Mohon tunggu...
Rhema Melodi Indah Di Jiwa
Rhema Melodi Indah Di Jiwa Mohon Tunggu... Mahasiswa - FISIP UAJY 2021

Seorang sineas muda dan mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dalam hal perfilman Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Film

"Kucumbu Tubuh Indahku": Isu Maskulinitas-Feminitas Mengakar dalam Tradisi

17 September 2023   20:49 Diperbarui: 17 September 2023   20:58 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.instagram.com/fourcoloursfilms/

Film sebagai memori realitas dalam masyarakat yang divisualisasikan dalam layar (Sobur, 2006). Film menjadi sarana hiburan bagi sebagian besar penikmat karya visual. Hal ini tak hanya berlaku di Indonesia saja, tetapi secara universal dapat diakui bahwa eksistensi perfilman memang nyata. 

Karya visual yang mengandung aksen sinematografi merupakan produk media komunikasi yang digemari masyarakat. 

Pada abad ke-19, film mulai dikenal di Indonesia. NV Java Film Company (1926) merupakan perusahaan film pertama yang mengawali era produksi perfilman secara nasional di Indonesia (Astuti, 2022, h. 7). Industri perfilman nasional diawali dengan rilisnya film bisu pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926). Tak hanya itu, film-film lain yang eksis di tanah air pada awal masa perintis film Indonesia adalah Eulis Atjih (1927) dan Terang Boelan (1937) (Huzelmi, dkk., 2022, h. 258). 

Semenjak awal kemunculan industri film di Indonesia mulai banyak berkembang genre-genre film baru. Semakin banyak variasi genre dan ragam isu yang diangkat dalam film nasional. Mulai dari genre drama, horor, komedi, hingga romansa juga turut menghiasi jagat sinema. 

Saat ini, bahasa visual yang terkandung didalam film dimanfaatkan sebagai alat representasi dari berbagai macam isu dan konteks di masyarakat. Representasi merujuk pada cara penggambaran konsep maupun gagasan atas realitas yang ada. Representasi menghasilkan produksi makna hingga pada akhirnya dapat dipahami oleh orang (Hall, 1997). 

Penggunaan film sebagai media representasi memiliki artian bahwa film berguna untuk membuka dimensi interpretasi terkait isu sosial, budaya, maupun kontroversi masyarakat lainnya.

Aktualisasi dari film sebagai media representasi isu budaya salah satunya dapat diambil contoh dari film berjudul "Kucumbu Tubuh Indahku" yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Film yang dirilis pada tahun 2018 tersebut mengangkat tema kontroversial yakni budaya cross gender yang sudah mengakar dalam tradisi tarian Lengger Lanang. 

Film Kucumbu Tubuh Indahku (2018) disadur dari kisah nyata seorang penari dan koreografer bernama Rianto. Lengger Lanang merupakan seni tradisi tarian yang diperankan oleh laki-laki, tetapi menggunakan aksesoris perempuan. 

https://www.instagram.com/fourcoloursfilms/
https://www.instagram.com/fourcoloursfilms/

Garin Nugroho memang dikenal sebagai sutradara unik dirinya menyuguhkan berbagai film hasil karyanya yang memiliki narasi kontemporer dan jarang divisualisasikan oleh sutradara pada umumnya. Hal ini berlaku juga dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, Garin Nugroho mengangkat cerita mengenai Juno seorang yang memiliki trauma akibat menyaksikan tindakan sadis semasa kecilnya. Juno menyaksikan berbagai kekerasan di depan matanya sendiri hingga terlibat sebagai korban perundungan di sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun