Mohon tunggu...
Rully Raki
Rully Raki Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar STPM St. Ursula Ende

Penggiat Isu-Isu Sosial dan Pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi, Budaya Tutur dan Pembangunan Indonesia: Bercermin dari Situasi Nusa Tenggara Timur

16 Februari 2022   11:05 Diperbarui: 16 Februari 2022   14:59 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fakta sejarah yang tidak pernah bisa dipungkiri ialah literasi menjadi hal urgen untuk kemajuan peradaban dan pembangunan sebuah bangsa. Bangsa-bangsa yang sudah lebih maju, seperti bangsa-bangsa di Eropa, sudah membuktikan itu. Zaman Aufklrung atau pencerahan di abad 16, telah menunjukan peran ilmu pengetahuan sungguh sentral dalam proses pembangunan manusia dan peradabannya menjadi lebih maju.

Semua itu tentunya menempatkan peran budaya literasi, membaca dan memproduksi literer menjadi hal yang penting. Jika memang demikian, apakah Indonesia sanggup maju melalui pembangunan dengan latar budaya yang non literer, karena dominasi budaya tutur, seperti yang dominan ada di Nusa Tenggara Timur?

Majunya dan modernnya peradaban bangsa Eropa, tidak pernah terlepas dari spirit zaman pencerahan dan literasi di abad 16 (Vartija, 2020). Spirit ini lantas tesedimentasi menjadi budaya mereka. Bahkan sudah sejak berabad-abad sebelumnya, semangat literasi nampak nyata dengan hadirnya perpustakaan sebagai sentral dari setiap universitas tua kenamaan seperti universitas Bologna, Cambrige atau Paris. Ilmu pengetahuan sungguh menjadi tonggak utama kemajuan manusia.

Budaya ini lalu ditularkan ke daerah-daerah koloni  mereka pada era kolonialisme. Para pribumi, termasuk di Indonesia, yang kala itu dikenal sebagai Hindia Belanda pun mengalami hal ini. Sejak dilaksanakannya Politik Etis atau Politik Balas Budi tahun 1901-1930, sejak itu sekolah-sekolah dibangun dan anak-anak Indonesia mulai diajarkan membaca dan menulis (Fakhriansyah & Patoni, 2019).

Ini menjadi cikal-bakal lahirnya gerakan kebangkitan bangsa Indonesia yang kemduian diinisiasi mahasiswa STOVIA melalui Budi Utomo tahun 1908. Hal itu lalu menjadi awal gerakan pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Sekali lagi di sini sejarah membuktikan peran literasi dalam perkembangan sebuah bangsa.

Meskipun literasi punya peran yang penting, fakta yang tidak bisa dipungkiri juga, bahwa banyak orang di Indoneisa, apa lagi di wilayah Nusa Tenggara Timur, belum memahami urgensitas literasi dalam proses pembangunan bangsa ataupun daerah. Bukan tanpa alasan, sikap ignoransia ini muncul ketika semangat literasi atau semangat mencintai bacaan, produksi atau pun konsumsinya, belum menjadi budaya yang mendarah daging.

Hal seperti di atas bisa terjadi karena jejak budaya literasi yang bisa ditelusuri melalui aksara-aksara hampir mustahil ditemukan dalam kebudayaan suku-suku di NTT. Kalau pun ada, itu tidak menjadi hal yang dominan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena cerita tentang perebutan kekuasaan, perang atau kisah tentang interaksi antara manusia dengan alam atau pun roh leluhur, lebih dominan. Hal ini membuat tidak ada akar yang kuat dari budaya literasi di Nusa Tenggara Timur.

Sebagaimana cerita sebelumnya, yang terjadi di daerah koloni, budaya literasi seperti menjadi budaya yang dicangkokan. Budaya ini, lebih banyak di datangkan dari Eropa, lewat para misionaris yang datang menyebarkan agama. Orang NTT tidak tumbuh dengan budaya literasi. Kalaupun ada gerak untuk menumbuhkan budaya ini, entah itu dari kalangan masyarakat maupun pemerintah, itu hanya akan diminati oleh orang-orang tertentu atau hanya berupa proyek dengan tujuan akhir syarat administrasi terpenuhi bagi laporan pertanggungjawaban.

Jika memang demikian, sungguh tidak dapat disanksikan kalau literasi kemudian hanya habis di wacana dengan realisasi yang minim. Ia minim peminat sekaligus minim keseriusan bagi pihak-pihak yang harusnya menjadi penggarap utama. Lantas apa yang bisa dilakukan?

Berdasarkan situasi ini, beberapa hal kiranya bisa dilakukan agar literasi sedikitnya punya daya tendang, baik itu pada konteks Indonesia, maupun NTT. Hal pertama, bisa diawali dengan pertanyaan, sudahkah budaya mencintai buku, membaca dan menulis melekat pada keluarga-keluarga di Indonesia dan di  NTT? Hal ini mengindikasikan peran keluarga amat sentral dan mengkonstruksi dan menginternalisasikan budaya membaca dan menulis. Cinta akan buku dan bacaan perlu untuk ditanamkan di dalam keluarga.

Ini dapat dimulai dengan membiasakan membaca atau memberikan bacaan pada anak-anak. Di sini, tidak perlu bacaan yang mahal dan berkelas, tetapi bisa dimulai dengan  menceritakan kisah para nabi di Kitab Suci. Hal ini tentunya akan membantu membangun imajinasi dan kreativitas pada anak. Ini pun bisa dijadikan cara untuk menangkal bahaya munculnya sikap pasif yang timbul pada anak-anak akibat pengaruh televisi ataupun handphone yang berpeluang besar mengkonstruksi imajinasi dan pola pikir anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun