Mohon tunggu...
Rheyna priscilla
Rheyna priscilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa Universitas Sriwijaya program studi Ilmu Komunikasi yang mempunyai ketertarikan dengan isu-isu sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membongkar Pemahaman "Fragile Masculinity" di Masyarakat

24 November 2023   01:43 Diperbarui: 26 November 2023   00:10 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membahas perihal lingkup gender dan ketidaksetaraan merupakan isu yang menarik untuk dikupas lebih dalam, terutama bagi Generasi-Z, mengingat bahwa isu ini termasuk dalam salah satu poin SDGs (Sustainable Development Goals) dan juga sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari. 

Semakin terbukanya akses ke dunia luar melalui teknologi yang ada, maka semakin banyak pula informasi dan hal baru yang dapat ditemukan, salah satunya tentang istilah "fragile masculinity" yang mungkin masih terdengar asing bagi Sebagian orang.

Konsep Fragile Masculinity

Fragile Masculinity, atau yang secara bahasa adalah maskulinitas yang rapuh merupakan hal yang secara tak sadar seringkali terjadi pada lingkungan sekitar. 

Isu fragile masculinity ini dapat didefinisikan sebagai situasi dimana ketika seorang pria merasa gagal menunjukkan jati dirinya sebagai seorang "lelaki yang gagah" yang dapat dipicu dari berbagai faktor, baik dari dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya yang mengakibatkan rasa tertekan, rendah diri atau bahkan putus asa.

Secara umum, hal ini dapat terjadi tak lain dikarenakan adanya stereotip dari masyarakat patriarkis, seperti yang diketahui konsep maskulin maupun feminim telah lekat dan dibentuk dalam kehidupan bermasyarakat. 

Menurut Darwin dalam Maskulinitas: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis, masyarakat patriarki cenderung menganggap jika pria adalah sosok yang kuat dan tangguh. 

Memang sering tidak disadari, kita mengkotak-kotakan hal yang dianggap bersifat "maskulin" dan "feminim" seperti pandangan bahwa laki-laki tidak boleh menangis karena akan dianggap lemah, atau pandangan bahwa laki-laki yang memiliki hobi seperti melukis dan memasak dianggap tidak cukup gagah dikarenakan hal tersebut dianggap hal yang bersifat "feminim"

Peran Media Dalam Membentuk Konsep Maskulinitas

Media mempunyai peran yang sangat signifikan dalam menciptakan berbagai konsep maskulinitas rapuh ini terutama di era digital sekarang, dimana semua orang mempunyai akses yang sangat mudah untuk mempublikasikan sesuatu. 

Contohnya, dapat dilihat banyak sekali orang yang memulai karirnya dengan cara membuat konten atau content creator yang menggunakan sosial media sebagai wadahnya. 

Dan tak jarang, konten yang dibahas menyangkut hal yang berbau stereotip gender dan yang secara tak langsung mempunyai peran dalam memperkuat terbentuknya konsep "maskulinitas" yang kaku dan rapuh.

Konten online seperti ini seringkali memberikan gambaran tentang maskulinitas yang tidak realistis, contohnya menekankan pembahasan kejantanan secara fisik sebagai tanda atau citra dari "pria sejati", kekuatan, dan ketidakmampuan untuk menunjukkan emosi. 

Hal ini dapat membuat pria merasa tertekan dan tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan oleh media online, sehingga memperkuat kerapuhan maskulinitas

Tanda-Tanda Fragile Masculinity Pada Individu

ilustrasi: Fragile Masculinity. (Sumber: beyondfitnessforever.com)
ilustrasi: Fragile Masculinity. (Sumber: beyondfitnessforever.com)

Terdapat beberapa tanda yang dapat dilihat dari pria yang mengalami "fragile masculinity", dan dari tanda ini pula nantinya dapat dirasakan dampaknya bagi sendiri maupun orang lain. Beberapa tanda yang penulis rangkum dalam artikel ini antara lain:

  • Menolak ekspresi emosional

Menunjukkan ekspresi emosional seperti menangis merupakan hal yang tabu dan memalukan bagi pria dengan fragile masculinity karena mereka menganggap menangis merupakan tindakan yang lemah dan tidak mencerminkan maskulinitas.

  • Menolak meminta bantuan ketika sedang menghadapi masalah

Pria yang mengalami fragile masculinity biasanya tidak mau meminta pertolongan jika sedang menghadapi masalah dan cenderung lebih memilih untuk menyimpan sendiri permasalahan dan beban yang dialaminya karena mereka memiliki rasa takut akan dianggap tidak mampu atau tidak mandiri.

  • Tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah tangga

Hal inisangat mendasar dan sangat sering terjadi pada kehidupan sekitas kita. Banyak dari pria yang menganggap bahwa melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu atau memasak merupakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh perempuan.

  • Ketakutan akan penampilan yang berbeda

Sebagian pria enggan berpenampilan yang sedikit berbeda dengan gambaran pria pada umumnya karena takut akan opini orang yang akan menganggapnya "menyimpang".

Dampak Pada Orang Lain

Selain berdampak pada diri sendiri seperti timbulnya rasa tertekan, rendah diri, dan ketakutan akan tidak mampunya memenuhi ekspetasi publik, fragile masculinity juga dapat memberikan dampak yang buruk bagi orang-orang disekitarnya.

  • Komunikasi yang terbatas

Karena terlalu sering memendam semua permasalahannya sendiri, membuat pria dengan fragile masculinity mempunyai kemampuan komunikasi yang terbatas yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.

  • Sikap yang cenderung defensif/agresif

Orang yang mengalami fragile masculinity cenderung memiliki sikap yang defensif sebagai bentuk pertahanan dirinya dan karena hal ini tak jarang menyebabkan timbulnya sikap agresif sebagai wujud "membuktikan diri". Hal ini sudah pasti menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi orang sekitarnya.

  • Merasa mempunyai kekuasaan dan menganggap bahwa perempuan seharusnya selalu tunduk kepada laki-laki

Pria dengan fragile masculinity akan merasa tidak nyaman jika dipimpin oleh perempuan contohnya seperti di lingkungan pekerjaan, mereka akan menganggap bahwa performa perempuan lemah dan buruk. 

Dalam hubungan seperti pernikahan pun, mereka akan selalu ingin memegang kontrol dalam hal apapun, dan ini dapat memicu konflik baik konflik kecil maupun besar yang mengakibatkan terjadinya kekerasan.

Hal yang Dapat Dilakukan Untuk Mencegah dan Meminimalisir Fragile Masculinity

Menghapus konsep dan pandangan tentang fragile masculinity pada lingkungan sosial merupakan sebuah tantangan yang besar, namun kita dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya hal ini dengan melakukan berbagai hal ini. 

Contohnya dengan mulai mengenalkan dan mewujudkan gerakan kesetaraan gender. Karena dengan terwujudnya hal ini, pandangan berbagai individu dapat berubah dan memahami bahwa tidak semua hal perlu dikotak-kotakan berdasarkan gender. 

Memberikan dukungan terhadap pemahaman yang lebih luas tentang konsep dan definisi "maskulinitas" yang sesungguhnya juga dapat membantu mengurangi terjadinya fragile masculinity. 

Konsep maskulinitas sebenarnya tidak hanya mencakup sifat-sifat yang dianggap maskulin, seperti kekuatan fisik dan ketidakmampuan untuk menunjukkan emosi, tetapi juga mencakup sifat-sifat yang dianggap feminin, seperti kelembutan dan empati. 

Maskulinitas sebenarnya adalah konsep yang fleksibel dan dapat berubah seiring waktu dan perubahan sosial.

(Penulis : Rheyna Priscilla Maharani)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun