Mohon tunggu...
Alfonsus Rhesa
Alfonsus Rhesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa biasa di Bulaksumur

Suka membagikan pengalaman sehari-hari, baik di kuliah atau di luar.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ekonomi Sirkular, Pertanian Berkelanjutan, dan Isu-Isu Pertanian

24 April 2024   15:58 Diperbarui: 24 April 2024   16:01 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ekonomi sirkular merupakan satu konsep ekonomi yang mulai banyak didiskusikan akhir-akhir ini. Ekonomi sirkular adalah bentuk ekonomi di mana sumber daya dalam perekonomian dapat dipakai selama mungkin. Ekonomi sirkular menekankan tiga hal, yaitu reduce, reuse, dan recycle. Reduce merupakan langkah untuk mengurangi limbah atau sampah dari aktivitas manusia. Reuse merupakan kegiatan menggunakan kembali limbah apapun yang masih digunakan. Sebagai contoh, gelas sekali pakai dapat dipakai sebagai wadah tanam tanaman buah dan sayur. Kantong plastik yang sudah digunakan untuk menyimpan sayuran dapat digunakan kembali untuk keperluan yang sama. Recycle merupakan kegiatan mendaur ulang limbah menjadi bahan baru. 

Sebagai contoh, limbah plastik dapat diolah kembali menjadi kantong plastik baru.
Ekonomi sirkular merupakan kebalikan dari ekonomi linear. Ekonomi linear merupakan bentuk kegiatan ekonomi yang cenderung hanya membuang limbah hasil kegiatan ekonomi. Limbah ini tidak dimanfaatkan kembali untuk kegiatan lainnya. Hal ini mengakibatkan banyak masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sebagai contoh, di sektor pertanian dan peternakan, kotoran sapi sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk hal lain, seperti pupuk untuk tanaman. Namun, limbah kotoran sapi ini dapat menjadi mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan manusia jika dibuang begitu saja. Inilah contoh ekonomi linear.

Saat ini, sektor pertanian, termasuk di dalamnya perikanan dan peternakan, merupakan sektor yang menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakat global. Hasil pertanian dapat dikonsumsi masyarakat dengan atau tanpa proses pengolahan. Sektor pertanian menyediakan komoditas pangan yang memungkinkan masyarakat untuk mengonsumsi pangan dengan jenis dan pola yang lebih beragam. Keberagaman jenis pangan ini akan berdampak pada pemenuhan gizi masyarakat. Terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat memungkinkan terciptanya sumber daya manusia berkualitas. 

Selain itu, peluang terjadinya stunting akan menurun bila gizi masyarakat dapat dipenuhi. Hal ini akan dapat terjadi bila sektor pertanian sebagai sektor penyedia pangan mampu menyediakan pangan dengan jumlah mencukupi dan kualitas yang baik. Ketersediaan pangan dengan jumlah cukup akan memungkinkan setiap individu memperoleh pangan dengan jumlah sesuai kebutuhannya sehari-hari. Pangan juga harus tersedia dengan kualitas baik, artinya tidak rusak dan tidak mengandung bahan beracun. Pangan yang tersedia juga harus mengandung zat-zat gizi tertentu yang memungkinkan konsumen untuk memperoleh zat gizi, seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin dengan jumlah cukup untuk aktivitas sehari-hari dan untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Supaya pangan ini dapat diakses masyarakat, pangan harus terjangkau bagi masyarakat, baik terjangkau secara harga maupun cara memperolehnya.

Sebab itu, untuk memenuhi hal-hal tersebut, ketahanan pangan harus ada di dalam sistem pertanian. Menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan dapat didefinisikan sebagai "kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedinya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". Sebagai kebutuhan dasar manusia, pangan harus tersedia secara cukup bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas.

Namun, berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, terdapat kondisi di mana masyarakat tidak dapat mengakses dan memperoleh pangan yang cukup. Kondisi ini disebut sebagai kerawanan pangan. Menurut Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Tulang Bawang, kerawanan pangan adalah kondisi di mana individu atau beberapa individu di suatu area tertentu tidak dapat mendapatkan pangan yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan aktif. Menurut Badan Pusat Statistik, 4,5% penduduk Indonesia mengalami kerawanan pangan sedang atau parah pada 2023. Provinsi dengan persentase penduduk dengan kerawanan pangan sedang atau parah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu 14,68% dan Provinsi Maluku, yaitu 10,26%. Angka ini menunjukkan bahwa masih ada sebagian rakyat Indonesia yang tidak mendapat pangan yang cukup untuk hidup sehari-hari, padahal pangan adalah salah satu kebutuhan yang harus tersedia secara cukup bagi seluruh rakyat Indonesia.

Beberapa penyebab kerawanan pangan adalah pangan yang dikonsumsi individu kurang secara jumlah, pangan yang dikonsumsi kurang beragam, jumlah konsumsi pangan yang terpaksa dikurangi, ataupun ketidakadaan pangan sama sekali untuk dikonsumsi (Badan Pusat Statistik, 2024). Selain itu, kerawanan pangan juga bisa terjadi apabila sektor penyedia pangan, yaitu sektor pertanian mengalami hambatan dalam berproduksi. Salah satu hambatan yang ditemui sektor pertanian dalam hal berproduksi adalah kerusakan atau berkurangnya sumber daya pertanian akibat sistem ekonomi linear dan kerusakan lingkungan.  Secara ideal, sumber daya pertanian harus tersedia dalam jumlah cukup supaya sektor pertanian dapat berproduksi dengan produktivitas tinggi. 

Sumber daya pertanian yang dapat berkurang kualitas ataupun jumlahnya sebagai akibat dari kerusakan lingkungan ataupun sistem ekonomi linear adalah sumber daya tanah, bahan organik, bahan mineral, mikrobioma tanah, dan sebagainya.
Selain hal penyediaan pangan, tantangan yang ditemui dalam sektor pertanian adalah masalah kesejahteraan petani. Secara ideal, seluruh petani di Indonesia memiliki kehidupan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi. Hal ini berkaitan dengan tujuan Negara Indonesia dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk "memajukan kesejahteraan umum". Namun, banyak petani di Indonesia yang memiliki kesejahteraan yang kurang. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan petani memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil berusaha tani.

 Tingkat kesejahteraan petani dapat dilihat dari nilai tukar petani (NTP). Melalui NTP, kita dapat mengetahui mana yang lebih cepat meningkat: harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani atau harga barang konsumsi petani. Kita juga bisa mengetahui apakah kenaikan harga barang konsumsi sehari-hari petani diimbangi dengan kenaikan harga komoditas pertanian hasil usaha tani petani. Dengan kata lain, nilai NTP memperlihatkan apakah kenaikan pengeluaran petani dapat diimbangi dengan kenaikan pendapatannya.

NTP ini memiliki nilai yang beragam di seluruh Indonesia. Nilai NTP > 100 berarti kenaikan pengeluaran petani dapat diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Nilai NTP = 100 berarti kenaikan pengeluaran petani sama dengan kenaikan pendapatan petani. Nilai NTP < 100 berarti kenaikan pengeluaran rumah tangga petani tidak bisa diimbangi dengan kenaikan pendapatan petani. Beberapa daerah di Indonesia memiliki nilai NTP beragam. Ada daerah yang memiliki nilai NTP > 100, tetapi ada pula daerah yang memiliki nilai NTP < 100. Beberapa daerah, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Timur memiliki nilai NTP < 100. Di samping itu, beberapa daerah, seperti Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Nilai-nilai NTP di seluruh Indonesia beragam tergantung pada jenis tanaman dan waktu tanam dan panen. Dari nilai NTP ini, dapat dilihat adanya beberapa kelompok petani yang "kurang sejahtera" karena nilai NTP kurang dari 100. Artinya, harga barang konsumsi mereka naik lebih cepat daripada harga produk pertanian yang mereka produksi dan menjadi sumber pendapatan mereka.

Isu kesejahteraan petani sudah bukan menjadi rahasia publik. Masyarakat dapat melihat bahwa banyak petani yang secara ekonomi kurang sejahtera. Hal ini dapat dilihat secara kasat mata dari kondisi rumah, perabot, kendaraan, alat elektronik, dan sebagainya yang mereka miliki. Hal ini berlawanan dengan idealisme bahwa seluruh rakyat Indonesia harus sejahtera.

Salah satu penyebab ketidaksejahteraan petani adalah masalah lingkungan yang menghambat produktivitas tanaman. Semakin sehat lingkungan ladang dan sawah, semakin tinggi produktivitas lahan tersebut. Artinya, petani akan mendapat hasil produksi dan pendapatan usaha tani yang lebih tinggi. Mereka akan menjadi lebih sejahtera bila lingkungan tidak tercemar. Banyak limbah yang dihasilkan oleh sektor pertanian yang membahayakan lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan dapat mencemari tanah dan air. Sisa-sisa bagian tanaman yang tidak dimanfaatkan dan dibakar akan mencemari udara dan akan menyumbang penyebab pemanasan global. Pencemaran ini akan merusak kualitas lingkungan tanah, air, dan udara secara fisika, kimia, dan biologi sehingga produktivitas dan hasil pertanian dikhawatirkan akan menurun dari waktu ke waktu bila masalah ini tidak diselesaikan. Salah satu inti dari permasalahan ini adalah limbah yang tidak tertangani dengan baik dan pemahaman petani yang salah akan penggunaan bahan kimia dalam pertanian.

Ketidaksejahteraan petani juga disebabkan oleh nilai komoditas pertanian yang dihasilkan petani itu sendiri. Banyak petani yang menjual produknya tanpa pengolahan lebih lanjut. Singkatnya, banyak petani menjual produknya dalam keadaan produk mentah. Contohnya, petani buah menjual produknya dalam keadaan buah mentah tanpa diolah terlebih dahulu. Di lain sisi, petani bisa menjual produknya dengan cara diolah terlebih dahulu. Misalnya, petani buah bisa mengolah produknya menjadi jus buah dan menjualnya dalam bentuk jus sehingga petani mendapat keuntungan lebih tinggi.

Beberapa permasalahan pertanian tadi, yaitu permasalahan ketersediaan pangan, masalah lingkungan, dan kesejahteraan petani mengancam keberadaan sektor pertanian. Idealnya, sektor pertanian dapat menyediakan pangan bagi generasi sekarang dan generasi masa depan. Sumber daya pertanian tidak boleh hanya dihabiskan untuk generasi sekarang saja, tetapi sumber daya pertanian harus dipertahankan sedemikian rupa sehingga generasi di masa depan tetap dapat menggunakan sumber daya pertanian tersebut dengan baik untuk kesejahteraan mereka juga. Selain itu, sektor pertanian idealnya menjadi sektor yang memberikan kesejahteraan bagi para aktor yang bekerja di dalamnya, termasuk para petani. Konsep pertanian yang ideal ini tercakup dalam pertanian berkelanjutan, yaitu pertanian yang memenuhi kesejahteraan dan kebutuhan pangan generasi sekarang tanpa mengancam kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kesejahteraan dan kebutuhan pangan mereka.

Ada beberapa cara untuk membuat pertanian kita di zaman dengan segala permasalahannya untuk menjadi pertanian yang lebih berkelanjutan. Salah satunya adalah pengetahuan lokal petani atau kearifan lokal. Banyak kearifan lokal bidang pertanian di masyarakat yang mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan. Selain itu, petani juga harus diberikan pengetahuan mengenai penggunaan pupuk dan pestisida yang aman. Selain itu, sistem ekonomi dalam berusaha tani juga harus diperbaiki. Ekonomi sirkular menjadi cara untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan.

Dalam ekonomi sirkular di sektor pertanian, limbah-limbah yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian itu akan digunakan kembali untuk kegiatan lain. Contohnya, sisa-sisa gabah dapat dijual atau dijadikan pupuk. Gulma yang telah dikumpulkan dapat dijadikan pakan ternak dan kotoran ternak itu dapat digunakan menjadi pupuk bagi tanaman. Terciptalah alur kegiatan produksi yang alurnya memutar. Inilah sebabnya kegiatan ekonomi semacam ini disebut sebagai ekonomi sirkular. Contoh lainnya, sisa-sisa kulit buah dan daun-daunan dapat difermentasikan menjadi pupuk cair eco-enzyme. Pupuk cair ini dapat dijual untuk menambah pendapatan petani. Ekonomi sirkular juga berusaha meminimumkan biaya dalam kegiatan ekonomi, seperti dalam kegiatan usaha tani sehingga petani mendapat pendapatan yang lebih sehingga kesejahteraannya dapat meningkat. Kegiatan pengolahan limbah ini dapat dilaksanakan oleh petani sendiri sebagai pribadi, atau bersama-sama dengan keluarganya, atau dalam suatu lembaga koperasi dan UMKM di desa. Keuntungannya dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan desa.
Limbah yang termanfaatkan dalam sistem ekonomi sirkular akan mengakibatkan gangguan lingkungan di lahan pertanian menjadi berkurang. Pencemaran udara, tanah, dan air dapat dikurangi karena limbah penyebab pencemaran ini dapat ditangani dengan baik dengan jalan memanfaatkannya menjadi bahan untuk kegiatan produksi produk lain. Pemanasan global pun dapat diturunkan.

Dengan ekonomi sirkular, ketahanan pangan akan dapat lebih mudah tercapai. Hal ini dikarenakan produktivitas lahan pertanian meningkat yang mengakibatkan jumlah hasil komoditas pertanian juga meningkat. Sebagai dampak positif dari hal ini, kebutuhan pangan masyarakat akan semakin terpenuhi. Hal ini mengingat populasi yang meningkat membutuhkan stok pangan yang melimpah pula. Peningkatan produktivitas ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang membaik dikarenakan berkurangnya limbah dan pencemaran dan juga oleh kesejahteraan petani. Petani, sebagai sumber daya manusia pertanian, akan memiliki kualitas kerja yang meningkat bila memiliki insentif atau pendapatan yang meningkat dari kegiatan pertaniannya.
Desa yang melaksanakan kegiatan ekonomi sirkular dengan baik dapat dijadikan desa percontohan bagi desa-desa dan wilayah-wilayah lain. Selain itu, desa ini dapat dijadikan desa wisata bagi siapapun yang ingin mempelajari ekonomi sirkular di lapangan. Pabrik-pabrik pengolahan limbah, lahan pertanian, keindahan alam desa menjadi daya tarik wisatawan. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan warga (petani) dan wilayah (desa dan daerah).
Dengan demikian, ekonomi sirkular dapat memungkinkan terwujudnya pertanian berkelanjutan. Ekonomi sirkular dan pertanian berkelanjutan merupakan dua sistem yang memungkinkan sektor pertanian menjadi sektor yang mampu lebih menyejahterakan masyarakat dan petani secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, hal ini bisa terwujud jika terdapat kerja sama antara petani, koperasi, UMKM, penyuluh, akademisi, dan siapapun yang memiliki tanggung jawab dan kekuasaan di bidang pertanian.

Daftar pustaka:
Badan Pembinaan Hukum Nasional. (n.d.). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. . Diakses 16 April 2024.
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Nilai Tukar Petani. Badan Pusat Statistik: Jakarta.
Badan Pusat Statistik. (2024). Prevalensi Penduduk dengan Kerawanan Pangan Sedang atau Berat, Berdasarkan pada Skala Pengalaman Kerawanan Pangan (Persen), 2023. . Diakses pada 16 April 2024.
Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Tulang Bawang. Penanganan Daerah Rawan Pangan. . Diakses 16 April 2024.
Handawati, R. dan Mataburu, I. (2020). Mengenalkan kegiatan ekonomi sirkular personal untuk mengurangi emisi karbon pada siswa sekolah dasar. Prosiding Seminar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat 2020.
Isbah, U. dan Iyan, R. Y. (2016). Analisis peran sektor pertanian dalam perekonomian dan kesempatan kerja di Provinsi Riau. Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, 8(19), 45-54.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kanal Komunikasi. (2021). Ekonomi Circular Sampah Plastik. . Diakses pada 16 April 2024.
Mukti, G. W., dan Kusumo, R. A. B. (2021). Pertanian berkelanjutan: sebuah upaya untuk memadukan pengetahuan formal dan informal petani. Mimbar Agribisnis, 7(2), 1141-1160.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun