kota itu tidak reduksi pada sekedar urusan proyek yang bermuara pada bukti administrasi untuk pelaporan. Selain itu, Urasan perpustakaan pun tidak boleh jadi komoditas politik, siapa yang beruntung atau siapa yang namanya di-blow up karena sanggup mendirikan perpustakaan kota.
Keberadaan perpustakaan yang demikian semestinya berpijak pada kepentingan membangun sumberdaya manusia yang baik melalui pengetahun yang cukup dari bacaan-bacaan yang ada, selain menjadikan buku sebagai jendela dunia sebagaimana yang sudah diuraikan tadi. Itu berarti perpustakaan yang ada mesti bisa jadi tempat yang aman dan nyaman untuk membaca ataupun berdiskui tentang wacana urgen berkaitan dengan konteks NTT. Di samping itu, pemerintah juga bisa membuka wirausaha, sehingga itu dapat juga memberikan pemasukan bagi warga. Dari situ pun, pemerintah dapat menambah pemasukan daerah.
Jalan pembangunan itu panjang dan tidak ada yang instant. Jalan literasi untuk membangun pun panjang. Eropa butuh berabad sejak masa Aufklrung atau pencerahan untuk maju. Bangsa Indonesia butuh beradab sejak Budi Utomo sampai pada proklamasi di di tahun 1945. Daerah seperti NTT pun tentu butuh waktu untuk pembangunan dan maju melalui literasi.
Beberapa hal tadi kiranya bisa sedikit memberikan bantuan bagaimana menjadikan literasi sebagai suar yang menerangi jalan pembangunan. Itu demikian, karena dengan membaca atau pun menulis akan membantu mengasah rasionalitas, berpikir logis. Ini secara tidak langsung membentuk sumberdaya manusia yang bermutu. Di situ manusia lebih tenang karena memiliki stok pengetahuan pun kebijaksanaan yang cukup bahkan mendalam untuk kemudian bertindak. Kondisi seperti itu sangat penting untuk menekan sisi negatif efek budaya tutur yang membuat orang tahu omong saja, tidak produktif dan tidak bisa membangun.
Sang filsuf Cicero, pernah bilang,  the room without book is like the body with out soul, maka  marilah kita mengisi ruang pembangunan dengan menjadikan literasi sebagai salah satu jiwanya. Dengan begitu kita optimis, bahwa litarasi bisa menjadi cahaya kebangkitan dan cahaya bagi pembangun  Indoneisia dan bagi Nusa Tenggara Timur ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H