Tak jarang sifat individualis menjadi kontroversi tersendiri bagi kehidupan bermasyarakat. Entah memang bertipikal tak acuh terhadap lingkungan sekitar atau tak memiliki pemahaman arti manusia sebagai makhluk social. Mereka yang mengatasnamakan kebebasan hidup dan hak asasi atas apapun yang mereka kerjakan dalam kesehariannya.
Etika dan adab pun menjadi masalah kesenjangan. Tak lagi mementingkan "kerukunan" melainkan "kepentingan" untuk "kerukunan". Alih-alih mencapai "kerukunan", justru terus memupuk keburukan. Hedonisme lebih tepatnya. Sesiapapun itu berbondong-bondong menggunakan topeng "kemanusiaan" yang semata sama sekali tak berfaedah.
Lihatlah, hanya segelintir manusia yang tak memperlihatkan "kepunyaannya". Toh, untuk apa? Bisakah kita memamerkan lalu yang lain tak ikut jua? Ini jaman millennial. Sungguh teramat keras jika pakai teori tahun 1990 an. Dimana menciptakan kerusuhan untuk menemukan kebenaran, bukan memulai kerusuhan untuk merusak kebenaran.
Yang nampak, estetika dibuat nyeleneh dari awalnya. Tak lagi penalaran dalam seni kehidupan, selain keangkuhan dibalik topeng . Ibarat, jangankan seorang celaka, sekaratpun mungkin tak ada yang peduli.
Jangan salahkan ibu yang mengandung atau ayah yang mendidik. Pada dasarnya orang tua berperan sama dan sepemikiran. Mencetak generasi turunan yang notabennya memberikan kemudahan untuk sekitarnya, minimal tak membuat masalah baru diatas masalah yang sudah ada. Apalagi ibu pertiwi, tempat lahir daan menetap. Dua objek yang tak seharusnya dikambing hitamkan termasuk petinggi dan abdi negara.
Kemanakah jiwa tolong menolong sebagai makhluk yang mengaku ber-Tuhan? Beriman?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H