Mohon tunggu...
RhetIM
RhetIM Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Aneh ajalah. Bingung mau dibuat apa, karena ada pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Ujung Fajar tentang Kerinduan

30 Desember 2015   13:33 Diperbarui: 30 Desember 2015   15:26 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jika aku dapat berbicara cinta, tiada rindu bermakna. Lebih baik lidahku menjadi kelu, daripada harus kuucapkan kata semu yang terselubung oleh nafsu.

Sepenggal larik yang tak beritma manja dan membuaikan mata. Itulah sebuah gaya bahasa. Bukan oleh mulut, aku melafadzkan syair kerinduan yang masih terpenjara. Inginku ialah engkau mengerti dari setiap inchi pola sikapku, telah menyuguhkan suatu hidangan. Mungkin terasa lezat bagiku, entah bagaimana engkau mengecapnya.

Sampai batas waktu, di mana aku akan tetap bersembunyi. Hingga di mana kaupun menyadari. Di sini ... masih ada senandung tanpa nada yang tak terdengar oleh telinga.

Dan lihatlah pada ilalang itu yang menari, sekalipun gelisahnya terludahi, tiada dapat buahnya dinikmati layaknya padi. Namun, masih tetap ia berdiri dan menari. Seperti itulah kerinduanku, menjadi suatu kenyamanan ketika persinggahanmu menjadi tempat, yang tak layak lagi untuk merebahkan hati yang temaram.

Bukankah sejuknya terasa menghibur hatimu. Pelampiasan mata pada ilalang itu, adalah suatu fase yang tak terungkap. Tak indah juga, untuk dikecap. Berarti, bila tiada lagi lidahmu tak mampu menguntai kata.

Dan tutuplah mata ketika hadirmu berada di tengah ilalang itu. Maka angin, akan membisikkan suatu kata, “masih ada satu kata cinta tersisa, bukan oleh keanggunan dunia ia terucap. Melainkan lewat ukiran doa, yang selalu menghiasi langit hitam, dan menyadarkanmu di waktu petang. Mendekapmu di saat fajar. Lewat mata, yang selalu menyapa diam dengan sejuta cintanya yang bergolak tak kunjung padam.”

Semarang, 28.01.15

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun