Feminisme yang Halus dan Ramah
Dari cerita bu Tikno, dapat dilihat bahwa keluarganya mendukung karier anaknya dengan cara melakukan pembagian tugas: orang tua yang melakukan pekerjaan rumah, sementara bu Tikno diberi ruang untuk  mengerjakan karier seluas-luasnya. Namun sejak orang tuanya sudah tidak ada, bu Tikno sendirilah yang harus membagi waktu antara memasak dengan menganyam. Itu merupakan struggle tersendiri yang sedang ia hadapi saat ini. Sebagai suami, pak Tikno tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Bu Tikno juga menyatakan tidak apa-apa jika kita tidak suka memasak, berkarier dengan baik juga dapat menyenangkan orang-orang di sekitar kita dengan caranya tersendiri. Pesanan terpenuhi dengan baik, mendapat upah, lalu digunakan untuk menyenangkan keluarga sekitar, dan termotivasi untuk menyelesaikan pesanan selanjutnya dengan lebih baik lagi.
Bu Tikno tidak pernah mengadvokasi untuk melawan laki-laki, tidak menikah, atau tidak usah memasak. Beliau sendiri juga mungkin tidak pernah mendengar istilah "feminisme". Namun, kita dapat melihat dimensi feminis dalam keluarga pengrajin ini: kesetaraan dan kebebasan. Mereka tetap menghargai peran gender yang dibuat masyarakat, dengan negosiasi yang didasarkan pada nilai kesetaraan yang mengandung "penghargaan" tiap-tiap individu di dalamnya. Misalnya dalam pembagian tugas rumah tangga.Â
Agaknya, jenis feminisme seperti inilah yang saya inginkan. Feminisme yang halus dan ramah, bukan feminisme yang melindungi kemalasan saya yang tidak mau belajar memasak dan bukan feminisme yang memperbolehkan saya menghina serta tidak menghargai semua laki-laki hanya karena sakit hati dengan beberapa personal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H