Oleh: Rhet Imanuel
Sudah beberapa musim aku lewati. Di pelupuk senja yang ketiga; pada tahun yang berbeda. Adalah yang diam dalam keheningan. Begitulah sesuatu yang nampaknya di sebuah hamparan padang. Dalam adegannya yang terlihat, tiadalah segurat saja tanah-tanah menggurat kekeringan--meski panas terus menyerang.
Ya, ada yang terjaga. Ada yang sesekali mengendap dan sesekali masih terus meminta untuknya selalu tersirami hujan.
Lalu, di setiap kedatanganku masih selalu menanti dan menikmati setiap hadirnya senja di ladang ini. Merahnya langit dari matahari yang hampir terbenam. Atau sesekali juga, terkadang aku mengintip fajar yang mengendap dari balik bukit.
Lalu selalu saja terdengar seruan si penjaga ladang mengingatkanku. Ya, seruannya yang selalu saja merasa letih untuk merawat tanah yang tak kunjung memberikan buah segar pada pemiliknya.
"Tuan, tidakkah cukup waktunya untuk kita mengganti benih di ladang ini dengan tanaman yang layak, yang dapat kita rasakan buahnya dengan baik." Selalu saja itu yang terdengar di telingaku, semenjak jatuh di musim kedua.
"Telah tiga musim ini kita menanti, tidakkah dapat kau lihat apa yang sedang kupikirkan?" jawabku yang juga selalu sama untuknya di dalam pertanyaannya itu.
"Tapi, Tuan ...."
"Sudahlah. Aku sendiri tak ingin bersusah payah mendapati peluhmu yang selalu membasahi ladang ini. Sudah kuperhitungkan, bahwasannya ladang ini takkan lagi bertuan. Sekalipun, di atas tanah ini akan menjadi gedung yang megah, namun tetaplah akan dimakan oleh waktu mrnjadi bangunan tua. Dan sekali-kali, kita tidak pernah merugi! Karena kita telah bersusah payah mengelola dan membuat irigasi yang layak, namun ladang ini yang lebih memilih untuk tak menghasilkan buah yang kita inginkan, selain suatu kematian waktu dalam senyapnya kota."
"Tidakkah, Tuan akan merindukan senja di tempat ini?" tanya penjaga ladang.
"Pastinya. Suatu kerinduan yang takkan lagi didapati jejakku ada di tempat ini. Dan aku belajar dari beberapa musim yang kulewati, bahwa tidak ada kesia-siaan karena kita menjadi mengenal. Bukanlah musim yang membuat ladang ini tak menghasilkan buah, melainkan tanahnyalah yang kurang rahim untuk mengandung dan memperanakkan bagi kesukaan pemiliknya."
Dan akupun kembali berjalan untuk yang terakhir kalinya, melihat senja di hamparannya ladang. Tak meminta, meski tak juga berharap bahwa musim yang akan datang mencoba untuk menahan dengan limpahan hujan--tak membisikkan suatu bait di dalam penyesalannya yang membisu kelam.
08/01/15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H