Mohon tunggu...
Rhea Almanissa
Rhea Almanissa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Matematika Universitas Airlangga

Mahasiswa Universitas Airlangga dengan MBTI INTP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Childfree, Kenapa Tidak?

8 Januari 2025   23:07 Diperbarui: 8 Januari 2025   23:10 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memiliki dan membesarkan seorang anak atau lebih merupakan cita-cita yang banyak diimpikan pasangan suami istri pada umumnya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang menginginkan lebih dari tiga anak.

Ketika hasil positif dalam tes kehamilan tidak kunjung muncul, mereka rela mengeluarkan biaya lebih dan menguras tenaga demi mencapai kehamilan.

Bagi mereka, kehidupan rumah tangga mereka serasa belum lengkap tanpa adanya buah hati. Namun, rupanya ada pula pasangan yang bercita-cita sebaliknya, yaitu mereka yang memilih untuk menjalani kehidupan pernikahan tanpa menghasilkan seorang anak alias childfree.

Pada era modern ini, childfree masih dipandang negatif oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal itu mengingat childfree bertentangan dengan pepatah "banyak anak, banyak rejeki" yang sudah mengakar di masyarakat kita dan juga dengan ajaran sebagian agama yang menganjurkan setiap pemeluknya untuk memperbanyak keturunan mengingat masyarakat kita terbilang cukup religius sehingga menjunjung tinggi ajaran tersebut.

Saya sendiri memiliki cukup alasan untuk mendukung pasangan yang ingin menjalankan kehidupan childfree di mana salah satunya berkenaan dengan pepatah yang baru saya sebutkan tadi. Barangkali pepatah "banyak anak banyak rejeki" hanya berlaku pada era kolonialisme.

Izzah (2017) menyebutkan, pada era tersebut, masyarakat Jawa yang bekerja sebagai petani pada masa cultuurstelsel dituntut oleh pemerintah Belanda untuk memberikan tenaga kerja yang besar. Untuk memenuhi perintah tersebut, petani berasumsi bahwa anak dapat menjadi solusi sebab mereka dapat membantu bekerja di perkebunan sehingga dapat menyumbangkan tenaga kerja lebih besar. Pada era sekarang, pepatah tersebut nampaknya sudah tidak relevan. Mengapa?

Sayoga Risdya Prasetyo, perencana keuangan Finante.id, pernah memperhitungkan estimasi biaya yang dibutuhkan hanya untuk memenuhi kebutuhan mulai ketika hamil hingga menyusui adalah berkisar antara Rp. 47.000.000,00,- hingga Rp. 125.000.000,00,-. Belum lagi ia juga memperhitungkan estimasi biaya pendidikan satu orang anak saja dari TK sampai kuliah adalah sekitar Rp.960.000.000,00,-. Sedangkan dilansir dari Badan Pusat Statistik, www.bps.go.id, PDB per kapita Indonesia pada tahun 2022 adalah sebesar US$ 4.783,9 per tahun atau setara dengan Rp.71.000.000,00,-. Hal ini berarti rata-rata penduduk Indonesia pada 2022 mendapatkan penghasilan sekitar Rp.71.000.000,00,- per tahun atau sekitar Rp.5.900.000,00,- per bulan.

Asumsikan masa kehamilan selama sembilan bulan dan masa menyusui selama dua tahun penuh, sehingga total masa kehamilan hingga masa menyusui adalah 33 bulan. Jika hanya suami yang bekerja selama 33 bulan itu dengan penghasilan per bulan sama dengan penghasilan rata-rata penduduk Indonesia, akan didapatkan penghasilan sebesar Rp.194.000.000,00,-. Kemudian jika penghasilan tersebut digunakan untuk memenuhi biaya untuk segala keperluan selama masa kehamilan dan masa menyusui sama dengan kisaran minimal yang diestimasikan tadi, yakni Rp.47.000.000,00,-, maka akan terdapat sisa dengan total sekitar Rp.147.700.000 atau Rp.4.500.000,00,- per bulan. Apakah pengeluaran per bulan untuk hal-hal lain seperti tagihan listrik, tagihan air, makan dan minum, asuransi, sewa/cicilan tempat tinggal, transportasi, dan sebagainya terjamin dapat dicukupi dengan sisa segitu? Ini baru satu anak, bagaimana jika dua atau bahkan lebih? Bukankah rata-rata orang Indonesia memiliki lebih dari dua anak sehingga program KB mengkampanyekan slogan "Dua Anak Cukup"?

Apa yang kita harapkan dari menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan uang yang tidak terhitung jumlahnya selama hampir separuh dari seumur hidup atau lebih tanpa bisa menuntut adanya timbal balik yang serupa? Apakah anak-anak kita kelak dijamin mampu dan bersedia membiayai hidup kita di masa tua kelak?

Ingatlah bahwa kita tidak seharusnya bersikap perhitungan kepada anak. Mengungkit pengorbanan, kerja keras, dan dedikasi kita untuk membesarkan mereka, berharap mereka yang bergiliran memberi kita keuntungan finansial ketika mereka dewasa kelak, menjadikan mereka investasi atau jaminan masa tua. Sejatinya mereka bukanlah investasi, melainkan amanah dari Tuhan untuk dirawat dan dijaga sebagai bentuk syukur kita. Mari asumsikan kemungkinan terburuknya, yakni anak-anak kita tidak akan mampu, tidak akan bersedia, atau keduanya untuk menjamin masa tua kita. Maka mau tidak mau, kita harus mengupayakan masa tua kita sendiri tanpa bantuan finansial dari anak. Berapa Rupiah kira-kira sisa uang per bulan yang dapat disisihkan untuk menabung untuk jaminan masa tua?

Saya menyadari bahwa kita tidak perlu mengeluarkan uang sebesar itu jika anak tersebut saja tidak pernah ada, alias tidak pernah dilahirkan, juga bahwa melahirkan mereka adalah pilihan, yang artinya dapat kita kendalikan, most of the time. Maka dari itu, karena saya adalah orang yang realistis dan mengutamakan logika, saya memilih untuk tidak melahirkan anak, mengikuti program KB.

Ini bukanlah bentuk suatu keegoisan. Kita memiliki hak untuk memilih apa yang mau kita putuskan untuk hidup kita sendiri, sebab hanya kita yang paling tahu mana yang baik untuk keberlangsungan hidup kita dan mana yang tidak. Jangan sampai hidup kita terbuang sia-sia hanya karena pilihan yang peluang menguntungkannya tidak pasti tetapi sebenarnya bisa dicegah. Kita sudah diberi kesempatan untuk hidup oleh Tuhan maka syukurilah dengan memanfaatkannya dengan baik. Bahagiakan diri kita sebelum anak itu ada, karena membahagiakan diri sendiri sebelum anak ketika mereka sudah ada akan membutuhkan banyak pertimbangan, tidak akan semudah ketika mereka belum atau tidak ada.

 Bukan bermaksud mengajak pembaca untuk melakukan hal serupa jika tidak berminat, namun memberi dukungan pada pembaca dan orang-orang yang ingin menjalankan kehidupan childfree. Cheers!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun