Mohon tunggu...
Raa Tyas Putri
Raa Tyas Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Hukum UT Makassar

Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus - sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Senja di Ujung Impian

29 Agustus 2024   10:00 Diperbarui: 29 Agustus 2024   10:06 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : pinterest.com/radialv/

Kematian bapaknya membuat Faiz mungkin terpaksa mengubur impiannya menjadi seorang Angkatan Udara. Dengan ikhlas, dia menyerahkan tabungan yang sudah sejak lama ia simpan untuk persiapan tes masuk TNI AU nanti. Jumlah tabungan Faiz termasuk fantastis bagi ibunya. Ternyata diam-diam remaja ini mampu mengumpulkan tabungan hingga mencapai hampir sepuluh juta.

“Darimana kamu mendapat uang sebanyak ini, Nak?” tanya ibunya dengan suara bergetar ketika Faiz menyerahkan uang yang diikat dengan karet gelang. 

“Ini tabungan Faiz sejak SMP, Bu. Faiz minta maaf karena selama ini tidak memberi tahu ibu kalau sepulang sekolah Faiz kerja serabutan.” Suara Faiz nyaris sama bergetarnya. 

Netra sang ibu menatap Faiz dengan binar bangga yang kontras dengan raut wajah sedihnya. Sekilas bisa terlihat jika wanita ini merasa gagal menjadi orang tua bagi anak semata wayangnya, karena tidak mampu membantu Faiz meraih mimpi menjadi tentara. 

“Ini kamu kumpulkan untuk persiapan tes tentara 'kan?” Ibunya bertanya lagi, ia mengembalikan uang yang sudah sedikit lusuh itu kepada Faiz. 

Faiz tersenyum dan tetap menyerahkan uang itu kepada ibunya. “Ibu gunakan saja untuk keperluan sehari-hari, siapa tahu bapak juga memiliki hutang di warung.”

Buliran kristal bening menggenang di sudut mata wanita paruh baya itu. Ia memeluk Faiz–putra tunggalnya. Mereka pun larut dalam keharuan sekali lagi. Perlahan Faiz mulai mencoba ikhlas jika mimpi menjadi tentara harus pupus sampai di sini. 

*

Ujian nasional pun dimulai, Faiz tidak lagi menggebu-gebu seperti kemarin. Ia kini hanya sebatas menjalani hari, berusaha bertahan hidup dan memutar otak untuk bisa menafkahi ibunya.

Perubahan sikap itu jelas terbaca oleh Yudi yang sudah sejak kecil mengenal Faiz. Mendiang bapak Faiz adalah langganan becak yang dipercaya oleh ayah dan ibunya untuk mengantar pulang-pergi sekolah. Itulah kenapa Faiz dan Yudi bisa akrab seperti ini. Namun ketika bel berbunyi, baik Faiz maupun Yudi mulai tenggelam dalam soal-soal ujian.

Faiz segera menghilang setelah jam pulang sekolah, ia bergegas menuju tempat pembuatan batako. Ba'da maghrib, dia tetap mengajar mengaji dan menghapal di Ustadz Hanan. Satu hal yang berubah adalah biasanya setelah mengajar mengaji ia langsung pulang, kali ini dia menjadi tukang parkir di salah satu supermarket yang buka 24 jam.

Lengan Faiz tiba-tiba dicekal oleh tangan kekar. Pemuda ini menoleh. Dua orang pria menatap nanar ke arah Faiz. Salah satu dari mereka bertubuh kekar dan memiliki tato tengkorak di lengannya.

“Ini wilayah kami! Siapa yang kasih izin kamu buat markir di sini?” gertak pria bertubuh kekar tadi, cengkraman tangannya pada lengan Faiz semakin kuat. 

“Ma–maaf, Bang. Saya tidak tahu kalau harus izin Abang dulu,” jawab Faiz gemetar. 

Ia tidak takut pada preman seperti mereka. Hanya saja, dia memikirkan nasib sang ibu jika terjadi apa-apa pada dirinya. Sebelum tinju preman ini menyentuh wajah Faiz, cahaya lampu mobil sedan yang akan parkir menyorot mereka. Hal itu membuat preman tadi surut memukul Faiz dan lari. 

Sedan hitam tersebut berhenti, seorang pria paruh baya yang usianya kira-kira hampir sama dengan mendiang bapaknya turun dari mobil mewah tersebut. Dia mendekati Faiz. Ada sorot mata yang tidak bisa Faiz mengerti dari pria ini. Terlebih lagi ketika ia menyentuh bahu Faiz dengan lembut.

“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya pria ini dengan nada khawatir.

Faiz tersenyum tipis dengan memasang mimik kebingungan, ia menggeleng. “Saya tidak apa-apa, terimakasih sudah menyelamatkan saya dari preman-preman tadi, Pak.”

“Kelihatannya kamu ini seorang pelajar, apa tidak kemalaman kamu masih di luar rumah jam begini?” Pria ini kembali bertanya padanya. Tanpa menunggu jawaban Faiz, ia merogoh saku celananya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas merah kemudian memberikan pada Faiz seraya meminta remaja ini pulang.

Melihat Faiz menatapnya curiga, pria itu pun tersenyum. "Ambillah, kamu mengingatkan saya pada masa muda saya. Pulanglah, pasti orang tuamu khawatir."

Entah kenapa kali ini Faiz menurut, dia menerima lembaran uang merah tersebut dan hanya mengambil selembar saja. Selebihnya ia kembalikan pada sang pemilik. Ia tidak bisa berhenti bertanya-tanya tentang pria baik hati tadi. Dari cara berpakaiannya, sudah jelas kalau orang tersebut bukan orang sembarangan. Walau hidup dalam kemiskinan, ia masih bisa melihat mana baju mahal dan bukan, apalagi mobil sedan mewah yang pria tadi kendarai.

Sepanjang perjalanan pulang, Faiz terus terbayang sosok pria tadi. Gubuk reyot mereka sudah terlihat di depan mata, gelap dan sepi. Perlahan ia membuka pintu mencoba tidak menimbulkan derit yang bisa membangunkan ibunya, tapi gagal.

“Kamu, baru pulang, Nak?” Wanita yang kini terlihat semakin tua itu muncul dari balik tirai sebuah bilik. 

Faiz tersenyum dan mengangguk. “Ibu tidur saja, Faiz mau membersihkan badan sedikit terus istirahat juga.”

Wanita ini mengusap bahu anak semata wayangnya. Tersirat luka dan kesedihan dari netra renta itu. Ia terus menatap wajah Faiz. Jauh dalam lubuk hati Faiz juga merasakan hal yang sama, kehilangan sosok bapak membuat ia dan sang ibu seperti kehilangan semangat. 

Langit di luar sana semakin kelam, dingin menyusup dari balik lubang-lubang gubuk yang memang sebenarnya sudah tidak layak huni. Faiz dan ibunya terlelap dalam pelukan sunyi. Lelah memaksa mereka beristirahat dari memikirkan nasib, hanya bisa berharap bila esok ada keajaiban untuk mereka.

*

Hari ini, adalah hari terakhir ujian nasional. Terdengar riuh rendah kegembiraan di sekolah Faiz, mereka bisa bernapas lega setelah melewati ujian tersebut. Sementara teman-temannya bergembira, tidak demikian dengan Faiz. Dia malah termenung sendiri di koridor depan kelasnya.

Lagi, lagi dan lagi, pikiran Faiz masih berpusat pada mimpi menjadi seorang tentara Angkatan Udara. Remaja yang sudah beranjak dewasa ini tidak pernah surut bermimpi menjadi seorang tentara Angkatan Udara. Di pundak Faiz kini memikul tanggung jawab menjadi tulang punggung pengganti mendiang sang bapak sebagai anak laki-laki tunggal.

Sungguh rasa putus asa, marah, dan kecewa pada takdir menyelimuti hati Faiz. Sesekali ia menghela napas berat, mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia hanya mampu meratap dalam hati, “Apakah orang miskin seperti kami tidak berhak meraih mimpi yang tinggi, ya Allah?”

Semua usaha yang telah Ia lakukan sejak SMP kembali terulang dalam ingatan Faiz. Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, usahanya untuk menghapal 30 juz Alquran di bawah bimbingan Ustadz Hanan, juga berusaha mati-matian mempertahankan prestasi baik akademik maupun organisasi dan pencak silatnya. Kala itu ia sama sekali tidak merasa lelah, karena ada mimpi yang ingin ia capai. Setidaknya Faiz ingin membuat kedua orang tuanya hidup layak dan lepas dari jerat kemiskinan serta membanggakan mereka dengan seragam Angkatan Udara. 

“Ya Allah, hanya Engkau Yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk umatMu,” desis Faiz. Matanya mulai memanas, sepertinya mendung mulai menggelayut di wajah Faiz.

*

Akankah pemuda ini mampu meraih impiannya? Siapakah pria yang tidak sengaja ia temui di supermarket malam itu? (Bersambung) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun