Mohon tunggu...
RhetIM
RhetIM Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Aneh ajalah. Bingung mau dibuat apa, karena ada pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ibu yang Takut untuk Menangis

14 Januari 2020   01:39 Diperbarui: 14 Januari 2020   02:46 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang perempuan mengais-ngais makanan di sebuah tong sampah dekat pertokoan. Marni. Ya, begitulah orang-orang mengenal namanya. Kadang jika diperhatikan, ia sedikit tersenyum-senyum sendiri. Gila? Mungkin saja. Begitulah orang-orang sekitar menduganya.

Lusuh pakaian yang ia kenakan. Rambut gimbal yang tak terurus. Bahkan sekadar shampo untuk mengeramasI rambut yang sudah mengeras tidak pernah dilakukan. Hanya air hujan saja yang bisa meluruskan rambutnya. Itu pun hanya beberapa jam. Sebelum kembali lagi mengering. Mirip seperti sarang tawon. Bisa jadi kutu-kutu yang di rambut Sisca, itu tertular darinya. Begitulah kira-kira dugaan Pak Sarif.

Sisca seorang bocah perempuan berumur sepuluh tahun. Enam tahun sudah ia dirawat sejak dari usia empat tahun. Pak Sarif jatuh iba kepadanya karena tidak ada satu pun orang yang mau mengasuh perempuan kecil itu.

Istrinya sendiri pun sebenarnya menolak. Pernah ia diduga bahwa anak itu adalah hasil dari persekongkolan gelap bersama wanita lain. Namun, Pak Sarif menolak. Kasihan. Hanya alasan itu yang sekiranya ia anggap tepat.

Di warung-warung kopi kadang Marni masih menjadi perbincangan. Di kios tambal ban penghuni trotoar, tidak sedikit orang yang bertanya. Penasaran melihatnya kadang berbicara sendirian.

Tak jarang pula para tukang-tukang becak yang tak mampu membayar pekerja seks, memanfaatkan Marni untuk melakukan oral. Tentu hanya sekadar untuk melampiaskan syahwat semata. Dengan iming-iming rayuan manis ditambah dengan uang kisaran lima belas ribu dianggap sebagai upah.

Di sebuah sumur umum, tengah malam Marni dimandikan. Biasanya di tempat itu para lelaki paruh baya selepas mengayuh becak membersihkan dirinya di sana. Tapi kedatangan kali ini lain. Marni pasrah ketika ada lelaki hidung belang membawa dan ingin menyabuni tubuhnya. 

Tangan-tangan itu lebih terfokus membersihkan bagian dada dan meremas-remasnya dengan kencang. Terkadang, kemaluannya menjadi sasaran untuk sekadar menggelitik supaya Marni mendesah manja.

Bagi Pak Sarif, mendengar hal itu sudah tak asing. Letak rumahnya bersebelahan dengan sumur tersebut. Ia juga kerap menyaksikan memang jika wanita itu dibawa sesekali. Kadang juga keisengan muncul dalam benaknya.

Tak segan ia mengintip dengan alasan local. Hendak buang hajat. Demi memerhatikan adegan itu yang mengundang gelora dari lubang angin kamar mandi yang persis mengarah ke arah sumur tersebut.

Berbeda jauh dengan hari-hari sebelumnya. Tidak ada gelagat nafsu. Tidak ada remasan yang penuh kegeraman menggenggam payudara Marni. Bahkan menapaki kemaluannya pun seolah jari itu enggan untuk bermain-main lebih lama.

Pak Sarif sedikit kecewa. Bayangannya tidak mencapai klimaks saat menyaksikan itu. Semenjak menikah dengan Miah dan melahirkan tiga anak, nafsunya tidak lagi menggebu seperti dulu. Ada saja alasan untuk sesekali menolak berhubungan intim.

Ketiga anaknya memang sudah besar. Dua orang sudah menikah. Sedang si bungsu pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.
Lebih sering Pak Sarif mempercepat permainannya di ranjang. Setelah usai, ia sengaja langsung merebahkan diri dan mendengkur sekeras-kerasnya. Miah terdiam. Kecewa dan marah menguasai hatinya. Mungkin begitukah jika lelaki sudah tidak mencintainya? Benaknya mulai meragukan cinta Pak Sarif.

***
Sore ini seperti biasa Sisca mengantarkan jajanan ke warung-warung kecil. "Warung sego kucing", begitulah orang-orang jawa menamainya.

Miah tak ingin rugi. Tenaga anak itu digunakan untuk kepentingannya mencari uang. Setiap sepulang sekolah, ia tak luput dari dapur dan pekerjaan rumah hingga menjajaki warung-warung untuk menitipkan jajanan gorengan. Belum lagi setiap malam, Sisca harus mengambil sisa makanan yang tak terjual beserta hasil penjualan.

Melelahkan. Tubuhnya kecil. Mengayuh sepeda menelusuri perkampungan hingga trotoar jalan. Belum lagi Sisca harus menunggu jika warung tersebut belum tutup.

Pak Sarif sendiri tak banyak komentar. Baginya, cukuplah ia membantu dan memberi tumpangan juga menyekolahkan anak itu sampai besar nanti. Tak peduli melihat Sisca bisa pulang sampai larut malam. Bahkan terlihat jarang sekali anak itu memegang buku di rumah selain di hari minggu.

Beberapa kali Miah sering mengomel. Sisca diam. Matanya tak ingin menunjukkan kekesalan.

"Untuk apa sih kau menemui wanita gelandangan itu!"

Begitulah celoteh Miah terhadap Sisca. Seringkali memang gadis kecil itu menghampiri Mirna. Akibat ulahnya, tidak lagi Pak Sarif mendengar desah di sumur tua. Meski ia tahu penyebab utama bukanlah karena Sisca.

Semenjak terakhir kalinya Pak Sarif melihat Mirna dimandikan tanpa busana dan nafsu, sejak itu pula sudah tidak ditemuinya lagi sosok Mirna datang ke sumur. Selain tidur dengan beralaskan dan berselimut kardus di pinggiran ruko.

Jika saja rasa penasaran Pak Sarif tak menyelidiki sebab musabab Mirna yang tak lagi datang bersama lelaki hidung belang di sumur tua, mungkin saja ia tak memergoki Sisca yang sedang bercengkerama asyik dengan Mirna dan dijadikannya bahan laporan untuk diadukan pada Miah.

Sebagai hukuman, tidak lagi ada uang saku untuk Sisca. Hanya bekal makanan saja yang masih diwajibkan untuk dibawanya ke sekolah. Tak lantas membuat Sisca menyerah.

Meski sudah diketahui bahwa sisa jajanan ia bayar dengan uang sakunya, tak menghalangi jalannya untuk tetap bertemu dan memberikan sisa makanan yang tidak terjual itu pada Mirna.

Jam masih menunjukkan pukul sembilan. Ia bergegas lebih awal untuk mengambil hasil jualan ibu tirinya. Sambil menunggu, terkadang Sisca membantu pemilik warung membersihkan gelas-gelas dan sendok yang kotor. Upahnya bisa ia jadikan untuk membeli sisa panganan yang seharusnya ia bawa pulang. Untuk dibawa pada Mirna.

***
Pagi-pagi sekali warga dihebohkan oleh kabar yang tidak mengenakkan. Sesosok mayat ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.

Di sebuah halaman ruko, Mirna ditemukan dalam keadaan tidak bernapas lagi. Ada bekas tali yang menjerat di leher. Perbincangan itu tak habis-habisnya diulas. Pihak kepolisian melakukan olah TKP dan menanyakan langsung beberapa orang saksi yang mengetahui keberadaan korban dengan siapa terakhir kalinya.

Sisca masuk dalam interogasi. Bocah perempuan kecil itu tak mengerti. Matanya berkaca-kaca. Antara sedih juga kehilangan. Tidak banyak  yang ia jawab dan utarakan. Sisca hanya tahu bahwa di malam itu ternyata, adalah malam terakhir ia memberikan panganan.

Garis kuning Polisi membatasi area. Untuk beberapa waktu, ruko itu diharuskan untuk tutup. Beberapa karyawannya senang dengan adanya kejadian tersebut.

Hingga Polisi selesai menuntaskan penyelidikan. Secepatnya. Hanya itu keterangan yang diberikan. Wajar saja, ruko yang memperjualbelikan barang-barang elektronik itu memperlakukan karyawannya dengan semena-mena dan juga memberikan upah yang tidak layak. Pantas saja sebagian karyawannya menganggap itu buah dari karma.

"Dasar Cina!" Maki salah seorang sopir angkot yang sedang istirahat dengan suguhan segelas kopi.

"Lancar, Mas, setorannya?"

"Sepi, Bu. Gara-gara pengemudi online membuat pendapatan kita para sopir berkurang." Lagi-lagi sopir itu menyalahkan keadaan.

Pak Sarif hanya tertawa mendengar. Ekosistem pemikiran orang memang berbeda-beda. Mungkinkah tergantung iklim di tiap-tiap negara?

"Sudah seharusnya berdoa minta Tuhan memberikan musim salju," celetuk Bu Darsih pemilik warung.

"Apa hubungannya?"

"Biar bangsa kita maju dan tidak kebanyakan ngeluh!" celoteh Bu Darsih yang masih menyeduh segelas kopi untuk sopir angkot yang baru saja datang.

Meski  begitu, perbincangan itu mulai merambat kembali pada kasus Mirna. Pak Sarif terdiam. Ia tidak ingin mengambil bagian dalam perbincangan itu. Matanya justru jauh menerawang, menggambarkan sebuah kenangan yang tidak mungkin lagi terulang. Soal persetubuhan, pengadopsian Sisca, hingga ketelanjangan Mirna yang dijajaki i sumur tua.

"Di-dia ibu kandungku." Itulah keterangan terakhir yang didengar Pak Sarif dalam pengembangan kasus Mirna.

Isak tangis masih membasah di pipi. Sisca perlahan membuka titik terang atas kasus yang menimpa Mirna. Pak Sarif terdiam dan masih terus memandang kosong pada segelas kopi yang belum terkecap. Menghitam. Meski berkali-kali pula ia beradu mata di dalam segumpal remahan kopi yang kini mengambang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun