Kedua, untuk memaksimalkan proses belajar, disediakan ruang yang sedemikian sehingga para mahasiswa bisa mengembengkan kemampuan bernalar dan menyampaikan pendapat, atau menggunakan dengan menggunakan aplikasi digital yang sederhana. Hal ini penting untuk dilakukan karena bahaya plagiarisme sangat kental di era digital ini, selain ada juga pertimbangan bahwa tidak semua pelajar memiliki kecakapan digital untuk mengakses atau mengekspresikan diri .
Ketiga, penting untuk diingatkan pada para pelajar, dalam hal ini para mahasiswa bahwa situasi belajar dan mengajar di situasi ini memang amat sulit. Namun itu tidak berarti kita mesti patah semangat, menyerah dan pasrah pada situasi. Â Perlu melihat situasi ini secara lebih positif, bahwa ini adalah tantangan untuk mengukur seberapa dalam motivasi belajar.
Sulit kuliah memang menjadi keluhan umum bagi para pelajar di daerah pelosok. Namun dengan beberapa masukan di atas, kiranya ada kekuatan untuk terus mengembangkan sikap adaptif dengan situasi dan kemauan untuk terus berubah dan berinovasi. Di sini penting untuk berpegang para prinsip lama “Survival of the fittest,“ bahwa siapa yang mampun beradaptasi dan berubah, dialah yang akan bertahan.
Teringat juga kata-kata dari Bapak Pendidikan Indonesai, Ki Hajar Dewantara bahwa “Mempunyai ketetapan, tidak tergoyahkan, berisi dengan berilmu pengetahuan, hingga yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa apa yang dilakukannya adalah benar dan baik.“
 Bahwa dengan kesulitan ini, kita mesti punya ketatapan hati yang tidak tergoyahkan untuk terus mengisi ilmu akan akan memnatapkan keyakinan bahwa apa pun kondisi sulit kuliah yang diamali, tidak akan menjadi rintangan, tetapi  menjadi tantangan yang menguatkan dan memantapkan proses pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H